Harakatuna.com – Pasca-Reformasi, Islam Indonesia mengalami perkembangan signifikan. Agama tidak saja menjadi keyakinan pribadi, tetapi juga wacana publik. Di tengah keterbukaan, muncul berbagai partai politik dan kelompok yang memanfaatkan Islam sebagai alat legitimasi meraih simpati masyarakat. Publisitas Islam pun kemudian menemukan otoritas-otoritas baru, ustaz-ustaz baru, yang bernuansa seleb. Ustaz Hanan Attaki dan Felix Siauw, misalnya.
Dua ustaz tadi, di samping ada yang lainnya seperti Ustaz Agam dan Kadam Sidik, telah berhasil merombak status quo dunia perustazan di tanah air. Citra mereka di hadapan Gen Z adalah yang paling top, karena dirasa paling hits, paling gaul namun alim, dan dekat dengan gaya hidup generasi muda itu sendiri. Alim dan gaul. Itu kuncinya. Gaul orientasinya ialah selebritas, sehingga di sini disebut sebagai ustaz-cum-selebritas.
Fenomena tersebut mendorong terjadinya demokratisasi dan fragmentasi otoritas agama di Indonesia, memberikan ruang bagi siapa saja untuk tampil sebagai ‘paket bermerek’ dalam dakwah Islam. Hal itu membuat mereka bukan sekadar dai, tetapi juga pemberi nasihat spiritual yang kompleks seperti menangani masalah cinta, mental health, dan lainnya. Ustaz Hanan mengistilahkannya sebagai sharing session.
Ustaz Hanan punya 10 juta lebih followers di Instagram, dengan bio singkat sebagai founder Shift Pemuda Hijrah Movement. Pesan-pesan dakwahnya cukup personal seperti pernikahan muda dan motivasi islami mengatasi anxiety, gamophobia, dan problem-problem Gen Z lainnya. Menariknya, Ustaz Hanan sendiri juga baru hijrah ke NU dan dekat dengan kiai-kiai NU, sehingga dakwahnya moderat dan tidak tendensius dengan ideologi tertentu.
Berbeda halnya dengan Ustaz Felix Siauw. Sebagai ustaz-cum-selebritas, ia juga menggunakan Instagram untuk menyebarkan gerakan hijrah dan mengemas dakwahnya dalam bentuk yang trendy—sekalipun tidak sepopuler Ustaz Hanan. Ia mengklaim sebagai ahli sejarah. Ciri khasnya, ia kerap memakai batik sebagai identitas ke-Indonesia-an. Padahal, pandangan politiknya kontroversial, yaitu mendorong tegaknya khilafah ala HTI.
Ustaz Selebritas, Tantangan Digitalisasi?
Ustaz Hanan dan Ustaz Felix adalah dua nama besar dalam kancah dakwah digital. Keduanya mampu menyatukan gaya penyampaian khas yang menarik bagi Gen Z sebagai ‘generasi hijrah’. Pendekatan mereka membawa wajah baru pada dakwah yang dulunya didominasi televisi dan media cetak. Terdapat ruang maya bagi para dai itu untuk tampil sebagai influencer keagamaan dan pembuat tren dakwah aktual.
Namun, dengan popularitas mereka, muncul kekhawatiran: bagaimana ketika tren dakwah mulai bercampur dengan konten yang rentan membawa pemahaman eksklusif, bahkan menyerempet pada ideologi-ideologi antitesis kebangsaan? Tentu, tak semua ustaz-cum-selebritas memiliki tendensi semacam itu, tetapi narasi yang menyinggung antipati terhadap nilai-nilai tertentu kerap kali muncul, baik sengaja maupun tidak.
Pada kasus Ustaz Felix, tema yang dibawanya selalu menyinggung isu-isu politik Islam, seperti khilafah, yang baginya dianggap perlu ditegakkan dalam konteks keindonesiaan. Di satu sisi, Ustaz Felix mengemas dakwahnya dengan narasi yang terasa muda dan segar, tapi di sisi lain narasi tersebut menyalahi ideologi negara. Silakan dicek konten-konten Ustaz Felix di berbagai platform: semuanya menuntut berdirinya khilafah HTI.
Sementara itu, Hanan Attaki tidak separah Ustaz Felix. Ia tidak radikal sama sekali. Namun, tidak jarang gaya dakwahnya menguatkan kecenderungan untuk mengidolakan dai tanpa memeriksa lebih dalam kapasitas keilmuannya. Seiring waktu, beberapa ustaz-cum-selebritas bertransformasi menjadi sosok yang merasa lebih alim daripara ulama tanah air, padahal kualifikasi keilmuan mereka boleh jadi sangat jauh di bawahnya.
Namun itulah tantangan digitalisasi. Dalam fenomena ustaz-cum-selebritas, yang alim sungguhan bisa kalah pamor kepada yang pura-pura alim. Tantangannya tampak sekali pada kasus Ustaz Felix. Ia menggunakan batik, bertutur kata bagus, berwawasan sejarah yang relatif mendalam, maka itulah yang akan diterima masyarakat. Lalu bahwa ia seorang HTI dan propagandis khilafah? Sayang sekali, Gen Z tidak akan peduli itu.
Menyikapi Dinamika Otoritas Keislaman
Platform digital memang telah bertransformasi dari sekadar alat komunikasi menjadi arena kontestasi sosial hingga ideologi. Para ustaz-cum-selebritas tidak saja berbicara tentang ritual, tetapi juga politik, sosial-budaya, dan gaya hidup. Noorhaidi Hasan dalam The Making of Public Islam mencatat, dakwah di ruang publik melibatkan komodifikasi spiritualitas: agama dihadirkan sebagai produk wajib konsumsi dalam format yang modern-praktis.
Keberhasilan ustaz-cum-selebritas dalam menarik massa mengindikasikan bahwa platform digital telah menjadi sumber utama informasi keagamaan yang mengonstruksi ideologi pemuda Muslim, khususnya Gen Z, di Indonesia. Artinya, aktor penguasa digitalisasi, baik dari kalangan ustaz-cum-selebritas maupun ustaz-ustaz konvensional, memiliki peluang menjadi otoritas dan mendapat tempat spesial di kalangan Gen Z itu sendiri.
Dengan kata lain, kehadiran ustaz-cum-selebritas seperti Felix Siauw dan Hanan Attaki menandai pergeseran otoritas agama: otoritas baru dan konvensional saling berkontestasi merebut perhatian publik. Dakwah tidak lagi sekadar syiar, tetapi juga berpotensi menjadi ideologisasi massa secara terselubung. Lantas, bagaimana menyikapi kekhawatiran tersebut, alias ketakutan atas dinamika otoritas keislaman?
Jawabannya adalah kembali kepada Gen Z atau masyarakat umum itu sendiri. Harus diakui, tren dakwah ustaz-cum-selebritas merupakan dinamika yang tidak dapat disikapi secara resisten. Pemerintah juga tidak dapat menolaknya karena memandangnya ancaman. Itu akan sama halnya dengan menolak kemajuan teknologi, yaitu akan usang dan ditinggal generasi bangsa. Karena itu, menyikapinya harus secara presisi dan efektif.
Faktanya, jika dikelola dengan baik, dakwah ustaz-cum-selebritas justru bisa menjadi tren penguatan moderasi beragama dan kebhinekaan. Para ustaz-cum-selebritas itu tetap digandrungi Gen Z namun potensi ideologisasi ataupun radikalisasinya perlu disterilkan. Dalam konteks Ustaz Hanan, masalahnya sedikit, karena ia moderat. Namun Ustaz Felix, problemnya berbeda. Sebab, selain ustaz dan selebritas, ternyata ia juga ideolog HTI.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…