28.9 C
Jakarta
spot_img

Upaya Deradikalisasi Perempuan dalam Keamanan Nataru

Artikel Trending

KhazanahOpiniUpaya Deradikalisasi Perempuan dalam Keamanan Nataru
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Pernahkan Anda mendengar bahwa di masa perayaan Nataru (Natal dan Tahun Baru) tidak pernah terjadi teror, setidaknya perencanaan terorisme? Jawabannya jelas tidak. Selama tahun 2000 hingga 2024, atau jelasnya selama teroris tumbuh berkembang di Indonesia lewat ideologi transnasionalisme, Nataru menjadi “arena” teroris untuk melancarkan aksinya.

Perayaan Nataru oleh teroris disebut-sebut sebagai momentum peperangan melawan musuh Islam, yakni umat Kristen. Nataru adalah perayaan yang memiliki makna keagamaan yang sangat penting bagi umat Kristiani. Menurut teroris apa pun yang berbau Barat dan Kristen harus segera dimusnahkan. Karena mereka menganggap itu bertentangan dengan ideologi mereka.

Nataru juga dianggap menjadi momen paling baik dalam melancarkan teror. Teroris memilih ini karena motif psikologis yakni banyaknya aktivitas publik seperti ibadah, perayaan, dan keramaian di tempat umum. Serangan pada momen seperti Nataru memiliki peluang besar untuk mendapatkan perhatian luas dari media dan masyarakat, sehingga menciptakan dampak psikologis yang lebih besar. Jika sudah menimbulkan ketakutan besar, maka timbul ketidakpercayaan masyarakat terhadap negara. Meningkatnya ketakutan akan mengganggu keharmonisan sosial di mana pada momen Nataru orang pada berkerumun.

Dalam beberapa kasus, teroris memilih Nataru sebagai basis propogandis. Ini terlihat jelas manakala teroris sering menyerang pada Nataru untuk menunjukkan bahwa mereka masih eksis dan mampu melakukan aksi yang signifikan. Momen-momen besar seperti Nataru menjadi panggung untuk balas dendam atas tindakan pemerintah yang telah menangkap anggota kelompok mereka dan membubarkannya.

Potensi Meniru Bom Perempuan Nigeria

Sejarah Nataru di Indonesia adalah sejarah bom bunuh diri. Saat perayaan Natal pada tahun 2000 terjadi penyerangan di sejumlah gereja di 11 kota, termasuk Jakarta, Medan, Pekanbaru, dan Surabaya. Serangan tersebut dilakukan oleh kelompok teroris Jama’ah Islamiyah (JI), yang memiliki keterkaitan dengan jaringan Al-Qaeda.

Pada 2008, kembali ada serangan teroris di tiga gereja di Surabaya, yakni Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Gereja Kristen Indonesia Diponegoro, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya. Serangan bom bunuh diri satu keluarga itu terafiliasi dengan kelompok ISIS. Mereka melakukan itu sebagai balas dendam setelah pimpinan kelompok teroris ISIS ditangkap dan untuk menyebarkan pesan terorisme.

Sekarang bom bunuh diri memang tidak lazim. Tapi menurut berbagai temuan analis, potensi bom bunuh diri masih lekat, utamanya dilakukan oleh perempuan di Indonesia. Seperti kasus bom bunuh diri satu keluarga di Surabaya, mereka meniru kasus bom bunuh diri di Negeria. Para pembom bunuh diri perempuan di Nigeria membawa seorang bayi untuk menghindari deteksi dan kecurigaan saat melancarkan serangan. Dengan menggendong dua orang bayi, mereka berhasil melewati pos pemeriksaan keamanan.

Selain itu, kelompok teroris Nigeria sering menggunakan gadis-gadis muda sebagai pelaku bom bunuh diri. Gadis muda itu diculik dan dipaksa menjalankan misi kematian. Para gadis dirias bagai pengantin, menjadi sosok tercantik dalam hidupnya. Di balik riasan itu, tubuhnya dililit bahan peledak. Perintah ketua teroris, gadis tersebut harus melewati kerumunan. Setelah sampai pada titik kerumunan, dia disuruh untuk meledakkan diri. Dia membunuh rakyat jelata, orang miskin seperti dirinya.

BACA JUGA  Diseminasi Cinta Tanah Air Berbasis Budaya Lokal; Strategi Kontra-Radikal di Indonesia

Ditinjau dari Perspektif Konseling

Dari perspektif konseling, radikalisasi perempuan dan anak muda bukanlah fenomena yang terjadi secara tiba-tiba, melainkan hasil dari interaksi berbagai faktor psikologis, sosial, dan lingkungan yang membentuk pemikiran dan perilaku mereka. Dalam konteks terorisasi, pola asuh yang tidak sehat atau ketegangan dalam keluarga dapat menjadi faktor pemicu. Misalnya kekerasan dalam rumah tangga, pola asuh otoriter sehingga menjadikan kehilangan figur orang tua yang baik.

Ketika anak kehilangan figur orang tua atau mengalami disfungsi keluarga (misalnya perceraian atau kematian orang tua), mereka mungkin merasa kehilangan arah dan mencari makna hidup melalui ideologi ekstrem. Hal itu dilakukan karena merasakan ketidakadilan dan rasa terasing. Kurangnya dukungan sosial dan keluarga menimbulkan efek emosional yang tidak stabil sehingga mencari jalan lain dengan bergabung dengan kelompok teroris yang dianggap memberikan solusi yang tampaknya adil dan memberikan rasa persatuan dan identitas yang kuat.

Secara psikologis, masa remaja perempuan adalah periode yang penuh dengan perubahan emosional dan kognitif. Ketidakstabilan emosional dan pemikiran hitam-putih menjadi masalah sehari-hari perempuan. Sementara kelompok teroris menyederhanakan dunia menjadi perlawanan antara “baik” dan “jahat”, antara Islam dan non-Islam. Hal inilah yang mempengaruhi ideologi emosional kognitif perempuan remaja.

Selain itu remaja perempuan lebih cenderung memilih dunia digital sebagai alternatif mendapatkan informasi keagamaan dan kebenaran. Padahal pengaruh media sangat dahsyat. Selama ini proses radikalisasi dan terorisasi yang terjadi secara online bisa sangat cepat, terutama di kalangan anak-anak yang merasa kesepian atau terasing. Mereka bisa merasa tertarik untuk bergabung dengan kelompok yang tampaknya menyediakan solidaritas, identitas, dan tujuan hidup.

Oleh sebab itu, untuk menyambut perayaan Nataru, perempuan memerlukan pendekatan yang komprehensif untuk mengurangi risiko keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme. Pemerintah perlu memberikan edukasi dan perberdayaan terkait keagamaan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan peningkatan peran rumah tangga.

Jika selama ini deradikalisasi banyak ditujukan ke pihak gender laki-laki, dengan kasus di atas, maka saatnya deradikalisasi atau deterorisasi juga butuh dilakukan ke pihak gender perempuan. Perempuan yang terpapar ideologi radikal-teror diberikan pendekatan deradikalisasi atau deterorisasi yang berbeda dari laki-laki, misalnya dengan melibatkan psikolog, konselor keluarga, dan pendamping agama. Mantan pelaku yang telah bertobat, termasuk perempuan, dapat menjadi agen perubahan untuk memberikan kesaksian dan memotivasi perempuan lain agar menjauhi ideologi radikal.

Remaja perempuan juga perlu dipulihkan penyakit traumanya. Terapi trauma seperti CBT (cognitive behavior therapy), yang dicetuskan Aaron Back, dapat membantu mengatasi pikiran tidak rasional seperti rasa bersalah, ketakutan, atau stigma sosial sampai mereka pulih bahkan membangun kembali keyakinan diri.

Pendekatan konseling yang berbasis empati, pemulihan, dan pemberdayaan dapat menjadi alat yang efektif untuk mencegah perempuan masuk ke jaringan teroris. Dengan memahami kebutuhan emosional dan psikologis perempuan, untuk tidak terlibat kembali pada jurang kelam dunia terorisme. Jika bisa demikian, kehidupan perempuan lebih damai dan bermakna.

Rita Prawati
Rita Prawati
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Bisa disapa di Instagram: @ritaprawati.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru