27 C
Jakarta

Upaya Menciptakan Perdamaian Melalui Makanan

Artikel Trending

KhazanahTelaahUpaya Menciptakan Perdamaian Melalui Makanan
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com Sadarkah kita bahwa, makanan adalah bagian penting dari kehidupan manusia. Makanan tidak hanya menjadi salah satu kebutuhan manusia, akan tetapi menjadi sarana komunikasi sosial yang dilakukan oleh masyarakat. Hal ini karena, tanpa kita sadari bahwa dalam setiap perayaan apa pun, mulai dari kenduri, festival, hingga perjamuan yang cukup besar, makanan adalah satu hal yang wajib ada.

Makanan khas Nusantara, yang terbentang dari Sabang-Merauke, memiliki ciri yang cukup unik di berbagai daerah. Setiap daerah pasti memiliki makanan khas dengan cita rasa yang berbeda, antara yang satu dengan yang lain. Bahkan, presiden pertama Indonesia, Soekarno, mengumpulkan resep masakan dalam sebuah buku yang berjudul “MUSTIKARASA”. Buku yang tebalnya lebih dari 300 halaman tersebut, memuat berbagai resep masakan di seluruh Indonesia.

Seandainya kita ingin meniru resep masakan yang terdapat dalam buku tersebut, setidaknya setiap hari dalam setahun, menu masakan yang kita buat akan berbeda. Hal ini karena begitu kayanya masakan Nusantara yang terdapat di berbagai wilayah. Dari ribuan masakan Indonesia, pernahkah kita berpikir bahwa makanan bisa menjadi sarana perdamaian?

Kalau kita flashback pada peristiwa Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada tahun 1955 silam, ada banyak peristiwa sejarah yang cukup membekas di dalamnya. Peristiwa ini menjadi salah satu konferensi terbesar yang diadakan pada awal kemerdekaan Indonesia. Bayangkan saja bahwa, ada banyak negara Asia dan Afrika yang berkunjung ke Indonesia, di mana pada saat itu menjadi negara yang baru saja merdeka.

Dalam peristiwa ini, setidaknya hadir 29 perwakilan negara yang datang ke Bandung. Apa yang mereka lakukan? Tidak lain adalah mempererat solidaritas serta meminimalisir dampak Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Pada waktu itu juga ada kondisi yang belum stabil di mana pasca terjadi Perang Dunia II.

Masih sangat membekas ketegangan antara dua blok yang berbeda secara ideologi, konferensi yang berlangsung dari 18-24 April 1955 ini menghasilkan Dasasila Bandung yang berisi 10 poin kesepahaman mengenai prinsip-prinsip dasar dalam usaha memajukan perdamaian dan kerja sama dunia. Secara singkat, adanya KAA menjadi salah satu ruang/wadah bagi negara-negara untuk membicarakan kondisi Perang Dingin yang terjadi.

BACA JUGA  Hari Santri: Memperkuat Nasionalisme di Kalangan Kaum Pesantren

Negara-negara yang hadir pada saat itu juga masih memiliki kekhawatiran bahwa, perang akan terjadi lagi. Di samping itu, seperti yang kita ketahui bahwa, tahun 1955 tidaklah seperti tahun 2024, di mana seluruh informasi bisa diakses dengan sangat mudah, sehingga koordinasi dan komunikasi berbagai negara bisa dilakukan secara cepat.

Ada Apa dengan Makanan?

Menariknya adalah, dalam konferensi tersebut, dilansir dari memoar The Bandung Connection, Roeslan Abdulgani, Ketua Sekretariat Bersama KAA, memberikan argumennya bahwa masakan Nusantara adalah makanan yang tersajikan. Masakan seperti soto, gilia, gado-gado, bahkan sate adalah jenis makanan yang terdapat pada konferensi itu.

Tentu, penyajian makanan tersebut atas permintaan Soekarno. Selain itu, beragam makanan lain seperti klepon, lemper, pukis, bika ambon, dan jenis makanan serupa menjadi makanan ringan yang ada dalam peristiwa itu.

Berdasarkan peristiwa itu, setidaknya kita memahami bahwa makanan tidak hanya sebagai pemenuhan kebutuhan manusia. Tetapi juga ternyata bisa menjadi sarana diplomasi perdamaian antar negara, yang dilakukan oleh Soekarno. Tentu, bukan hal yang mudah karena lidah setiap orang dari berbagai negara aka berbeda. Akan tetapi, cara memperkenalkan Indonesia melalui masakan, adalah sesuatu yang sangat bisa dilakukan karena setiap orang akan mencoba dan merasakan masakan yang disajikan.

Tidak terbatas pada peristiwa tersebut, masyarakat kita juga menjadikan makanan sebagai salah satu alternatif dalam mempererat hubungan, baik sesama Muslim maupun dengan non-Muslim. Hal ini bisa dilihat dari tradisi hantar makanan kepada tetangga pada momen tertentu, seperti puasa, Hari Raya Idulfitri, dll, baik kepada tetangga Muslim ataupun dengan non-Muslim.

Praktik lainnya juga ketika adanya Nyadran Perdamaian, yang dirayakan oleh umat Muslim dan Buddhis, makanan adalah sarana komunikasi untuk mempererat hubungan antara kelompok yang berbeda agama. Artinya, makanan dalam konteks sosial tidak hanya bermakna sebagai sarana pemenuhan kebutuhan hidup, akan tetapi juga sarana untuk menciptakan perdamaian antar sesama. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru