30.1 C
Jakarta

Wajah Islamisme dan Populisme Islam Indonesia di Tengah Pandemi Corona

Artikel Trending

KhazanahWajah Islamisme dan Populisme Islam Indonesia di Tengah Pandemi Corona
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Grafik kasus Covid-19 di Indonesia sampai dengan hari ini belum menunjukkan eskalasi penurunan signifikan. Salah satu efek dominonya adalah derasnya kritik publik terhadap pemerintah atas penanganan kasus tersebut, apalagi pandemi ini bersamaan dengan momen Ramadhan. Narasi anti Islam, diskriminasi dan pelarangan ibadah oleh pemeintah pun ramai menghiasi media sosial. Jika kita amati ada beberapa tipologi kritik publik terhadap pemerintah atas penangan pandemi tersebut. Salah satunya adalah tipologi kritik publik yang ditunggangi oleh kelompok Islamisme dan populisme Islam.

Pertanyaannya, siapa sebenarnya kelompok Islamisme dan populisme Islam tersebut, lalu apa perbedaan keduanya dengan Islam, dan bagaimana akar ideologis munculnya dua gerakan tersebut di Indonesia?

Islam berkaitan dengan kepercayaan pada Allah dengan berbagai rukun dan amaliahnya. Sebagai kredo keimanan, cara beribadah dan kerangka etis, meskipun Islam menyiratkan nilai-nilai politis tertentu namun Islam samasekali tidak mensyaratkan suatu tatanan pemerintahan tertentu.

Adapun Islamisme menurut Bassam Tibi adalah sebuah ideologi. Tepatnya ideologi yang menghubungkan antara din (agama) dan daulah (negara). Islamisasi juga berkaitan erat dengan formalisasi Islam. Meskipun tampak religius, akan tetapi Islamisme sebenarnya lebih terkait dengan politik, dan bukan semata Iman. Lebih tepatnya politik yang diagamaisasikan. Kelompok ini mempromosikan tatanan politik tertentu (baca: khilafah) yang dipercaya beremanasi dari kehendak Allah dan mereka anggap sebagai satu-satunya solusi bernegara secara Islami.

Orientasi Islamisme

Menurut Bassam Tibi ada dua macam tipologi Islamisme. Yang pertama ia sebut sebagai kelompok “Islamis institusional“. Kelompok ini memiliki keyakinan bahwa Islam datang dengan membawa perangkat bernegara yang Islami (baca: Khilafah). Mereka memiliki komitmen kolektif untuk mewujudkan tatanan dunia baru dengan sistem pemerintahan Islam dan di saat yang sama menolak sistem pemerintahan non Islam termasuk sistem demokrasi.

Islamis Institusional tidak menggunakan pendekatan radikal dalam mengejar orientasinya. Mereka lebih banyak bertindak selaku simpatisan dan biasanya menyamarkan identitasnya secara publik, meskipun banyak juga yang meluapkan emosionalitas gerakannya yang tak terbendung melalui media sosial. Di Indoneisia gerakan kelompok yang pertama ini lebih banyak berbentuk propaganda publik utamanya kritik atas kegagalan sistem demokrasi. Mereka juga mengklaim bahwa sistem khilafah adalah satu-satunya solusi.

Kedua, adalah “Islamis Jihadis“. Kelompok yang kedua ini dapat dikatakan sebagai kantung-kantung jihadi-takfiri. Sama dengan kelompok yang pertama, “Islamis Jihadis” juga mengusung agenda politik tatanan dunia baru dengan sistem pemerintahan Islam, hanya bedanya lebih jihadis, ekstrem dan radikal. Kelompok ini gemar menuduh kafir terhadap pemerintah dan kelompok lain yang tidak sepergerakan dan sepandangan dengan mereka. Lebih dari itu, kelompok ini juga memiliki doktrinasi radikalisme dan kekerasan fisik. ISIS adalah salah satu contoh kelompok tersebut (Bassam Tibi: Islamism and Islam).

Adapun populisme adalah gerakan yang lebih bersifat global dan berpengaruh besar terhadap konstelasi politik di berbagai negara termasuk Indonesia. Populisme ini menggejalai banyak negara di dunia utamanya pasca kemenangan Trump di Amerika. Populisme secara sederhana bisa diartikan sebagai filsafat politik yang berpihak pada kepentingan orang banyak, alih alih berpihak pada kepentingan elit dan pemerintah. Buku Ernesto Laclau yang berjudul “On Populist Reason”. Misalnya, atau milik Chantal Mouffe “For A Left Populism” membahas dengan detil apa itu populisme dan bagaimana ia muncul dalam dinamika sejarah global.

BACA JUGA  Kontra-Radikalisme dan Disinformasi di Tengah Hiruk Pikuk Pemilu 2024

Jika kita amati dalam beberapa kasus di Indonesia. Salah satu ciri gerakan populisme ini adalah kegemarannya mengeksklusi kelompok yang berbeda pandangan dengan arus besar. Apakah hal tersebut sejalan dengan agenda populis untuk menggerakkan silent majority guna beraspirasi melawan elit dan politisi. Tentu, yang dianggap mengabaikan kepentingan mereka. Demo berjilid-jilid di moment pilkada DKI dan pilpres 2019 yang lekat dengan ujaran kebencian. Misalnya, kasus sara dan politik identitas diyakini banyak pengamat sebagai kebangkitan populisme Islam di Indonesia.

Menguatnya diskursus Islam sebagai arus politik besar di Indonesia mulai tampak dari memanasnya rivalitas hubungan antara golongan Islam dan Nasionalis. Namun ketika kaum nasionalis tampil dalam panggung elit politik tanah air dan berhasil menjalankan peran negosiatif dengan golongan Islam moderat, pihak-pihak yang merasa kepentingannya tak terakomodasi oleh kekuasaan mengkristal dalam selubung perlawanan dan menjadi kesadaran dalam bentuk visi kolektif di lingkaran pergerakan yang kelak kemudian disebut sebagai aktivis Islam (Ricklefs: A History of Modern Indonesia Since c. 1200).

Menurut Ricklefs dalam sajian datanya, meningkatnya jumlah masjid adalah salah satu indikator menguatnya gerakan Islam. Di Indonesia, utamanya di orde baru. Di Jawa Timur ada 15,6 ribu masjid pada tahun 1973 dan 25,7 ribu pada tahun 1990. Ini adalah peningkatan 65 persen, sementara pertumbuhan populasi periode itu hanya sekitar 50 persen. Sedangkan di Jawa Tengah, jumlah masjid tumbuh dari 15,7 pada 1980 menjadi 28,7 ribu pada 1992, pertumbuhan 83 persen hanya dalam dua belas tahun.

Menangkal Ideologi

Tarekat sufi juga berkembang pesat, perhatian masyarakat kelas menengah pada Islam, tumbuhnya sekolah-sekolah Islam modern, trend pemakaian jilbab. Dan maraknya nama-nama anak dari bahasa Arab dan popularitas lagu-lagu bernada dakwah bernuansa Arab dari raja dangdut Roma Irama. Sebaliknya, yang banyak digandrungi pada waktu itu. Cara-cara religiusitas Jawa atau abangan tampaknya semakin berkurang dan dengan yakin di beberapa tempat ditegaskan bahwa politik aliran lama tahun 1950-an dan 1960-an tidak lagi ada di Indonesia yang lebih saleh dan Islami (Ricklefs: Islamisation and Its Opponents in Java: A Political, Social, Cultural and Religious History, c. 1930 to Present).

Terbukanya kran demokrasi pasca orde baru tumbang menjadi angin segar bagi organisasi-organisasi yang sebelumnya dibungkam oleh orde baru. Selain itu, tumbangnya orde baru juga menjadi celah masuknya ideologi transnasional ke Indonesia seperti HT, IM dan Wahabi. Ideologi transnasional ini membawa corak puritanisme Islam yang lebih ekstrem dan radikal. Salah satu narasi utama yang mereka usung adalah penegakan khilafah dan syari’at Islam. Di Indonesia, caranya membenturkan agama dengan ideologi negara bangsa. Isu sensitif tersebut, menjadi ruang gerak Islamisme, dan belakangan populisme Islam.

Pandemi Covid-19 menjadi momentum paling gress Islamisme dan pupulisme Islam untuk tetap eksis terutama pasca pilpres 2019. Lewat propaganda medsos, kelompok ini sengaja memanfaatkan situasi guna menjaga momentum pergerakan mereka di Indonesia. Propaganda kritik terhadap pemerintah atas penaganan Covid-19 dan upaya membenturkannya dengan narasi pelarangan ibadah ramadhan bagi muslim oleh pemerintah terbukti laris manis mereka jual lewat medsos.

Narasi moderat dan beragama dengan akal sehat sekali lagi adalah salah satu kekuatan penyeimbang yang dibutuhkan. Tentu hal tersebut untuk melakukan counter attack terhadap narasi kontra produktif di panggung medsos di tengah badai Covid-19 yang menghantam Indonesia saat ini.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru