31 C
Jakarta

Wahabi, Salafi, dan Pembodohan untuk Umat

Artikel Trending

Milenial IslamWahabi, Salafi, dan Pembodohan untuk Umat
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Saya lahir dan besar di Madura. Nyantri di pondok salaf, salah satu pesantren terbesar di Jawa Timur, yang setiap hari ngaji kitab kuning. Bata-Bata. Saya pertama kali mendengar istilah “Wahabi” di sana. Ada salah satu ustaz di Aliyah yang lulusan Universitas Ummul Qura, Makkah. Kiai saya yang notabene belasan tahun juga belajar di Makkah konon berpesan pada ustaz tadi, “Tolong jangan Wahabi-kan santriku.” Namun, ketika itu, tidak banyak yang saya ketahui tentang Wahabi.

Sedikit hal yang saya tahu waktu itu adalah, orang Wahabi itu enteng dengan urusan Fikih. Tidak ada klasifikasi najis seperti mughallazhah, mutawassithah, dan mukhaffafah. Tanpa pakai sandal pun, mereka biasa langsung naik mushalla/masjid. Sangat tidak berhati-hati dalam urusan suci (al-thaharah) dan najis (al-najasah). Belakangan saya paham bahwa itu karena Wahabi itu anti-mazhab. Namun, pada saat yang sama, mereka mengaku paling Sunni. Membingungkan.

Kebingungan bertambah ketika ada istilah baru, yaitu Salafi. Mereka, orang-orang Wahabi, dalam setiap ceramah mereka, mengaku pengikut salaf dan mengaku kelompok yang paling murni akidahnya. Itu sangat membingungkan karena saya, yang nyantri di pesantren salaf, justru diajari hal yang berbeda dari ajaran-ajaran Wahabi. Jadi saya bertanya heran, yang mana yang salaf? Kalau memang sama-sama pengikut salaf, mengapa kontras? Dan, siapa yang paling Sunni?

Lama-lama, seiring berjalannya waktu, saya bisa memahami masalahnya. Ternyata Wahabi melakukan pembodohan pada seluruh umat Islam. Para ulama Wahabi mengubah isi-isi kitab Ahlussunnah, lalu mengaku Sunni, lalu mengaku kelompok yang paling lurus akidahnya, lalu menamai diri sebagai Salafi, dan mengajarkan umat tentang doktrin-doktrin ke-Wahabi-an. Di balik topeng-topengnya itu, Wahabi berhasil menipu umat kebingungan—yang tidak tahu keaslian Wahabi itu sendiri.

Baru-baru ini, sepuluh tahun setelah saya lulus dari pesantren, baru mendengar seorang ustaz Wahabi di Pamekasan, Madura, mengharamkan perayaan Maulid Nabi. Saya setengah kaget karena ternyata Wahabi sudah ada di Madura, namun saya tidak kaget karena Masjid Usman bin Affan yang digeruduk warga itu lokasinya di pinggiran kota. Coba saja Wahabi mendirikan masjid dan menebarkan ajaran Wahabi di Pamekasan bagian utara, pasti ustaz yang kemarin sudah tewas dibakar massa.

Salafi itu Wahabi

Jika hendak mau adu salaf, saya lebih salaf daripada Wahabi. Dengan ngaji kitab-kitab kuning di pesantren, belajar berbagai keilmuan melalui turats klasik, kesalafan tidak perlu lagi diragukan. Artinya, saya dan para santri di pesantren salaf sejatinya lebih Salafi daripada Salafi itu sendiri. Masalahnya, istilah “Salafi” yang banyak disuarakan hari ini bukanlah pengikut salaf. Salafi itu Wahabi yang menyamar untuk membodohi seluruh umat Islam.

Dengan demikian, “manhaj salaf” yang para ulama Salafi suarakan itu hakikatnya adalah “Wahabi”. Klaim salaf digunakan untuk menutupi fakta bahwa mereka mengajarkan penyimpangan dan mewariskan perpecahan antarsesama. Di Pamekasan yang digeruduk massa kemarin, Wahabi berani mengharamkan perayaan Maulid Nabi—dengan mamanipulasi kitab Kiai Hasyim Asy’ari. Ciri khas Wahabi adalah menyamar, memalsukan diri, memfitnah, membid’ahkan, hingga mengafirkan sesama.

BACA JUGA  Melihat Lebaran Ketupat dari Kacamata Deradikalisasi

Untuk membuktikan bahwa Salafi itu Wahabi yang menyamar, dua karakteristik bisa mengungkap kesatuan entitas keduanya. Pertama, penampilan. Para pengikut ulama salaf itu di pesantren banyak. Tapi, penampilan mereka sangat lokal. Sarungan, peci hitam. Yang pakai jubah banyak, tapi mereka biasa saja. Berbeda dengan Salafi yang ada saat ini. Gaya pakaian mereka sama persis dengan Wahabi. Ternyata, kesamaan tersebut tidak lain karena Salafi adalah Wahabi itu sendiri. Penampilannya sudah menjelaskan semuanya.

Kedua, doktrin akidah. Jika Salafi memang benar-benar pengikut salaf, sebagaimana orang-orang pesantren, mereka pasti tidak anti-mazhab dan tidak suka membid’ahkan. Faktanya, Salafi tidak bermazhab dengan siapa pun dengan alasan ikut Nabi: Al-Qur’an dan hadis saja. Yang lain, bagi mereka, baik ulama Fikih, Tauhid, apalagi Tasawuf, adalah generasi belakangan yang ahli bid’ah. Doktrin akidah mereka adalah pemurnian. Sebagaimana Wahabi, Salafi berakidah serupa.

Penyamaran Wahabi menjadi Salafi ternyata sangat efektif. Jutaan umat Islam tertipu. Madura yang notabene NU tulen pun mulai dicemari hama bernama Wahabisme. Bahkan, mereka punya masjid di tengah-tengah masyarakat NU. Melalui pemalsuan nama, Wahabi menggerogoti Madura dan menggerus identitas ke-NU-an. Di masa-masa yang akan datang, boleh jadi NU di Madura habis total karena masyarakatnya lebih memilih Wahabi yang memakai baju Salafi.

Umat yang Dibodohi

Pelan tapi pasti, akibat pembodohan umat yang dilakukan orang-orang Wahabi, kultur keislaman di Indonesia akan bergeser secara signifikan. Prediksikanlah satu dekade mendatang: Sunni bukan lagi Sunni yang asli, tapi sudah dimanipulasi Wahabi; mengikuti ulama salaf bukan lagi bermazhab pada empat imam, tapi mengikuti ajaran Bin Baz dan Utsaimin; dan yang paling miris, persatuan akan mati total karena umat Muslim disibukkan tengkar sesama oleh tudingan fitnah dan sejenisnya.

Tidak hanya di kota dengan kultur masyarakat urban, Wahabi juga membodohi umat Islam di desa-desa. Target mereka adalah keawaman umat; yang tidak paham Sunni kecuali kulitnya saja. Jadi bisa dikatakan bahwa Wahabi itu kini tidak ada. Yang ada adalah Salafi; sebuah nomenklatur baru yang tidak hanya menyelamatkan orang-orang Wahabi dari konfrontasi umat, melainkan memuluskan agenda bulus Wahabi untuk membodohi seluruh umat Islam.

Ini yang tidak banyak disadari. Umat yang berhasil dibodohi pun justru mati-matian membela Wahabi sebagai golongan paling murni keislamannya—karena tidak terikat oleh mazhab apa pun. Apa yang terjadi di Pamekasan, Madura, kemarin, itu terjadi karena masyarakat Madura memiliki resistansi yang tinggi ihwal ajaran-ajaran yang menyimpang. Masih ingat kasus penyerangan pengikut Syiah di Sampang? Sama persis dengan yang menimpa ustaz Wahabi di Pamekasan.

Tapi bayangkan jika itu bukan Madura, tapi di perkotaan dengan kultur keislaman yang awam dan lemah. Pembodohan umat tersebut akan berjalan mulus, tidak akan ada perlawanan, dan Wahabi akan panen jemaah sebanyak-banyaknya. Dalam konteks itulah, Wahabi, Salafi, dan pembodohan umat Islam mesti segera dihentikan. Wahabi adalah kelompok pemecah-belah. Mereka melakukan apa pun agar Wahabisme tumbuh subur. Apakah dengan demikian Wahabi masih layak dibiarkan? Pikirkanlah.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru