Harakatuna.com – Wahid Foundation menggelar Media Gathering bertajuk “Refleksi Implementasi RAN PE 2020-2024” di Aula Griya Gus Dur, Kantor Wahid Foundation, Jakarta, pada Jumat (21/2). Acara dihadiri oleh berbagai perwakilan media nasional serta pemangku kepentingan terkait guna membahas evaluasi serta pengembangan implementasi Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE).
RAN PE, yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme yang Mengarah pada Terorisme, telah melewati tahun keempat pelaksanaannya. Dalam forum ini, Wahid Foundation mengajak media untuk berperan dalam menyebarluaskan informasi terkait efektivitas dan tantangan RAN PE, serta mengumpulkan masukan untuk pengembangannya di masa mendatang.
Menurut Siti Kholisoh, Direktur Pelaksana Wahid Foundation, upaya-upaya pencegahan ekstremisme yang dilakukan organisasi masyarakat sipil dan pemerintah perlu terus disuarakan dan disebarluaskan. Peran media menjadi penting sebagai jembatan dalam memastikan penyebarluasan praktik baik pencegahan ekstremisme di masyarakat.
Hadir sebagai narasumber dalam diskusi refleksi ini adalah Dionisius Elvan Swasono, Direktur Bidang Kerjasama Regional Multilateral BNPT RI; Mujtaba Hamdi, Penasehat PCVE Wahid Foundation; dan Irine Gayatri, Peneliti BRIN bidang Politik. Diskusi dipandu oleh Dedik Priyanto, Redaktur Islami.co. Para pembicara mengulas pencapaian RAN PE dalam meningkatkan resiliensi masyarakat terhadap ekstremisme, tantangan dalam implementasinya, serta strategi untuk meningkatkan efektivitas kebijakan ini.
Libasut Taqwa, Research and Advocacy Officer Wahid Foundation, menyampaikan, “Kami berharap acara ini dapat menjadi ruang refleksi yang bermanfaat, serta memperkuat sinergi antara semua pihak dalam mewujudkan Indonesia yang damai dan bebas dari ekstremisme,” ujarnya dalam sambutan.
Mujtaba Hamdi, Penasihat PCVE Wahid Foundation, menekankan bahwa refleksi ini harus diarahkan pada evaluasi pentingnya isu ekstremisme bagi masyarakat secara luas. Ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme merupakan ancaman laten dan dapat meningkat jika aksi-aksi pencegahan serta perencanaan tidak dijalankan secara sistematis dan terintegrasi dengan regulasi yang baik. Pendekatan lunak (soft approach) tentu merupakan strategi tepat dan penting dalam merespons ancaman laten tersebut. “Fokusnya bukan kontrol atau restriksi berlebihan atas konten, tapi pada penguatan regulasi,” ujarnya.
Mujtaba juga menambahkan bahwa upaya Wahid Foundation dalam program-program Sekolah Damai dan Desa Damai di berbagai daerah dapat dijadikan contoh praktik baik dalam proses pencegahan ekstremisme, khususnya di lingkungan pendidikan dan komunitas akar rumput.
Menyambut pernyataan Mujtaba, Irine Gayatri dari BRIN menegaskan bahwa pelibatan organisasi masyarakat, termasuk di tingkat lokal hingga level komunitas, sangat penting untuk meningkatkan perangkat pengetahuan dan mekanisme yang tepat dalam upaya pencegahan tersebut. Karena itu, forum refleksi ini dapat menjadi jalan untuk mendorong maksimalnya kolaborasi aktif antara pemerintah dan masyarakat.
Walaupun telah tercapai zero attack terrorism dalam beberapa waktu terakhir, jejaring dan penyebarluasan informasi seputar ekstremisme dan terorisme masih memunculkan kekhawatiran. Penangkapan seorang karyawan perusahaan BUMN di Bekasi pada pertengahan Agustus 2023 memperlihatkan bahwa jaringan terorisme masih menjadikan media sosial sebagai media utama dalam menyebarkan narasi terorisme dan penggalangan dana (BBC Indonesia, 2023).
Menurut Dionisius dari BNPT, salah satu strategi penting pemerintah yang perlu disampaikan dalam refleksi ini adalah bagaimana mempersiapkan penyebarluasan narasi-narasi alternatif yang bisa mengimbangi narasi kelompok ekstremisme kekerasan. Karena itu, sejak tahun lalu BNPT telah menyiapkan peta jalan komunikasi strategis nasional dalam konteks pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme. Peta jalan ini menjadi wadah yang dapat memperkuat pendekatan the whole of society approach dan the whole of government approach.
Dalam forum ini juga dibahas berbagai inisiatif yang telah dijalankan, seperti kemitraan pemerintah daerah dan masyarakat sipil dalam penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD), program Sekolah dan Desa Damai Wahid Foundation, serta pelibatan pemuda dalam upaya pencegahan ekstremisme.
Menutup diskusi, Mujtaba Hamdi menegaskan bahwa pemerintah perlu memastikan dua hal. Pertama, komitmen open and responsive government dalam konteks pencegahan RAN PE. Kedua, komitmen yang bersifat resources (sumber daya). “Kita tentu paham bahwa saat ini sedang dilakukan efisiensi yang signifikan, namun tidak boleh dilupakan bahwa apabila efisiensi ini berdampak negatif terhadap masyarakat, maka cost-nya akan jauh lebih besar. Karena itu, efisiensi perlu dipastikan dengan tetap memprioritaskan masyarakat,” ujarnya.
Media Gathering ini menjadi wadah reflektif yang penting untuk meningkatkan kesadaran publik dan mengarusutamakan informasi terkait kebijakan serta upaya pencegahan ekstremisme. Dengan adanya keterlibatan aktif media, diharapkan masyarakat dapat lebih memahami upaya yang telah dilakukan dalam menjaga ketahanan sosial dan keamanan nasional. [Rafi]