32.7 C
Jakarta

Urgensi Dakwah Kebangsaan Mengkonter Radikalisme

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanUrgensi Dakwah Kebangsaan Mengkonter Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dakwah merupakan sesuatu yang fundamental dalam Islam. Bagaimana tidak, Islam berdiri dan berkembang, murni karena dakwah tersebut. Nabi berdakwah kepada umat, dan umat Nabi berdakwah kepada semua orang di seantero dunia. Melalui ekspansi, misalnya, dakwah Islam telah sampai ke Granada Spanyol, dan memantik kemajuan peradaban di daerah tersebut.

Pada saat bersamaan, dakwah merupakan langkah strategis yang tidak bisa sendiri, dalam arti semakin efektif bila dibalut otoritas tertentu. Otoritas ini kemudian disebut konsensus berbangsa. Di dalam konsensus tersebut, dakwah dan segala kegiatan muamalah berjalan secara teratur dan tanpa ekses apapun. Interaksi sosial menemukan momentum, menjadi stimulus bagi dakwah itu sendiri.

Sayangnya, beberapa kalangan justru ada yang berpotensi merusak tatanan kebangsaan tadi. Untuk itulah, konsensus kebangsaan mesti kita jaga sekuat tenaga. Dalam konteks negara kita, konsensus kebangsaan kita berusaha digerogoti oleh pemecah belah, yakni paham radikal. Jelas ini berbahaya. Di samping potensi memecah belah, agama merupakan dalil manipulatifnya. Di situlah dakwah kebangsaan menemukan urgensinya.

Tantangan Pecah Belah Pasca Kemerdekaan

Sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945, sebagai sebuah bangsa, Indonesia tidak pernah sepi dari tantangan. Baik dari luar, seperti kedatangan The Netherlands Indies Civil Administration (NICA) Belanda yang membonceng tentara Inggris pada 15 September 1945 untuk menggagalkan kemerdekaan, maupun tantangan dari dalam, yaitu para pengkhianat yang justru bersekongkol dengan penjajah untuk memecah belah persatuan anak bangsa.

Untuk tantangan terakhir ini, Hadhratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulama, sampai merasa perlu untuk terang-terangan dalam Fatwa 24 September 1945:

Hoekoemja orang jang memetjah persatoean kita sekarang ini wajib diboeneh (Hukumnya orang yang memecah belah persatuan kita sekarang wajib dibunuh). Sebagaimana dilansir dari Kedaulatan Rakyat, Alim Oelama Menentukan Hoekoem Perjoeangan, 20 November 1945).

Bahkan dalam kesempatan lain, Kiai Hasyim Asy’ari menegaskan:

“Maka barang siapa memecah persatuan umat yang sudah bulat, pancunglah leher mereka dengan pedang siapapun orangnya.” Sebagaimana dikutip dari Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren (Jakarta: Gunung Agung: 1987), hlm. 343.

Tantangan Propaganda Dalih-Dalih Agama

Di waktu berikutnya, justru tantangan memecah belah bangsa dibalut dengan dalih-dalih agama. Lagi-lagi NU yang gigih menghadapi di garda terdepan. Sebagaimana ditegaskan oleh KH Idham Chalid, Ketua I PBNU yang saat itu juga menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri merangkap Kepala Badan Keamanan.

Kiai Idham mengatakan:

“Tugas saya yang paling berat adalah menghadapi gerombolan yang membawa dalil-dalil agama Islam. Yaitu Darul Islam Kartosuwiryo di Jawa Barat, Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan, Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, dan Tengku Daud Beureueh di Aceh.” Sebagaimana dilansir dari https://historia.id/politik/articles/kpk-melawan-di-tii-6mm4B.

Maka wajar bila dalam konteks sekarang, kita temui perusuh negeri dengan dalih-dalih Islami terus bermunculan. Macam Jama’ah Anshar asy-Syariah (JAS), Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Jama’ah Anshar ad-Daulah (JAD), Jamaah Anshar al-Khilafah (JAK) dan jaringan teroris lainnya. Demikian pula dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang telah dibubarkan pada tahun 2017 lalu.

BACA JUGA  Tafsir Lingkungan di Tengah Kebijakan Penguasa

Namun perlu diingat, bahwa meski telah dibubarkan, jaringan radikal macam HTI tidak akan pernah benar-benar bubar dan mati. Mereka tetap beroperasi secara senyap dan diam-diam maupun terang-terangan, meski tidak begitu vulgar seperti sebelumnya.

Bukankah tokoh dan simpatisannya masih kita jumpai bebas melancarkan propagandanya di berbagai platform media sosial? Demikian pula dalam dunia offline?

Urgensi Dakwah Islam Berwawasan Kebangsaan

Nah, dalam kondisi seperti ini dakwah Islam berwawasan kebangsaan masih tetap dan selalu menemukan urgensi dan revansinya.

Tampaknya, PP Yanbu’ul Ulum Losari Brebes asuhan KH Abdul Halim Zawawi bersama Pusat Pendidikan Santri Bela Negara, berupaya secara serius mengokohkan dan mengembangkan dakwah Islam berwawasan kebangsaan  itu dengan menyelenggarakan Training of Trainer (ToT) Dai Digital pada Jumat s/d Ahad, 21 s/d 23 Februari 2020.

Selain KH Abdul Halim Zawawi, hadir pula Gus Najih Ramadhan, Sekjen Ikatan Alumni Syam Indonesia (Al Syami). Juga Habib Husein Ja’far, sosok dai habib gaul yang terkenal sebagai Youtuber dan kreator konten. Juga saya sendiri, Ahmad Muntaha AM, yang memang secara pribadi punya ketertarikan terhadap pengembangan Fikih Kebangsaan dan Islam yang ramah Nusantara.

ToT Dai Digital merupakan langkah strategis bagi pengembangan dakwah Islam yang tidak menghadap-hadapkan dan membentur-benturkan agama dengan Negara. Namun justru menyelaraskan keduanya.

Dakwah Islam yang membawa kerahmatan bagi bangsa, bukan dakwah yang membawa kehancuran. Dakwah Islam yang menyejukkan dan menentramkan, bukan dakwah yang membawa kegaduhan dan kerusuhan.

PP Yanbu’ul Ulum Losari Brebes sebagai titik awal yang dapat diduplikasi dan dikembangkan di Pesantren, Kampus, maupun lembaga dan komunitas lainnya. Wallahu A’lam.

(Tulisan ini dalam rangka menyambut Training of Trainer (ToT) Dai Digital di Pondok Pesantren Yanbu’ul Ulum Losari, Brebes, pada 21 s/d 23 Februari 2020).

 

Ahmad Muntaha AM, Sekretaris LBM NU Jawa Timur dan Narasumber TV9.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru