32.7 C
Jakarta

Untuk Menulis Sastra yang Baik Harus Patah Hati, Benarkah?

Artikel Trending

KhazanahLiterasiUntuk Menulis Sastra yang Baik Harus Patah Hati, Benarkah?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Setelah semester ganjil berakhir, saya memutuskan pulang kampung ke Madura. Sebetulnya, liburan kali ini saya hanya ingin bersantai dan menikmati beragam kenangan yang saya tinggalkan sejak memutuskan merantau ke Yogyakarta. Tapi memang tak sesederhana yang saya bayangkan.

Beberapa kawan yang masih aktif di pondok pesantren mendesak saya untuk berbagi pengalaman dan berdiskusi kecil kepada adik-adik santri yang memiliki hasrat di bidang literasi. Beberapakali dapat menolak dengan alasan-alasan tertentu. Tetapi setelah di desak terus-menerus akhirnya saya mengalah dan menyanggupinya.

Sangat menyenangkan memang mengunjungi tempat pertama saya mengenal dunia literasi. Perpustakaan ukuran 3×4 dengan rak rapi bertingkat yang penuh buku mengingatkan saya banyak hal, terutama saat bergadang dari jam 10 malam hingga 3 pagi hanya demi menyelesaikan satu buku terjemahan milik Ernest Hemingway.

Ah iya, pertemuan saya dengan mereka sangat sederhana. Di tengah-tengah ruang, kami duduk melingkar dan membincangkan banyak hal. Terutama, kenapa saya memutuskan merantau jauh ke Yogyakarta hanya demi berkuliah dan lebih memperdalam dunia literasi.

Kadang-kadang, satu jawaban tak dapat memuaskan pertanyaan yang kadung menumpuk. Saya mengerti hasrat yang membara di mata mereka. Sebuah perasaan yang jika boleh disebut menyala denga tergesa dan seperti dapat melahap apa saja di hadapannya dan dalam hal ini, mereka ingin melahap seluruh perasaan dan pengalaman saya.

Meski begitu, saya tetap tertawa geli melihat mereka. Tapi yah, saya hampir selalu menjawab dengan serius. Hingga sampai ke satu pertanyaan yang membuat saya tertegun. Apakah pengarang sastra harus merasakan patah hati lebih dulu sehingga tulisannya dalam dan kuat?

Kegelisahan Kita

Sebetulnya saya tidak dapat menampik bahwa apa yang ditanyakan adik-adik santri tersebut benar. Tetapi bagi saya, itu kurang baik untuk disampaikan. Maka saya memilih menjawab pertanyaan tersebut dengan ini, “lebih tepatnya, menulis lahir dari segala kegelisahan yang hadir dan menekan diri kita. Kita dapat menempatkan usaha menulis sebagai terapi diri.”

Tidak salah memang, apa yang saya sampaikan bahwa pada akhirnya menulis adalah upaya menuangkan kegelisahan. Saya ambil sample Eka Kurniawan dengan novel “Cantik itu Luka”, Joko Pinurbo dengan kumpulan puisi “Celana” serta saya ambil sample yang dekat dengan mereka, Royyan Julian dengan buku puisi “Biografi Tubuh Nabi”.

Saya cukup banyak membahas dan menyoroti pertanyaan tersebut. Maka saya kutip penggalan puisi milik Royyan Julian “…// Pasir yang ia jaga tiba-tiba menjelma kerongkongan// bumi, berpusar, menghisap para penambang//…” Dalam puisi “Pasir Hisap” di Buku Biografi Tubuh Nabi (Basabasi, 2017) yang menjelaskan tentang kegelisahan Royyan dalam menghadapi persoalan kelam para penambang.

Pernyataan tersebut saya akhiri dengan pernyataan sederhana, “betapa kegelisahan yang kita alami mampu kita catat sebagai upaya mengenang atau lebih jauh, sebagai pengingat untuk pembacanya.”

BACA JUGA  Menulis, Menyembuhkan Dunia Melalui Kata-Kata

Meski begitu, mereka belum cukup puas. Mereka berucap apakah tidak ada kemungkinan Royyan pernah patah hati dalam beberapa hal terutama mengenai perasaan ke lawan jenis? Saya diam. Lalu saya melanjutkan, mungkin. Setelah itu saya menceritakan apa sebetulnya yang ingin mereka dengar.

Saya menjawab pertanyaan mereka dengan mencomot puisi saya yang pernah terpublikasi di satu media berjudul “kini” yang saya kutip utuh, “Dan kini// Ela telah mati// jadi bangkai cinta// yang tak mengenal// reinkarnasi.” Puisi tersebut, ungkap saya, dituliskan tepat setelah saya mengalami masa patah hati yang dahsyat. Setelah pontang-panting saya berupaya mempertahankan hubungan meski akhirnya berakhir.

Upaya Sederhana

Saya agaknya sepakat, karangan, terutama dalam bidang fiksi akan lahir dengan pengaruh kuat ketika seorang pengarang betul-betul tersentuh dan berupaya menuangkan perasaan paling dalam sehingga menjadi nafas sebuah karangan. Saya turut sepakat, telaah dari Sigmund Freud tentang, pengalaman masa lalu akan mempengaruhi masa yang akan datang dalam psikoanalisis.

Teori tersebut saya kira, bukan hanya menyasar pada tulisan akan tetapi alam bawah sadar pengarang. Tetapi saya coba memperluas batas tersebut. Saya juga sepakat, sakarangan seperti milik Royyan dikutip tadi adalah buah dari hal tersebut. Mengapa puisi tersebut menyentuh? Jawabannya sederhana. Karena seorang Royyan betul-betul mendalami dan tersentuh pada tragedi-tragedi yang menipa para buruh tambang.

Akhirnya, dengan penjelasan panjang-lebar tersebut mereka mengangguk takdzim. Tetapi saya juga berucap, bahwa tidak semua pengarang perlu mengalami betul apa yang ingin dituliskan. Ada dua cara untuk menyiasati tersebut. Pertama, mendengarkan cerita dari seseorang. Pengarang juga dapat menjadikan cerita orang sebagai bahan tulisan. Misalnya, saya bercerita pernah menulis tentang sebuah gereja.

Saya tidak perlu ke gereja dan melakukan bermacam-macam ritualnya. Saya hanya cukup mendengarkan cerita kawan-kawan kristiani. Kedua, yang tak kalah penting adalah berimajinasi. Proses ini menjadi bagian paling penting sebetulnya dalam mengarang. Kita bebas-bebas saja berimajinasi banyak hal dan tergantung bagaimana cara kita menuliskannya. Misalnya, menuliskan tentang kisruh yang terjadi di Suriah atau Palestina.

Setelah jam menunjukkan 23.00 WIB. Kami sepakat menutup diskusi kecil tersebut dengan tantangan ringan dari saya. Siapa dapat mempraktikkan beberapa saran tersebut dengan bukti menembus salah satu rubrik koran lokal, maka akan saya hadiahi satu buku menarik. Kebetulan, sebelum pulang kampung saya sempatkan membeli beberapa buku diskon di toko dekat kampus.

Saya melakukan hal tersebut agar mereka termotivasi dan lebih bersemangat lagi dalam upaya mengasah hasrat mengarang. Semoga hal-hal tersebut bermanfaat. Saya lega dengan langkah sederhana tersebut.

Rifdal A.
Rifdal A.
Pegiat Literasi

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru