32.9 C
Jakarta

Wartini; Perempuan Tangguh Korban Bom Kuningan

Artikel Trending

KhazanahPerempuanWartini; Perempuan Tangguh Korban Bom Kuningan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Saya sempat putus asa, Mas. Kepikiran mau bunuh diri juga. Cuma saya sadar ada anak, apalagi saya sedang hamil tua anak ketiga.

Harakatuna.com – Demikian pengakuan Wartini dengan suara bergetar saat menceritakan kondisi suaminya, Syahromi, yang menjadi korban teror bom di Kedubes Australia, Kuningan, Jakarta pada 2004 silam.

Wartini tengah meratapi nasibnya. Setelah menemani suaminya berjuang sekitar dua tahun melawan luka akibat teror bom 2004, ia harus menerima kenyataan pahit. Suaminya pergi meninggalkan dirinya tanpa pernah kembali. Ia nestapa.

Suami Wartini, Syahromi, merupakan pekerja keamanan (satpam) di Kedubes Australia. Saat kejadian bom mobil di depan kedubes Australia terjadi pada 9 September 2004, Wartini bersyukur karena suaminya tidak tewas. Namun, ada luka tubuh yang diderita Syahromi akibat ledakan tersebut.

Setelah dua tahun menjalani pengobatan intensif, Syahromi pun meninggal dunia. Berita duka itu hadir saat dua putrinya masih berstatus sebagai pelajar SD dan sekolah menengah, juga kandungan Wartini yang memasuki usia 7 bulan.

Matanya mulai basah, sesekali ia mainkan pandangan ke arah langit-langit rumah. Wartini mengaku sempat putus asa dan ingin mengakhiri hidupnya. Namun, keberadaan anak-anaknya membuat niat itu hanya bayang-bayang saja.

Beban hidup ada di pundaknya. Semula mengandalkan biaya sehari-hari dari penghasilan suami, kini tak bisa lagi. Ia banting tulang. Bekerja serabutan asal mendapat pemasukan. Ia menerima jasa cuci-gosok pakaian para tetangga dengan biaya Rp40 ribu per 7 hari, hingga membantu menjual mi ayam dengan ongkos Rp20 ribu per harinya.

Puspa Riyatini Safitri masih terlalu belia ketika ayahnya, Syahromi, menjadi korban bom di Kedubes Australia–dikenal juga dengan sebutan Bom Kuningan. Saat itu Puspa masih kelas 2 SD. Namun dua tahun setelah teror bom, ia harus mengarungi hidup tanpa seorang ayah yang meninggal karena luka ledakan.

Pun dengan Sari Novriatin Putri. Anak sulung dari Syahromi-Wartini itu menjadi yang paling kehilangan sosok ayah. Sebab menurut Wartini, Putri yang sudah beranjak remaja kala itu memang dekat dengan Syahromi.

Tanggungan Wartini hanya berkurang dari segi biaya pendidikan. Pasalnya, Kedubes Australia bertanggung jawab membiayai pendidikan dua anaknya; seluruhnya. Selain itu, Putri juga mendapat bantuan uang pendidikan dari artis yang juga seorang model, Nadia Mulya.

“Itu atas nama pribadi Nadia Mulya. Dibantu sampai Putri lulus. Pas kejadian (bom) Putri kelas 2 (SMK), Bapak meninggal, (Putri) kelas 3. Nadia bantu dari kelas 2. Semua dijamin lah sama Kedubes Australia. Soal biaya pendidikan aman, cuma sehari-harinya nyari sendiri,” kata Wartini.

Tujuh belas tahun berlalu, Wartini kini menginjak usia senja yaitu 52 tahun. Ia menetap di gang sempit daerah Kampung Rawa Selatan, Jakarta Pusat. Di rumah tersebut lah Wartini melayani tetangga yang ingin membeli masakannya. Menu tersedia lengkap ala warung tegal seperti nasi, tempe, tahu, kerupuk, ayam, sayur-mayur, dan sebagainya.

Berdagang. Itulah pekerjaan rutin yang ia lakukan untuk biaya hidup sehari-hari. Rumah Wartini terletak di pinggir kali yang lebarnya tidak besar. Berdempetan dengan sejumlah rumah lain. Bangunan itu terdiri dari tiga lantai yang masing-masing lantai terdiri dari satu petak ruangan berukuran sekitar 1,5 x 3 meter.

“Mas, kenalin ini Sahwa yang saya ceritakan waktu itu masih dalam kandungan. Dia yang belum lihat bapaknya,” ucap Wartini.

Sahwa kini siswa kelas VII SMP. Wartini mengatakan, seperti dua kakaknya, biaya pendidikan Sahwa ditanggung sepenuhnya Kedubes Australia. Wartini mengatakan kondisinya, secara psikis, saat ini berbeda dengan saat terjadi bom di tempat suaminya mengabdi dan saat kepergian Syahromi untuk selama-lamanya.

Saat mendengar ada ledakan di Kedubes Australia, Wartini buru-buru menuju lokasi. Kendaraan umum kala itu tak ada, beruntung ada tukang ojek yang bersedia mengantarnya. Dia akhirnya mendapatkan kabar dari yayasan yang mempekerjakan suaminya bahwa Syahromi terbaring di RS MMC—tak jauh dari Kedubes Australia yang berada di kawasan Kuningan.

“Saya cari di RS MMC sama teman Bapak berdua, ketemu di lantai 5,” kata dia. Wartini menjelaskan ketika itu keadaan suaminya sangat terpuruk. Kata dia, Syahromi tidak bisa mendengar suara apa pun termasuk dirinya yang sangat peduli terhadap keadaannya.

“Dia tadinya telinganya dua-duanya enggak bisa dengar. Akhirnya dia minta kertas dan pulpen, dia nulis, ‘saya enggak bisa dengar, telinga saya dua-duanya enggak bisa dengar orang bicara,” cerita Wartini menirukan suaminya.

Syahromi mendapat penanganan dari dokter spesialis THT RS MMC. Ia menjalani perawatan di sana selama satu minggu untuk kemudian dirujuk ke rumah sakit yang berada di Cikini.
“Di sana diperiksa, diteliti, ternyata Bapak gendang telinga, koklea atau rumah siputnya sudah hancur. Bapak di situ sempat shock juga. Akhirnya pasrah. Habis mau gimana,” ucap Wartini.

BACA JUGA  Hak Asasi Perempuan dalam Perspektif Islam

Wartini mengatakan suaminya harus menepi selama sekitar 1-2 bulan sebelum memutuskan untuk kembali bekerja dengan kondisi telinga sebelah kiri tidak bisa mendengar sama sekali, dan harus tetap rutin mengobati luka di RS.

Di tengah kondisinya yang menurun akibat luka ledakan bom Kuningan itu, kata Wartini, suaminya masih menaruh perhatian terhadap teman-teman lain yang juga menjadi korban. Suaminya, terang dia, membentuk Forum Kuningan sebagai wadah untuk memberikan bantuan terhadap pengobatan korban.

Setiap tahunnya, Forum Kuningan diketahui juga selalu menggelar peringatan tragedi bom Kedutaan Besar Australia. “Dia cuma cerita begini, ‘Saya kasian sama korban-korban lain. Nanti gimana kalau berobat. Akhirnya dia ngumpulin teman-teman korban itu, ini gimana ni, kita setelah ini berobat gimana-gimana’ Akhirnya bentuklah itu forum. Orang-orang milih Bapak tuh yang jadi ketuanya,” tutur Wartini.

Ketua Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) Sucipto Hari Wibowo yang mendampingi Syahromi saat dalam kondisi payah sebelum meninggal mengatakan para korban bom teror tersebut, selain fisik umumnya mengalami sakit saraf. Begitu pun dia, yang juga terkena dampak Bom Kuningan.

“Teman itu ada yang pusing-pusing, koma, lalu enggak ada. Itu karena mereka tak terdiagnosa sebagai korban sebelumnya, atau tak mendapatkan pengobatan sakit saraf yang benar,” ujar pria yang karib disapa Cipto itu saat ditemui akhir November lalu.

Sebelum meninggal karena sakit pascaledakan, Wartini mengatakan suaminya pernah menyampaikan satu harapannya. Kalimat itu selalu Wartini ingat. Syahromi berkata, “Tin (Wartini), aku mau kita sampai kakek-nenek.”

Akan tetapi harapannya itu pupus karena takdir berkata lain. Setelah berpindah-pindah rumah sakit menjalani pengobatan, Syahromi menutup mata di RS Abdi Waluyo, Jakarta. Wartini pun emosional. Ia sangat marah terhadap pelaku terorisme. Ia tidak menyangka suaminya, yang notabene sebagai rakyat biasa menjadi korban kekejian teroris.

“Kenapa mesti rakyat-rakyat kecil seperti bapak gitu yang jadi korban,” kata Wartini dengan suara meninggi dari biasanya. Kebencian itu surut ketika Wartini ditemui sejumlah orang dari Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) dan Aliansi Indonesia Damai (Aida). Ia merasa terbantu dengan dukungan yang diberikan YPI maupun Aida.

Untuk diketahui, YPI merupakan wadah berkumpulnya para korban dan keluarga korban terorisme. Sementara Aida merupakan organisasi yang sejak didirikan memiliki tujuan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih damai melalui peran korban dan mantan pelaku terorisme.

Ketika ikut program AIDA dan dipertemukan dengan napi terorisme Ali Fauzi, Wartini mengaku sudah bisa mengontrol amarahnya. Pertemuan ini berlangsung di Solo sekitar tahun 2016.
“Tadinya saya ada sempat rasa kesal, ya. Ya, walaupun kesal gimana, walau saya marah, benci sama dia, toh Bapak juga enggak mungkin kembali lagi. Yaudah lah Allah aja Maha Pemaaf, kita sebagai umat manusia masa enggak bisa memaafkan. Apa lagi dia udah bertaubat,” kata Wartini.

Selain Ali Fauzi, Wartini mengungkapkan sudah bertemu dengan sejumlah napi terorisme lain yang ia tidak ingat lagi namanya. Masuknya YPI dan Aida ke dalam kehidupan Wartini memberi dampak positif. Ia pun kini bisa berhubungan atau berkomunikasi dengan para korban maupun keluarga korban ledakan bom, termasuk peristiwa Kedutaan Besar Australia.

Sikap Wartini terhadap terorisme tidak sama seperti anak sulungnya, Sari Novriatin Putri. Meski kepergian Ayahnya tidak membuatnya larut dalam kesedihan berkepanjangan, perbuatan para teroris bagi dia sulit untuk dimaafkan. “Biasa sih, kuat aja [usai kepergian Bapak] Jadi, ya, gitu, kalau ketemu awas lu ye kalau ketemu balas tuh. Ngapain sih kalau ada masalah sama satu orang, ya udah ketemuin sama orangnya langsung. Enggak usah semua orang dibawa-bawa ibaratnya gitu,” kata Putri geregetan.

Teroris sudah mendapatkan cap negatif di kehidupan Putri. Ia pun mengutuk setiap ledakan bom yang terjadi. Termasuk baru-baru ini ketika ada ledakan di Monas. Hingga saat ini, Putri tidak pernah bertemu dengan napi terorisme sebagaimana yang dirasakan Ibunya.

“Saya orangnya kayak gini sebel aja gitu sampai sekarang. Apa lagi ada bom gitu, ngeselin, sebel ih. Kalau diketemuin saya marah-marah kali, ye. Saya kesel, ya, kayak bukan settingan, rasanya kalau ketemu saya pengin gituin rasanya orangnya. Kalau ada yang gitu-gitu kesel, apa lagi sampai diketemuin, aduh kesel,” pungkasnya.

Ryan H. Suhendra
Ryan H. Suhendra
News Reporter CNN Indonesia

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru