26.1 C
Jakarta

Warga Indonesia dalam Himpitan Ketertutupan Berpikir

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanWarga Indonesia dalam Himpitan Ketertutupan Berpikir
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Dalam sebuah channel YouTube Ruang Tafsir Official terdapat sebuah video yang membahas status hukum jilbab dengan mengkomparasikan dua pendapat ulama, yaitu Prof. Quraish Shihab dan Buya Yahya. Yang disayangkan dalam video ini adalah komentar netizen yang cenderung menyalahkan Prof. Quraish Shihab yang berpendapat bahwa jilbab tidak selamanya wajib dipakai, apalagi Prof. Quraish Shihab menggarisbawahi dari ijtihad ulama yang dikutipnya, jilbab itu adalah pakaian terhormat.

Tidak bermaksud fanatik terhadap Prof. Quraish Shihab dan menyalahkah pihak netizen, tapi sesuatu yang disayangkan dalam berkomentar warga Indonesia adalah ketertutupan dalam berpikir (eksklusif). Entahlah, ketertutupan berpikir disebabkan ketidaktahuan akan luasnya ijtihad terkait jilbab ataukah mereka benar-benar tahu, tapi tidak mau terbuka terhadap perbedaan ijtihad yang telah dihidangkan oleh ulama.

Pemikiran yang tertutup disadari atau tidak merupakan mindset yang tidak baik, sehingga perlu dihindari. Pemikiran tertutup ini dapat menggiring seseorang melakukan sesuatu yang tidak terpuji. Sebut saja, ujaran kebencian dan aksi-aksi kekerasan berwajah terorisme. Beberapa perbuatan tersebut seringkali dilakukan oleh warga Negara Indonesia. Meski, pelakunya sampai sekarang ada yang bertobat dan ada yang belum.

Ujaran kebencian dan aksi terorisme merupakan perbuatan picik yang biasanya dilakukan oleh dua organ tubuh, yaitu lisan dan tangan. Nabi berpesan: Al-Muslimu man salima al-muslimuna min lisanihi wa yadihi. Seorang muslim sejati adalah ia yang dengan lisan dan tangannya dapat menyelamatkan orang lain. Nasehat Nabi tersebut seringkali dilupakan oleh pemeluk agama Islam sendiri. Mereka merasa paling benar dan menyesatkan pendapat orang lain yang berbeda.

Ketertutupan berpikir juga bertentangan dengan semboyan Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Maksudnya, berbeda-beda, tetapi tetap satu. Semboyan ini menunjukkan keterbukaan berpikir dalam menghadapi perbedaan, mulai perbedaan pemikiran sampai perbedaan keyakinan. Di Indonesia sendiri terdapat perbedaan pemikiran, seperti Sunni, Syiah, dan Salafi. Sedangkan, perbedaan keyakinan atau agama meliputi Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan Konghuchu.

Keterbukaan terhadap perbedaan sangat penting diimplementasikan di Negara Indonesia. Tanpa keterbukaan ini akan sangat mungkin terjadinya perpecahan di antara yang berbeda pemikiran dan keyakinan. Padahal, perpecahan itu merupakan sesuatu yang harus dihindari. Disebutkan dalam surah Ali Imran ayat 103: Wa’tashimu bi hablillahi wa la tafarraqu. Maksudnya, berpegang teguhlah pada tali Allah dan jangan bercerai berai.

BACA JUGA  Shalat Tarawih dan Hikmah yang Tersirat di Dalamnya

Pentingnya terbuka terhadap perbedaan dapat dilihat dari sikap Nabi Muhammad ketika berinteraksi dengan masyarakat yang tidak seagama dengan beliau. Nabi tetap bersikap dengan baik dan santun. Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak pernah Nabi mencela para pemeluk agama di luar Islam, apalagi pemeluk agama Islam sendiri. Lebih dari itu, Nabi tidak merusak tempat ibadah agama di luar Islam. Sikap Nabi yang terbuka ini disebut dengan toleransi. Toleransi tidak dapat dipahami dengan memeluk semua agama, tapi mengakui kebenaran semua agama selagi bertauhid.

Sikap toleransi yang dihadirkan tersebut mengantarkan Nabi menjadi seorang yang teladan. Nabi tidak hanya dimuliakan oleh pemeluk agama Islam, tetapi diakui kemuliaannya oleh semua pemeluk agama. Cendekiawan Barat Michael H Hart menyebutkan dalam bukunya The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History, bahwa Nabi Muhammad termasuk tokoh yang paling berpengaruh dibandingkan tokoh yang lain, sehingga beliau diposisikan pada urutan pertama.

Keterbukaan dapat melahirkan ijtihad yang bervariariasi. Imam as-Syafii termasuk contoh dari sekian mujtahid yang sangat terbuka dalam berijtihad. Sehingga, ijtihad yang dihidangkan bervariatif, mulai pendapat yang lama (qaul qadim) maupun pendapat yang baru (qaul jadid). Perbedaan pendapat ini tidak dapat dipahami sebagai bentuk ketidakkonsistenan Imam as-Syafii. Namun, perbedaan ini justru menunjukkan keterbukaannya.

Sebagai penutup, hindari ketertutupan dalam berpikir, karena ia akan mengantarkan seseorang kepada kehinaan. Ketertutupan ini dapat mengantarkan seseorang melakukan perbuatan terlarang, seperti ujaran kebencian dan aksi terorisme. Sebaliknya, budayakan berpikir terbuka dalam merespons segala perbedaan. Karena, keterbukaan ini akan mengantarkan seseorang menggapai kemuliaan, seperti bersatu di tengah perbedaan.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru