31.4 C
Jakarta

Virus Corona, Benarkah Bukti Dekatnya Kiamat?

Artikel Trending

Milenial IslamVirus Corona, Benarkah Bukti Dekatnya Kiamat?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Virus Corona, alias Coronavirus (Covid-19), hari-hari ini menggemparkan dunia. Bermula dari Wuhan, Cina, ia menyebar, memakan korban hingga ratusan ribu jiwa. Selang beberapa waktu kemudian, dunia internasional juga terinfeksi Covid-19. Per 16 Maret, 18.42 WIB, dilansir dari Kompas, angka infeksi mencapai 173.047 orang di 158 negara. Angka kematian pandemi Covid-19 adalah 6.664 orang, dan 77.783 orang dinyatakan sembuh.

Italia menempati posisi angka kematian tertinggi di luar Cina, tercatat 1.809 kematian. Iran pun menyusul, dengan angka infeksi 14.991 orang dan 853 meninggal. Yang paling menghebohkan, dan pertama kali terjadi, ialah sterilisasi Ka’bah. Tidak hanya kegiatan haji-umrah yang ditutup sementara, kegiatan manasik di tanah haram pun diminimalisir. Tidak ada orang tawaf. Narasi-narasi tidak sedap pun berseliweran.

Urutan tertinggi selanjutnya yaitu Spanyol. Kasus infeksi mencapai 8.794 orang dan 853 meninggal. Korea Selatan juga tak kalah tinggi. Sebanyak 8.236 positif terinfeksi, dan 75 tercatat meninggal. Masyarakat Indonesia pun tidak bergeming. Kekhawatiran dan ketakutan di mana-mana. Bahkan ada isu, seandainya Indonesia juga terkena Corona, pemerintah dan rumah sakit dianggap tidak memiliki kapasitas mumpuni untuk menanggulanginya.

Indonesia tergolong sebagai negara yang tangguh. Di awal-awal, saat negara-negara tetangga terinfeksi semua, Indonesia belum terinfeksi. Menteri Kesehatan Terawan bahkan tidak hanya sekali tampil percaya diri: Indonesia masih mampu mengatasi Corona. Namun itu tidak berlangsung lama. Pada Senin (2/3) lalu, didampingi Terawan, Jokowi mengumumkan, dua orang positif Corona. Jokowi juga mengatakan, ia yang akan mengomandani sendiri satgas (task force) penanganan Corona.

Tetapi berbeda dengan kesigapan negara-negara lain, di Indonesia, hoak-hoaks tentang Corona pun menyebar tak kalah masif dari penularan virus itu sendiri. Respons ustaz-ustaz lebih awal bahkan dari medis. Sayangnya yang disebarkan ke masyarakat justru sesuatu yang mengada-ada. Covid-19 pun menjadi isu belang-belang: antara isu medis dan isu teologis.

Yang dikhawatirkan dari Corona kemudian bukan hanya baahaya virus itu sendiri, melainkan ketakutan, hoaks, dan stigma yang melekat kepada para korbannya.

Corona Adalah Musibah

Kegentingan yang terjadi disebabkan virus Corona menyadarkan kita, manusia, sebagai hamba. Penghambaan kita kepada Tuhan mengharuskan kita menerima segala ketentuan-Nya. Musibah, adalah satu dari ketentuan itu. Kendati demikian, memelintirnya sebagai azab atau sebagai rahmat adalah kesia-sian. Seorang hamba tidak punya hak menentukan apa yang tengah diturunkan oleh Tuhannya.

Kembali harus menganggap, Corona adalah musibah murni. Entah azab kepada orang kafir, atau rahmat kepada orang Islam. Tidak ada yang tahu. Tidak perlu menghakimi. Yang jelas, ia ‘menimpa kita’, semua umat lintas agama-negara, makanya disebut ‘musibah’. Yang mesti dilakukan adalah kesadaran reflektif interpersonal. Menanggapinya kemudian juga ada dua: berpandangan zahir, dan, berpandangan batin.

Sebagai peristiwa zahir, maka yang bisa dilakukan adalah tindakan preventif berdasar medis. World Health Organization (WHO) memberikan imbauan medis, di antaranya ialah pola hidup-makan sehat, rajin cuci tangan, dan memakai masker bagi yang flu, menghindari penularan. Hand sanitizer disedikan di setiap halte/stasiun, atau sedia sendiri, agar risiko penularan terminimalisir.

Tetapi dalam pandangan batin, virus Corona bisa kita maknai sebagai peringatan dari Allah agar makhluk kembali dekat pada-Nya. Terlepas dari apakah kita akan mengikuti mazhab jabariyah maupun qadariyah, Corona harus kita obati juga dengan banyak berdoa tolak bala’waba’, berzikir, beristighfar, berselawat kepada Nabi; selawat tibb al-qulub dan amalan-amalan lainnya.

BACA JUGA  Cara Jitu Menangani HTI dan Gerakan Bawah Tanah Khilafahers

Dua dimensi tentang Corona tadi, kita pandang secara zahir maupun batin, adalah dimensi utuh dari status kita sebagai seorang hamba. Syekh Sudais, Imam Masjidil Haram mengatakan, persentase kematian karena Corona hanyalah 1%. Sedangkan persentase kematian disebabkan apa saja, maksudnya ketentuan Allah, adalah 100%. Menanggapinya pun harus proporsional.

Mengabaikan instruksi medis sama sekali tidaklah adil, dan mengabaikan amalan-amalan agama sama sekali juga tidak dibenarkan. Harus ada sinergitas antarkeduanya. Kita harus menangkal musibah ini zahir dan batin secara bersamaan. Dan yang terpenting, dalam kasus Corona ini, kita juga memiliki tugas menangkal narasi-narasi kotor. Misanya isu bahwa: apakah Corona salah satu bukti dekatnya kiamat?

Menangkal Narasi Kotor

Banyak sekali narasi kotor yang muncul di atas musibah Corona ini. Setiap narasi tersebut punya kepentingan tersendiri: bahan dakwah, hingga memperlancar agenda politik. Ketakutan akibat kematian dipelintir sedemikian rupa. Virus Corona itu sendiri dijadikan bahan hoaks. Dan orang yang telah terinfeksi mengalami perlakuan stigmatis.

Dimulai dari penceramah yang mengaitkan Corona dengan pembantaian Muslim Uighur. Penceramah lain mengaitkannya dengan Iluminati, bahwa Corona adalah konspirasi Amerika dan Israel. Ada yang percaya diri menerangkan lagi, bahwa Covid-19 adalah bukti akhir zaman, di mana manusia akan banyak musnah. Mana di antara mereka yang benar?

Tidak ada. Semua hanya spekulasi belaka, tidak bisa dijamin kebenarannya.  Menganggap Corona sebagai tanda kiamat adalah kesimpulan yang terburu-buru. Hanya karena beredar isu bahwa tengah Ramadhan nanti akan ada asteroid menabrak bumi, tidak berarti kematian karena Corona adalah tanda kiamat. Ilmu ‘cocoklogi’seperti ini yang marak di Indonesia.

Tetapi sekalipun iya, misalkan, yang perlu diketahui dari hari kiamat bukan waktunya, melainkan apa yang telah kita persiapkan untuk melaluinya. Keimanan, ketakwaan, itu yang harus ditingkatkan, bukan menyibukkan diri menjadi Muslim ‘sok tau’. Kiamat adalah urusan Sang Pencipta. Sama sekali tidak ada hak bagi kita untuk mereka-reka kapan terjadinya.

Tentu, membaca tanda-tanda kiamat adalah keniscayaan. Agar bekal untuk akhirat kita semakin meningkat. Menyibukkan diri untuk sok tau tentang kiamat hanya akan menggiring terhadap kelupaan akan bekal akhirat itu sendiri. Apalagi jika narasi spekulatif tersebut bertujuan juga untuk memojokkan golongan lain melalui ceramah yang tak bermutu.

Virus Corona harus dipahami sebagai musibah bersama, lepas dari agama apa pun. Virus Influenza dan SARS sudah pernah terjadi, dan menjadi pandemi global. Corona tidak jauh dari itu. Pandemi tetaplah pandemi, tanggapan yang bijak adalah mengikuti anjuran medis dan tentu, kembali kepada Tuhan. Setiap musibah ada hikmah. Mungkin agar kita taqarrub pada-Nya.

Narasi kotor harus dilawan. Siapapun penebarnya, ia tidak keluar kecuali dari mulut dan hati yang kotor.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…

Kunjungi laman kami untuk berbagi kegiatan melawan radikalisme dan penguatan pilar kebangsaan

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru