33 C
Jakarta

Urgensi Pelibatan Perempuan dalam Gerakan Anti Terorisme

Artikel Trending

KhazanahPerempuanUrgensi Pelibatan Perempuan dalam Gerakan Anti Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Terorisme tampaknya masih akan menjadi ancaman bagi keamanan dan ketahanan negara, baik hari ini, esok maupun di masa depan. Asumsi itu diperkuat oleh masih eksisnya organisasi-organisasi keagamaan bercorak radikal-ekstrem yang menjadikan laki-laki dan perempuan sebagai endorser bagi gerakan terorisme.

Di Indonesia misalnya, selama organ-organ keislaman radikal seperti Jamaah Islamiyah, Jamaah Ansharut Tauhid, Jamaah Ansharud Daulah, dan sejenisnya masih eksis, bisa dipastikan terorisme akan tetap tumbuh. Dalam konteks inilah, gerakan anti-terorisme masih tetap urgen dan relevan dikembangkan.

Ironisnya, patut disayangkan bahwa gerakan anti-terorisme selama ini lebih lekat dengan citra manly alias cenderung berkonotasi pada laki-laki. Selama ini, gerakan anti-terorisme seolah-olah didominasi oleh laki-laki. Baik dari segi penindakan, sampai pencegahan, peran perempuan dirasa sangat sedikit. Padahal, perempuan sebagai bagian dari masyarakat kiranya juga memiliki potensi untuk dilibatkan dalam membangun narasi kontra atau anti-terorisme.

Berkaca dari sejarah, gerakan sosial-politik-keagamaan berbasis perempuan dalam banyak hal mampu menjadi aktor perubahan. Misalnya saja, gerakan perempuan merupakan salah satu elemen penting dalam upaya demokratisasi di sejumlah negara, mulai dari Filipina, Chile, sampai Brazil (Ian Dunham: 2013). Di era abad 21 ini, gerakan perempuan juga berperan dalam memperjuangkan isu-isu lingkungan hidup, hak asasi manusia, hingga pluralisme agama.

Perempuan dan Terorisme  

Lebih spesifik dalam konteks Islam Indonesia, peran perempuan dalam mendorong terwujudnya moderasi agama sebenarnya sangat besar. Di lingkup Nahdlatul Ulama misalnya banyak ulama perempuan yang aktif menyebarkan pesan toleransi dan pluralisme agama. Tidak sedikit juga perempuan dari lingkup Muhammadiyah yang bergiat di universitas atau lembaga pendidikan bergengsi. Kenyataan ini membuktikan bahwa perempuan memiliki potensi yang besar untuk dilibatkan dalam gerakan anti-terorisme.

Namun demikian, patut diwaspadai bahwa perempuan juga kerap menjadi sasaran obyek indoktrinasi dan kaderisasi gerakan terorisme. Fakta menunjukkan bahwa belakangan ini kian banyak perempuan yang terlibat gerakan terorisme. Mengutip Musdah Mulia, peran perempuan dalam jaringan terorisme dapat diklasifikasikan ke dalam setidaknya enam peran.

BACA JUGA  Pesantren, Perempuan, dan Visi Progresif Peradaban

Pertama, pendidik (educator), yaitu ketika perempuan mengajarkan doktrin radikalisme ke keluarga, teman, tetangga, dan masyarakat di sekitarnya. Kedua, agen perubahan (agent of change), yakni ketika perempuan mengubah ekosistem masyarakat yang moderat menjadi radikal.

Ketiga, pendakwah (campaingner), yaitu ketika perempuan menjadi juru dakwah yang menyebar paham radikalisme keagamaan. Keempat, pengumpul dana (fundriser), yakni ketika perempuan menjadi pencari sumber dana untuk mendanai aksi terorisme.

Kelima, perekrut (recruiter), yaitu ketika perempuan menjadi agen yang merekrut calon-calon teroris. Keenam, pelaku bom bunuh diri (suicide bomber) yaitu ketika perempuan menjadi pelaku aksi teror.

Peran Perempuan Mencegah Terorisme

Oleh karena itu, perempuan idealnya berperan aktif dalam gerakan anti-terorisme. Di lingkup domestik (rumah tangga), perempuan memegang peranan penting dalam kepengasuhan anak. Di dalam Islam, seorang ibu memiliki gelar mulia sebagai madrasatul ula alias sekolah pertama bagi anak-anaknya.

Seorang ibu memiliki peran signifikan untuk melahirkan, mengasuh, dan mendidik anak menjadi individu yang religius, berakhlak, sekaligus nasionalis. Ibu yang memiliki wawasan keagamaan dan kebangsaan sama kuatnya, pasti akan melahirkan generasi yang berkualitas di masa depan. Demikian pula sebaliknya.

Kedua, dalam lingkup kehidupan sosial, perempuan kiranya bisa berperan dalam membangun kesiapsiagaan dan kewaspadaan bersama dalam menangkal setia narasi radikalisme dan terorisme yang berkembang. Unit-unit kegiatan perempuan seperti jemaah pengajian, arisan lingkungan, dasawisma, kegiatan PKK dan sejenisnya idealnya bisa dioptimalkan perannya dalam membangun kesiapsiagaan mencegah terorisme.

Ketiga, dalam konteks yang lebih luas, perempuan kiranya perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan terkait penanganan terorisme. Mereka harus dilibatkan secara aktif dalam merumuskan aturan dan kebijakan pencegahan terorisme.

Kita membutuhkan perspektif kaum perempuan dalam mencegah terorisme berkembang di masyarakat. Dengan modal psikologis dan sosiologis yang dimilikinya, kita patut optimis kaum perempuan bisa berperan banyak dalam penyelesaian problem terorisme.

Sivana Khamdi Syukria
Sivana Khamdi Syukria
Pemerhati isu sosial dan keagamaan, alumnus Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru