Harakatuna.com. – Dalam ranah kajian al-Qur’an di Nusantara, studi yang berkaitan dengan tafsir Melayu-Indonesia menjadi kajian yang populer di kalangan para sarjana setidaknya di sekitar akhir abad ke 20. Beberapa contohnya seperti penelitian dari A.H. Johns yang berjudul “Quranic Exegesis in the Malay World: In Search of Profile”, kemudian penelitian dari Salman Harun yang berjudul “Hakikat Tafsir Tarjuman al-Mustafid” karya Syekh Abdurrauf Singkel, lalu penelitian dari Peter G. Riddell yang berjudul “Transferring Tradition: ‘Abd al-Rauf al-Singkili’s Rendering into Malay of the Jalalayn Comentary”, dan beberapa penelitian lainnya. Namun, Jajang A. Rohmana berpendapat bahwa penelitian-penelitian di atas terlalu memperhatikan kajian al-Qur’an atau tafsir dengan publikasi dan jangkauan yang luas akan tetapi kurang memperhatikan tafsir dengan publikasi dan jangkauan yang relatif terbatas dan kecil. Seperti sejumlah tafsir berbahasa Sunda yang beredar di era kolonial hingga masa kini yang luput dari perhatian. Padahal menurutnya, tafsir lokal dapat mempertegas wajah asli dan perkembangan kajian al-Qur’an maupun tafsir di Nusantara.
Apabila membahas atau mengkaji tafsir-tafsir lokal, salah satunya tafsir berbahasa Sunda, dapat ditemukan keunikan hasil dari indigenisasi Islam di tataran Sunda. Hal ini disebabkan karena adanya proses dialektika dan interaksi antara ajaran Islam dengan budaya lokal Sunda itu sendiri. Adapun beberapa unsur lokal Sunda yang dapat ditemukan dalam penafsiran berbahasa Sunda yakni;
Tata Krama Bahasa
Edmund A. Anderson dalam karyanya yang berjudul “Speech Levels: The Case of Sundanese”, menyatakan bahwa tata krama bahasa Sunda adalah sistem hierarki penuturan dalam bahasa Sunda yang menyangkut perbedaan-perbedaan penggunaan bahasa dengan memperhatikan usia, kedudukan, tingkat keakraban, pangkat, serta situasi di antara yang menyapa dan yang disapa, atau antara pembicara, lawan bicara, dan yang dibicarakan. Penggunaan tata krama bahasa Sunda ini ditunjukkan pada pembeda ekspresi bahasa antara bahasa yang kasar dan halus. Adapun salah satu contoh penerapan tata krama bahasa Sunda pada penafsiran, dapat dilihat pada tafsir al-Kitabul Mubin karya Mhd. Romli terhadap QS. Taha [20]: 92-3:
Musa nyarita (ka Hārūn dina nalika dongkapna ti gunung Thur): “He Hārūn! Naon nu janten pamengan ka anjeun nalika anjeun ningali ka maranehna parantos sarasab (malusyrik)”. “Bet ngantep henteu tumut kana conto kang rai (dina ambek karana Alloh sareng merangan jalmi-jalmi nu kupur ka Mantenna)?, atanapi memang kang raka ngahaja doraka kana parentahan kang rai?”
Jajang A. Rohmana menjelaskan bahwa ayat tersebut menjelaskan tentang teguran Nabi Musa kepada kakaknya sendiri, yakni Nabi Harun, saat ia pulang dari Gunug Tursina. Nabi Musa marah karena saat ia menitipkan Bani Israil selama 40 hari kepada Nabi Harun, kaum itu tersebut malah melakukan kemusyrikan dengan menyembah anak sapi. Dialog antara dua nabi bersaudara tersebut, disampaikan di dalam tafsir Sunda dengan menggunakan bahasa halus meski dengan penggunaan diksi yang beragam. Contoh penggunaannya seperti kata; anjeun, kang rai, hidep, dan lain sebagainya.
Ungkapan Tradisional
Jajang A. Rohmana juga menjelaskan bahwa terdapat ungkapan-ungkapan tradisional Sunda berupa babasan, paribahasa, dan kecap-kecapan yang termuat pada tafsir bahasa Sunda. Ungkapan-ungkapan tradisional itu sendiri menurut Ajip Rosidi merupakan kekayaan batin budaya Sunda yang berisi prinsip hidup, nasehat, dan aturan tingkah laku. Namun, ungkapan-ungkapan tersebut dalam konteks tafsir, cenderung bernuansa islami karena telah disesuaikan dengan ajaran-ajaran Islam. Salah satu contoh penerapannya dapat ditemukan pada tafsir Ayat Suci Lenyepaneun terhadap QS. Al-Baqarah [2]: 10;
Panyakit nu ngancik dina ati téh mimitina mah mencenit leutik siga pisirungeun dina tunggul, lila-lila ngagedéan, asa mokaha mirucaan ceceremed mipit teu amit ngala teu ménta, lila-lila jadi ngabaju, beuki dieu beuki ludeung nepi ka ahirna lébér wawanén jadi bangsa gerot. Waktu masih jadi bawahan geus mirucaan daek nampa suap jeung ngajilat malar naék pangkat, lila-lila suap jeung pungli jadi ngadaki, ari geus jadi patinggi mah ningkat kawani, teu kapalangbelang pindah pileumpangan sakalian jadi koruptor kelas kakap. Sirikpidik ka nu leutik, belangbayah ka sasama jeung sawenang-wenang ka cacah kuricakan geus teu aya nu dipantrang. Gedé hulu siga jojodog unggah ka salu jeung kadedemes kawas nu kokoro manggih mulud puasa manggih lebaran. Galak jeung campelak sahaok kadua gaplok, tapi ana patepung jeung nu jangkung gedé, nu kumisna baplang godégna ngejejembrung, poyongkod baé siga teu daya teu upaya, batan ngalawan mah kalah ka serahbongkokan.
Jajang A. Rohmana menjelaskan pula, bahwa kata-kata yang ditebalkan merupakan ungkapan-ungkapan tradisional yang berupa babasan, paribahasa, maupun kecap-kecapan yang dimuat dalam penafsiran al-Qur’an. Penggunaan ungkapan tradisional tersebut, bertujuan untuk memperkuat makna sehingga mudah dipahami dan meresap ke dalam pikiran dan perasaan si pembaca.
Nuansa Alam Kesundaan
Unsur lokal Sunda yang digunakan di dalam penafsiran lainnya yakni nuansa alam kesundaan. Bentuk dari penerapannya berupa metafor alam kesundaan yang digunakan penafsir agar menjangkau kedalaman pikiran dan rasa orang Sunda. Salah satu contoh penggunaan nuansa ini dapat ditemukan pada tafsir Quranul Adhim karya Haji Hasan Mustapa saat menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 256;
“Taya paksa dina agama. Asalna ogé susukan palid sorangan, laku lampah asalna suka sorangan, nu matak ditotondénan dina sagala lampahing lampah agama, maké basa lillahi ta’ala, hartina lampah sukana sorangan, lain hayang diburuhan.”
Jajang A. Rohmana menjelaskan bahwa la ikraha fi al-din di sini, ditafsirkan dengan ungkapan metafor yang berbunyi susukan palid sorangan untuk menggambarkan keikhlasan beragama tanpa paksaan dari mana pun. Menurut Haji Hasan Mustapa, beragama harus berdasarkan kesadaran yang muncul dari perasaan diri sendiri. Ibarat aliran sungai (susukan) yang asalnya mengalir sendiri, tanpa diatur untuk dialirkan. Sehingga bermakna “beragamalah seperti aliran sungai (susukan) itu”. Dalam hal ini, salah satu nuansa alam kesundaan, yakni susukan (sungai), digunakan untuk menafsirkan ayat di atas dengan berbentuk metafor.
Dari berbagai uraian di atas, terlihat bahwa tafsir Sunda dengan segala keunikan dan ciri khasnya merupakan salah satu khazanah penafsiran al-Qur’an di Nusantara yang patut dibahas. Walaupun tafsir-tafsir ini tidak beredar di wilayah yang luas seperti tafsir-tafsir Melayu-Indonesia yang seringkali dibahas oleh para sarjana sebelumnya, akan tetapi ia memberikan penegasan dan penggambaran terhadap dalamnya proses penyerapan nilai keagamaan Islam ke dalam identitas budaya Islam Sunda. Dari uraian di atas pula dapat disimpulkan bahwa tafsir terlahir dari proses dialetika antara si penafsir dengan realitas budaya sekitarnya di satu pihak, dan interaksinya dengan al-Qur’an di pihak lain.
Oleh: Muhammad Dimas Geraldy (Mahasiswa dan Pengkaji Ilmu al-Qur’an dan Tafsir).