30.9 C
Jakarta

Ustad HTI yang Jago Kandang (Bagian II-Habis)

Artikel Trending

KhazanahOpiniUstad HTI yang Jago Kandang (Bagian II-Habis)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pada 14 April 2020, saya memposting tulisan yang mempertanyakan gelar “ulama Aswaja” yang disematkan pada seseorang yang tidak dalam kapasitas itu dan bahkan di level Pasuruan saja nama ybs sama sekali tidak dikenal kecuali mungkin oleh tetangga dan sesama aktivis HTI. Andai ditulis “ulama” HTI/Khilafah saja, saya tak akan mempersoalkan.

Setelah postingan tsb, tetiba akun saya digeruduk oleh akun-akun yang berandanya postingannya tentang khilafah dan ada bendera yang identik dengan bendera HTI.

Tim saya menyimpulkan bahwa itu pasti kerjaan cyber army karena terkoordinir dan memposting hal yang isinya kurang lebih sama: marah terhadap postingan saya.

Yang bagian ini saya malas merespons karena ini pasti kerjaan anak-anak alay yang masih mencari identitas. Yang saya surprise adalah ketika akun tokoh, influencer, ustaz, korlap, dan HTI garis keras, ikut hadir meramaikan postingan itu hingga berjam-jam dan berhari-hari.

Sebut saja misalnya K.H. Mahmudi Syukri (monggo digoogling siapa beliau), Ust. Irfan Abu Naveed yang selama ini saya kenal memang hobi nantang debat, Ust. Azizi Fathoni, dan nama-nama lain yang kurang populer.

Level komentarnya beragam. Ada yang sopan, tapi tak sedikit yang kasar bahkan menyebut kata “iblis”. Ada yang punya argumen, tapi kebanyakan masih awam dan bahkan masih mualaf dalam wawasan keislamannya.

Saya berkesimpulan, kalau level tokoh dan influencer saja yang biasanya didatangi akunnya dan bukan mendatangi, kok sampai mau menurunkan wibawa ikut mampir ke postingan saya dan berlama-lama debat dengan saya, itu artinya ada bagian dari postingan saya yang menghujam ke jantung pertahanan mereka.

Oke kita skip dulu soal ini. Lalu, bagaimana akhirnya draft Surat Kesepakatan Debat (SKD) ini dibuat. Berikut saya sampaikan kronologinya:

  1. Ada beberapa akun aktivis HTI yang menyerang postingan saya, mempertanyakan standar dan kompetensi saya. Lalu, meminta saya untuk datang ke lokasi “ulama” HTI yang saya kritik.

Padahal, saya sebelum tulis postingan itu sudah mengecek hal-ihwal ybs. Saya juga sudah jelaskan argumen mengenai siapa yang layak disebut ulama, yang saya juga buat videonya di channel Youtube saya Q&A Islam dan Syarif Hade. Ini linknya https://youtu.be/AJcUPL4sneU.

Lalu ketika saya meminta mereka untuk tunjukkan dasar dari literatur berbahasa Arab soal definisi ulama, akun-akun itu tetiba menghilang dan tak muncul lagi.

  1. Ada puluhan akun yang memention nama saya terkait tantangan dari K.H. Mahmudi Syukri bahwa saya ditantang untuk buat 1000 bait terkait Imrithi.

Saya diremehkan dan dilecehkan karena lama menjawab bahkan oleh Ust. Irfan Abu Naveed dan Ust. Azizi Fathoni, padahal hari itu saya sedang shooting untuk acara Ramadan di TVRI yang memakan waktu 8 jam lebih dan sulit sekali buka HP.

Setelah saya jawab tantangan itu bahwa saya siap menerima tantangan tsb, sembari juga memberi tantangan kepada K.H. Mahmudi Syukri untuk menulis selama seminggu 1 jurnal berbahasa Indonesia dan 1 jurnal berbahasa internasional yang diterbitkan oleh jurnal nasional dan internasional. Topiknya tentang khilafah HTI saja, tak usah topik lain yang tak beliau kuasai. Saya ditantang 1000, tapi saya cuma minta 1 saja.

Karena saya juga tak mau semua yang saya lakukan sia-sia, maka saya berikan klausul: “kalau saya bisa membuat 1000 bait dan penantang tak bisa bikin 1 jurnal, maka ybs harus tobat dan keluar dari HTI dan kembali ke pangkuan NKRI secara terbuka di medsos.”

Setelah saya jawab tantangan tsb, tetiba akun-akun itu terdiam dan menghilang, bahkan sebagian akhirnya memblokir akun saya. Irfan dan Azizi juga tak lagi menyinggung tantangan tsb.

Yang lucu sekarang diframing lagi di akun-akun ghibah HTI bahwa tantangan saya ke Mahmudi tidak nyambung. Padahal tantangan Mahmudi ke saya juga tidak nyambung karena itu bukan ekspertise saya.

Tapi saya sambut tantangan ybs karena saya juga suka menulis syair dan puisi yang sebagiannya berbahasa Arab, meskipun bukan tentang Imrithi.

  1. Dalam konteks tantangan K.H. Mahmudi, ada akun yang menunjukkan dengan bangga karya-karya Mahmudi yang berbahasa Arab. Seolah ingin memberi pesan, apa yang saya sudah lakukan. Adakah karya saya yang berbahasa Arab.

Lalu, saya menerbitkan postingan yang bertajuk: “Ini Sekelumit Aktivitas dan Karya Alfaqir” yang hanya sekadar memberi pesan, saya juga tak sembarangan dalam menulis dan mengkritik sesuatu. Saya memiliki kapasitas untuk itu.

Tetiba akun ini diam seribu bahasa. Padahal, ybs sudah meledek dan menertawakan saya karena lama menjawab tantangan, padahal saya terkendala menjawab tantangan tsb karena sedang shooting.

Setelah saya posting profil singkat saya, tetiba muncul akun-akun ghibah HTI yang menulis “jangan sombong”, “di atas langit ada langit”, “percuma karya banyak, tapi tak menerima syariat khilafah”, “butuh pengakuan”, dll.

Ini kan jadi lucu, ahistoris, dan misleading.

  1. Ust. Irfan Abu Naveed mula-mula mampir ke postingan saya dengan menjaga image sebagai “ulama” dan “influencer”. Namun, ybs akhirnya terpancing dan menunjukkan wajah aslinya yang tak beda jauh dengan akun cyber army HTI.

Irfan kerap mengeles ketika saya minta ybs untuk menunjukkan basis argumennya berdasarkan literatur terstandar terutama ketika ybs menyebut definisi dan kriteria ulama.

Karena lama dan berbelit-belit, maka saya ajak ybs untuk ketemu. Bahkan, saya tawarkan saya yang memfasilitasi acara tersebut. Mulanya Irfan mau, tapi kemudian dia bilang dia yang akan undang, termasuk akan undang Gus Nadirsyah.

Saya terima tantangannya dan menunggu undangannya. Bahkan, saya silaturahim ke kolom komentar postingan FB-nya. Bahwa saya menunggu undangannya. Tapi juga tak ada jawaban apa-apa dari ybs. Padahal, di postingan itu dia bilang dia tak minat debat dengan saya.

Tetiba dia tulis postingan di FB bahwa dia tidak mundur sedikit pun. Cuma karena merasa akan debat kusir, maka dia tak mau. Silakan saja Irfan pencitraan di hadapan followernya dengan ngomong apa saja.

Padahal di draft SKD yang saya kirim ke Azizi yang rencananya juga saya kirim untuk Irfan, jelas-jelas disebutkan pada poin 4, 5, 6, 7 bahwa debat harus mengikuti prinsip dan etika ilmiah, berbasis literatur, dan tak boleh menyerang personal.

Semua sudah tertuang di SKD, termasuk teknik debat dan konsekuensi kalah debat. Sepertinya Irfan tak membaca dengan baik poin per poin. Apalagi ini sifatnya draft dan tinggal disepakati saja poin-poinnya.

BACA JUGA  Rekonsiliasi Pasca-Pemilu: Jalan Menjaga Solidaritas Kebangsaan

Kalau Irfan memang siap, mestinya langsung saja direspons tantangan debat tsb, tanda tangani, dan sepakati waktu dan tempat. Sampai detik ini, Irfan belum menjawab tantangan saya, padahal sore kemarin saya sudah sampaikan ke Irfan bahwa kalau siap, silakan tentukan waktu dan tempatnya.

Mengapa ada klausul konsekuensi kalah debat di poin 9 dan 10? Karena saya sudah mengorbankan banyak kesibukan saya terkait tantangan debat ini, maka saya tidak mau sia-sia semua yang saya lakukan. Harus ada hasil yang jelas dan terukur.

Mengapa kalau pihak HTI yang kalah, ada klausul “harus tobat dan keluar dari HTI”? Ini kan untuk memastikan bahwa klaim selama ini soal khilafah itu syariat Islam, padahal klaim itu dusta dan tak ada basis argumennya dalam literatur primer Islam non HTI.

Mengapa kalau saya yang kalah, saya tak masuk HTI? Bagaimana saya mau masuk HTI, wong semua kibarul ulama di seluruh dunia Islam menolak konsep khilafah ala HT/HTI dan semua negara Islam melarang HT/HTI. Sebagai pengkaji dan akademisi kajian Islam, ya tak mungkin saya mengabaikan fakta itu.

Lalu muncul akun-akun yang menambahkan tantangan mubahalah. Ini kan tambah lucu lagi. Tak ada sejarahnya, konsekuensi diskusi ilmiah itu mubahalah. Fyi, mubahalah di zaman Nabi itu konteksnya tantangan untuk muslim kepada kafir/musyrik atau sebaliknya.

Dalam konteks Indonesia, mubahalah itu sejenis sumpah pocong yang biasanya untuk menghukum dukun santet dan orang-orang yang gagal berperilaku ilmiah dan terukur.

Irfan juga diam seribu bahasa ketika saya ajak ke Pasuruan untuk membuktikan bahwa orang HTI yang digelari “ulama Aswaja” itu betul ulama atau bukan. Padahal, saya bersedia mengongkosinya.

  1. Ust. Azizi Fathoni adalah orang yang paling agresif menyerang saya. Dia yang memulai serangan personal ke sy dengan menyebut saya “kurang piknik”, “masih waras” dan sebutan lain yang cenderung merendahkan. Karena dia seperti itu, maka saya pun menggunakan strategi bertahan.

Saya layani semua serangan agresifnya mulai dari FB, Inbox, dan WA. Saya sudah jelaskan secara detail beberapa materi diskusi saya di postingan saya sebelumnya.

Lalu mengapa akhirnya muncul draft SKD? Karena saya merasa diskusi dan debat di medsos dengan Azizi sulit tuntas. Apalagi ybs pandai berkelit dan ngeles. Saya ingin ketemu langsung dan ingin saya tuntaskan. Sayangnya ybs kemudian mengurungkan, padahal sesaat sebelumnya menyatakan kesiapannnya dan menantang saya kapan datang ke Malang. Yang meminta lokasi debat di Malang juga ybs dan saya sudah penuhi.

  1. Maka belajar dari peristiwa ini, saya memutuskan mulai detik ini saya tidak akan lagi mau menerima dan melayani tantangan debat siapa pun orang HTI karena saya sudah tidak menganggap mereka tsiqah dalam janji dan amanah dalam berujar. Komitmen moral mereka sudah jatuh di mata saya. Kalau tokoh-tokohnya saja seperti ini, bagaimana anak buahnya.
  2. Maka belajar dari peristiwa beberapa hari ini, berikut kesimpulan saya:
  3. Mereka hanya silau dengan romantisme sejarah masa lalu yang sebetulnya tak ada hubungan sama sekali dengan HT/HTI. Garis genealogis saja juga tidak ada.
  4. Mereka mengidap penyakit psikis megalomania karena merasa sudah berbuat sesuatu yang besar padahal semua baru di level wacana. Tak ada sesuatu riil yang sudah mereka buat. Sangat berbeda sekali dengan ormas-ormas Islam yang asli Indonesia. Sbg contoh, NU jelas kontribusinya dengan pesantren dan pembinaan keumatan, Muhammadiyah jelas kontribusinya dengan pendidikan dan amal sosialnya. Lalu HTI kontribusi riil apa yang sudah dilakukan?
  5. Literasi tentang kajian Islam berdasarkan literatur terstandar berbahasa Arab non-HTI masih jauh dari memadai. Selama ini yang mereka cari hanya pembenaran, bukan kebenaran. Wawasan keislaman umumnya mereka masih awam, bahkan sebagiannya masih mualaf.
  6. Akhlak mulia dan adab mereka bermasalah. Mereka tutup mata dengan akhlak dan adab buruk orang di kelompoknya, tapi gampang memframing negatif orang di luar kelompoknya. Sangat disayangkan, jualan khilafah, tapi akhlak dan adab bermasalah. Padahal sejarah khilafah di masa lalu itu sejarah penuh akhlak dan adab.

Mereka juga punya masalah serius dengan kejujuran, tepat janji, amanah ilmiah, rasa malu, dan soal komitmen. Bagaimana khilafah bisa tegak bila aktor-aktornya gemar berdusta, ingkar janji, tidak amanah secara keilmuan, dan tidak komitmen dengan yang diomongkan? Inilah yang dimaksud oleh para ulama bahwa khilafah ala HT/HTI itu ilusi belaka. Mimpi kosong yang pasti tak akan terwujud.

  1. Sepertinya tantang-menantang sudah jadi bagian dari tradisi yang dikembangkan. Sebagian tantangan itu testing water saja. Layani saja bila Anda mampu menjawabnya. Nanti juga mereka akan diam sendiri kalau kita penuhi tantangan mereka.

Belajar dari peristiwa saya, kalau ada yang memang dianggap selevel, silakan dilayani tantangannya termasuk tantangan debatnya.

Tapi jangan lupakan sampaikan juga konsekuensi soal bila tantangan itu kita menangkan. Termasuk klausul, “kalau tantangan itu berhasil saya lakukan atau kalau si penantang kalah debat, maka si penantang mengumumkan secara terbuka bahwa ia harus tobat dan keluar dari HTI.”

Tapi kalau tidak selevel, tak usah digubris. Kalau kelewatan, laporkan saja ke pihak berwajib. Kita tak mau ada lagi di medsos orang-orang petantang-petenteng seperti Ali Baharsyah yang faktanya juga bermasalah secara moral Islam.

  1. Tak perlu digubris akun-akun ghibah HTI. Mereka ini bermantal lemah dan kalah. Tak bisa berdansa, tapi menyalahkan lantainya. Tak bisa berenang, tapi menyalahkan kolam renangnya. Namanya juga akun ghibah, yang memang cenderung hanya untuk memuaskan diri sendiri.
  2. Kalau ada keluarga, kawan, tetangga, atau siapa pun di sekeliling kita yang sudah kerap posting khilafah dan bendera yang identik dengan HTI, rangkul dia. Ajak dan sadarkan dia. Itu tugas kita semua. Kasihan mereka selama ini sudah dibuai oleh kepalsuan dan kebohongan.

Sampaikan bahwa tak ada satu pun ulama non HTI di dunia Islam yang menyebut bahwa khilafah ala HTI itu syariat Islam. Tokoh HTI selama ini berbohong soal ini karena tak ada satu pun ayat dan hadis yang memerintahkan mendirikan khilafah ala HT/HTI.

Moch Syarif Hidayatullah

 

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru