34 C
Jakarta

Wanita dalam Pusaran Aksi Radikalisme dan Terorisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifWanita dalam Pusaran Aksi Radikalisme dan Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Berbagai aksi terorisme dan radikalisme dalam beberapa dasawarsa ini kain “subur” terlebih di era milenial ini. Bergama aksi teror di Indonesia semakin banyak terjadi dan semakin subur, belum lagi adanya peran wanita yang tampak semakin aktif dalam pola aksi terorisme baik secara global maupun regional.

Melihat dari sudut pandang sosiologis atau pandangan masyakarat mengenai aksi teror yang semakin nyata dan meningkat bahkan dinamis terutama saat wanita kini menjadi pelaku aktif. Stereotip wanita sebagai seseorang yang memiliki karakter keibuan penuh kasih, dan anak-anak yang terlihat tidak berbahaya bahkan rapuh seringkali lolos observasi dan kecurigaan dari petugas keamanan setempat.

Adanya idealisme akan harapan dan janji masa depan yang lebih baik untuk keluarga menjadi pandangan yang menggerakkan mereka. Pemikiran semacam itu kemudian menjadi pembenaran untuk melakukan aksi bom bunuh diri bersama anggota keluarga (family bombing).

Salah satu contohnya pada 2010 kasus Putri Munawaroh, istri teman Noordin M. Top yang divonis delapan tahun penjara, dalam hal ini wanita masih dalam level supporter karena menyembunyikan gembong teroris.  Level meningkat pada tahun 2016, kasus DYN menjadi perbincangan sebagai seorang wanita calon pelaku bom bunuh diri pertama yang ditangkap (.N. Chong, “Radicalisation of the Female Workers”: 2017).

Partisipasi wanita dalam tindak kekerasan seringkali terjadi diwilayah konflik. Ada “black widow” pembom bunuh diri yang terdorong untuk melakukan tindakan terorisme setelah kematian pria dalam hidupnya. Black widow adalah hasil defenisi oleh pejuang Chechnya untuk menjelaskan tindakan teroris wanita Chechnya yang menggambarkan para wanita sebagai korban dan tanpa hak pilihan. Hal ini mengidentifikasi tindakan bom bunuh diri.

Penyebab dan indikator wanita menjadi sasaran dan agen aksi terorisme dan radikalisme disebabkan beberapa faktor. Direktur The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia Ruby Kholifah menjelaskan kaum hawa termasuk salah satu golongan yang rentan terhadap penyebaran paham terorisme.

Direktur The Asian Muslim Action Network (AMAN) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang membuat wanita turut dilibatkan dalam aksi teror yang dilancarkan oleh kelompok ISIS. Pertama adalah kegagalan ISIS menggunakan kekuatan laki-laki dalam melancarkan tindakan ekstremisme. Maka, mobilisasi wanita itu mereka lakukan.

Apalagi, pada era 1980-an, kelompok-kelompok ekstremis di Indonesia juga melarang wanita untuk melancarkan aksi teror. Namun, kondisi terpuruk yang menimpa ISIS belakangan ini membuat mereka melakukan pergeseran dalam menebar aksi ekstremis.

Kedua , adalah kekuatan wanita yang memang sudah banyak. Dan wanita di kelompok ini solid dan militan. Militansi mereka mendapatkan momentum dengan kekalahan ISIS. Bertahun-tahun kalangan wanita di kelompok ekstremis melaksanakan doktrinasi di dalam kelembagaan mereka, termasuk di lingkup keluarga. Kata dia, doktrinasi ekstremisme di keluarga sebetulnya bukan dari ayah ke anak, melainkan dari ibu ke anak. Jadi peran wanita memang banyak.

Ketiga terkait perkembangan teknologi digital di mana media sosial dimanfaatkan oleh kelompok ekstremis. Menurutnya, keberadaan medsos mengubah wajah perekrutan anggota untuk menyebarkan terorisme di Indonesia.Peran medsos ini juga berpengaruh dan mengubah wajah terorisme. Sekarang tidak ada lagi pimpinan utama. Dulu perekrutan itu dilakukan selama dua tahun, baru bisa dikatakan sah untuk melakukan aksi bom bunuh diri, proses radikalisasi terjadi di medsos.

BACA JUGA  Mitos: Menyangkal Labelisasi Agama sebagai Sumber Konflik dan Kekerasan

Konten-konten yang berbau ekstremis disebar di medsos dan bisa dengan mudah diunduh. Selain itu, untuk memperkuat perspektif tentang ideologi yang dibawa kelompok ekstremis, bisa didengar lewat ceramah tokoh-tokohnya di medsos.Diantara sisi buruk teknologi adalah memasifkan penyebaran ideologi kelompok ekstremis. Semula perekrutan dilakukan selama 2 tahun, sekarang menjadi 2 jam atau 2 hari. Ketika wanita mendapat akses, sulit untuk menemukan siapa yang bisa mengontrolnya, termasuk orang tua ataupun suami.

Keempat, faktor terakhir ini  yang menyebabkan wanita terlibat, oleh karena tidak adanya penggunaan perspektif gender dalam menangkal aksi terorisme. Menurut dia, selama ini pencegahan hingga pemberantasan terorisme tidak menggunakan perspektif gender sehingga tidak mampu memitigasi penyebaran ideologi ekstremisme. Perspektif gender kita itu gagal dan enggak bisa membaca mengapa wanita melakukan itu.

Kita tidak bisa melihat trennya seperti apa dan bagaimana ke depannya, karena perspektif gender ini tidak dipakai dalam membaca fenomena ekstremis dengan cukup maksimal. Jika perspektif gender ini tidak diarusutamakan, , maka situasinya akan seperti ini terus. Hendaknya ada yang mendorong agar pengarusutamaan gender ini menjadi strategi nasional. Bila tidak demikian, pemerintah akan terus melihat wanita dan anak dilibatkan dalam aksi terorisme.

Era milenial “kampanye” yang dilakukan untuk menggaungkan paham radikalisme dan terorisme kian gencar terutama melalui online. Kita mengetahui bahwa aksi terorisme dan semacamnya merupaka tindakan yang di cela dan dilarang oleh semua kalangan dan agama.  Namun, kebanyakan aksi terorisme adalah mengatasnamakan ‘jihad’ atas nama agama Islam. Jihad dalam hal ini dimaknai sebagai aksi yang bermuatan kekerasan.

Padahal di dalam Islam sendiri sama sekali tidak dianjurkan untukamelakukan kekerasan terhadap sesama manusia. Tentu kita semua akan sepakat bahwa jihad yang senantiasa digaungkan oleh pelaku teror ataupun sekelompok yang senatiasa menebar ideologi radikal adalah aksi tak bermoral. Sama sekali bukan jihad dalam arti yang sesungguhnya.

Di dalam al-Qur’an sama sekali tidak dianjurkan melakukan aksi terror seperti yang selama ini diyakini oleh pelaku teror. Di dalam Surat al-Anfal ayat 60 ditemukan makna yang sama dengan kata teroris yaitu ‘al-irhab’ yang berarti menggetarkan atau membuat takut atau diartikan sebagai teroris. Terorisme diterjemahkan dalam bahasa Arab yaitu ‘irhabiyah’.

rhabiyah yang dimaksud di dalam al-Qur’an mengandung muatan dan makna terhadap perilaku seseorang dalam kebaikan, sedangkan terorisme merupakan sebuah tindakan yang bertujuan untuk membuat orang merasa takut, tidak aman dan tentunya menghilangkan nyawa orang-orang yang tidak berdosa. Barangkali inilah hujjah (pembenaran) atas apa yang selama ini dilakukan oleh pelaku teror. Padahal hujjah tersebut sama sekali tidak dibenarkan dalam al-Qur’an ataupun oleh hukum dan norma sosial.

Disnilah sangat diharapkan kehadiran dan peran pemerintah harus menempatkan perspektif gender ini untuk meredam aksi-aksi teror yang melibatkan wanita. Mengapa, karena wanita punya kekuatan jangkauan jaringan sosial yang sangat baik dan peran sebagai aktor perdamaian itu akan maksimal dia lakukan.

Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi
Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi
Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga dan Dosen IAI Al-Aziziyah Samalanga, Bireuen dan Ketua PC Ansor Pidie Jaya, Aceh.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru