31.7 C
Jakarta
Array

Unity in Diversity: Meneguhkan Tasamuh Mencegah Disintegrasi Diskriminasi

Artikel Trending

Unity in Diversity: Meneguhkan Tasamuh Mencegah Disintegrasi Diskriminasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Prawacana

Berbeda adalah sebuah keniscayaan dalam pola hidup interaktif yang akan dihadapi manusia di manapun ia berada. Dari hal terkecil hingga hal-hal prinsipil akan ditemukan perbedaan antara satu kepala dengan kepala lainnya disebabkan asupan dan isi otak yang berbeda pula. Di kalangan rakyat terpinggir hingga kalangan para pemikir perbedaan ada dan menjadi hal biasa yang tak dapat dibendung arus dan pola perkembangannya.

Dari segi konten, sebuah perbedaan dapat digolongkan menjadi dua, ada yang bersifat kontradiktif antara satu dengan yang lainnya dan ada yang bersifat paradoksal, seolah-olah bertentangan tapi pada kenyataannya sama-sama mengandung nilai kebenaran.

Perbedaan kontradiktif kebanyakan dapat memicu perselihin seketika itu pula. Contoh kasusnya adalah perbedaan konsep Iman antara golongan Syi’ah dan Sunni. Syi’ah memosisikan Iman kepada dua belas imam mereka sebagai salah satu syarat diterimanya keimanan seorang muslim. Sedangkan Sunni menolak hal tersebut. Golongan pertama mewajibkan serta merta, dan golongan kedua menafikannya. Yang pertama memerintah, yang kedua melarang. Tak ayal perbedaan semacam ini rentan dipolitisasi oleh oknum tak bertanggungjawab dengan maksud memperkeruh suasana lalu mengambil keuntungan di balik itu semua.

Adapun perbedaan paradoksal banyak ditemukan dalam perilaku ibadah umat Islam sehari-hari semisal Qunut Sholat Subuh, ber-siwak setelah tergelincirnya matahari saat puasa, dan lain-lain. Perbedaan dalam kategori ini tidak bersifat kontradiktif satu sama lain. Ber-siwak di siang hari saat puasa misalnya, Imam Ibnu Qosim Al-Ghozi dalam karya monumentalnya yang berjudul Fathul Qorib al-Mujib berpendapat bahwa ber-siwak setelah matahari tergelincir bagi orang yang berpuasa memiliki status hukum Makruh. Di kitab yang sama pula beliau mengutip pendapat Imam Nawawi yang tidak menganggap Makruh hal tersebut. Dalam contoh kasus ini kedua Imam bermadzhab Syafi’iyah tersebut berbeda pendapat, tapi perbedaan itu tidak sampai menimbulkan perselisihan karena sifatnya yang tidak bertentangan, dalam arti tidak berbeda antara hitam dan putih, atau antara mewajibkan dan mengharamkan, melainkan hanya sebatas Makruh atau tidak.

Karena standar yang digunakan oleh setiap orang berbeda dalam menyikapi berbagai hal, tak dapat dipungkiri sikap setiap individu pada perbedaan itu sendiri juga berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ada yang menyikapi fenomena perbedaan dengan santainya, menganggapnya sebagai sebuah keniscayaan yang tak dapat dihindari, dan memanfaatkannya sebagai ajang silaturahmi intelektual. Di lain pihak ada yang menganggap perbedaan sebagai pemicu perpecahan sehingga bagaimanpun caranya umat harus berada dalam satu komando dan harus sama dalam berbagai aspek. Orang dengan pemikiran ini biasanya menganut paham yang keseluruhan ajarannya mengacu pada konsep kebenaran tunggal.

Realita yang dihadapi umat Islam saat ini, munculnya perbedaan tidak lagi dimaknai sebagai ajang untuk bisa saling memahami, tapi malah dijadikan alasan untuk menghalalkan perilaku diskriminasi. Celakanya, sikap intoleran yang merebak akhir-akhir ini tidak terjadi antara umat Islam dengan umat agama lain, melainkan lebih banyak terjadi antara sesama umat Islam sendiri. Yang jadi tujuan bukan lagi kebenaran atas sebuah pemikiran, melainkan pembenaran dari berbagai kalangan.

Aswaja sebagai paham yang diikuti mayoritas umat Islam dunia menawarkan konsep Tasamuh sebagai solusi menyikapi perbedaan yang berujung diskriminasi. Bagaimana konsep Tasamuh ala Aswaja tersebut? Untuk mengetahui jawabannya, mari kita masuk ke penjelasan terkait Tasamuh ala Aswaja lebih mendalam.

Aswaja dan Tuntutan Konsiliasi

Sebagai paham dengan pengikut terbanyak di dunia, Aswaja dituntut untuk ikut andil mengatasi preblomatika kekinian yang dihadapi umat Islam. Salah satu permasalahan yang mencuat akhir-akhir ini adalah disintegrasi nasional yang dilatarbelakangi perbedaan pemikiran dalam banyak kasus yang kental dengan nuansa keagamaan.

Realita historis menunjukkan bahwa ulama Aswaja dalam menyerukan konsep Tasamuh—yang merupakan salah satu asas untuk mencapai persatuan umat—tidak hanya terbatas pada tataran wacana, akan tetapi sejak lama sudah menjadi bagian dakwah mereka.

Salah satu langkah nyata yang diterapkan sejak dahulu oleh Ulama Aswaja dalam kaitannya dengan Tasamuh adalah budaya dialog antar Madzhab dan Firqoh dalam Islam. Hingga saat ini pun kesungguhan Ulama Aswaja dalam melestarikan peradaban dialog terus berlanjut dan dipelopori oleh tokoh Aswaja kelas dunia seperti Syekh Wahbah Zuhaili, Syekh Yusuf al-Qardhawi, Syekh Ali Jum’ah, dan Syekh Muhammad at-Thayyib.

Kesungguan tersebut dibuktikan dengan terselenggaranya Muktamar Sunnah-Syi’ah-Ibadhi di ‘Amman-Yordania pada November 2004 dan berlanjut di Dauhah-Qathar pada Januari 2007 silam. Dalam Muktamar pertama di Yordania, telah disepakati dua hal pokok sebagai syarat mutlak dalam membangun toleransi antar Madzhab dan Firqoh dalam Islam, yaitu:

1.Bahwa pengikut Madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), Madzhab Zhohiri, Ja’fari, Zaidi, dan Ibadhi adalah muslim. Maka pengkafiran dalam bentuk apapun terhadap pengikut madzhab tersebut dilarang. Sebagaimana juga dilarang mengkafirkan pengikut Asy’ari, Maturidi, dan pengikut Tashawwuf yang hakiki, serta pengikut Salafi yang Shahih karena mereka semua adalah umat Islam.

2.Dilarang berfatwa atas orang yang bukan ahlinya. Dan setiap Madzhab harus mengikuti metodologi Ijtihad yang diakui dalam Madzhabnya, agar tidak lahir fatwa liar yang saling mengkafirkan antar Madzhab Islam.

Dari fakta di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Tasamuh ala Aswaja merupakan konsepsi utuh yang mengedepankan keharmonisan dari perbedaan yang ada, yang diupayakan melalui usaha memahami latar belakang perbedaan dari masing-masing kelompok tersebut dengan melestarikan forum dialogis. Jadi, tujuan yang ingin dicapai adalah Unity in Diversity. Dan pada akhirnya, kekacuan akibat disintegrasi bisa teratasi, dan tidak ada dampak diskriminatif yang timbul akibat logika falasi dalam memahami fenomena-fenomena perbedaan bernuansa agamis yang merebak akhir-akhir ini. Wallahu a’lam.

*Oleh Ali Fikry, penulis adalah alumni PP. Annuqayah Lubangsa yang sedang menempuh Sarjana Study Sasrta Arab di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

[zombify_post]

Ahmad Fairozi
Ahmad Fairozihttps://www.penasantri.id/
Mahasiswa UNUSIA Jakarta, Alumni PP. Annuqayah daerah Lubangsa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru