29.1 C
Jakarta

Ulil Amri, Khalifah, dan Presiden; Mana yang Harus Ditaati?

Artikel Trending

Milenial IslamUlil Amri, Khalifah, dan Presiden; Mana yang Harus Ditaati?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Polemik Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun yang ‘kesambet’ hingga mem-Fir’aun-kan Presiden Jokowi dan meng-Haman-kan Menko Marves Luhut belum reda. Wakil Menteri Agama, Zainut Tauhid Sa’adi juga ikut menanggapi. Menurutnya, siapa pun, khususnya penceramah agama, baiknya tidak menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri pemimpin di depan umum. Apa pun alasannya, tindakan tersebut tidak dibenarkan, baik menurut agama maupun konstitusi.

Sementara itu, anak Jokowi yang notabene Walikota Solo, Gibran, enggan memperpanjang masalah. Menurutnya, karena Cak Nun sudah klarifikasi dan minta maaf, masalahnya sudah selesai. Respons tersebut sama dengan Jokowi sendiri yang memilih bergeming. Padahal, sebagai presiden, Jokowi berhak melakukan tindakan terhadap Cak Nun. Jika raja dan presiden itu setara dan di Arab Saudi pembenci pemerintah dibungkam, bukankah Jokowi juga bisa lakukan hal yang sama?

Namun beruntungnya, itu tidak terjadi di negara ini. Urusan beres setelah Cak Nun minta maaf, dan yang belum kelar adalah debat antarnetizen. Jelas ini menarik. Di dunia ini, istilah untuk otoritas tertinggi sebuah negara beragam. Ada yang disebut raja, ada yang disebut presiden. Kedua istilah tersebut secara prinsipil sama dengan istilah Arab ulil amri dan khalifah. Masalahnya, kenapa para pemangku istilah tersebut berbeda dalam merespons hinaan?

Para al-khulafa’ al-rasyidun, yang masyhur dengan ketawadukannya, sering dihina masyarakat. Abu Bakar pernah dihina, Umar juga demikian. Utsman bahkan dikudeta, dan Ali bahkan dikhianati. Mereka, para khalifah, tidak kebal kritik. Berbeda dengan rezim Arab Saudi yang melanggengkan anti-kritik melalui doktrin ketaatan pada ulil amri. Maka, terlepas dari istilah dan identitas pemangku, siapa di antara mereka yang wajib ditaati?

Pertanyaan tersebut akan mengungkap satu fakta penting bahwa dalam berbangsa-bernegara, kapatuhan merupakan hal niscaya. Sementara tindakan pemangku otoritas merupakan persoalan yang subjektif, kesantunan warga negara merupakan norma umum. Jika ada orang maupun kelompok yang mengatakan bahwa taat terhadap presiden itu tidak wajib, bahkan tidak boleh, maka dipastikan ia memiliki kebencian mendalam terhadap struktur kebangsaan-kenegaraan itu sendiri.

Presiden yang Dijelekkan

Seiring dengan kerinduan akan khilafah oleh sementara kalangan umat Islam, kerinduan akan sosok khalifah juga membeludak. Banyak yang ingin tinggal di sebuah negara yang penguasa tertingginya bukan presiden, tetapi khalifah. Jika itu tidak bisa terpenuhi, mereka ingin presiden islami. Pada intinya mereka tidak fokus terhadap definisi ulil amri maupun khilafah. Yang mereka lihat dari penguasa adalah sistem yang dianutnya, lalu ketaatan disandarkan pada sistem tersebut.

BACA JUGA  Serangan Moskow dan Bukti Kekejaman Teroris di Bulan Ramadan

Dengan kata lain, dengan menyebut khilafah sebagai cita-cita global Islam, khalifah seolah berada di tempat yang kesuciannya jauh di atas presiden. Kendati hakikatnya sama, bagi mereka, presiden itu identik dengan Barat sehingga taat kepada presiden tidak wajib sebagaimana harus taat pada khalifah. Dalam bingkai itulah, presiden jauh lebih rentan untuk dijelekkan. Sementara itu, khalifah yang hari ini sudah tidak ada pun masih dielu-elukan. Benar-benar ahistoris.

Padahal, presiden adalah ulil amri. Posisi presiden di Indonesia sama persis dengan posisi raja di Arab Saudi. Ketika Al-Qur’an mengajarkan umat Muslim harus taat ulil amri, maka mereka yang membangkang secara otomatis menyalahi ajaran Al-Qur’an. Dalam konteks misalnya seorang presiden membuat kebijakan yang tidak benar, mengoreksinya merupakan tanggung jawab moral. Yang jelas, pertama-tama harus taat dan tidak menjelekkan. Mereka, dalam satu perspektif, adalah khalifah.

Presiden tidak boleh dijelekkan hanya karena istilahnya yang seolah tidak islami, tidak seperti kata khalifah. Apalagi jika upaya penjelekan tersebut dimaksudkan untuk mengangkat khilafah ke arah sakral; bahwa presiden tidak berhak ditaati sebagaimana khalifah Islam. Yang mesti dilakukan kepada ulil amri adalah memberikan kritik konstruktif, bukan dengan menghancurkan reputasi mereka melalui permisalan terhadap tirani masa lalu.

Khilafah untuk Makar

Kasus Cak Nun mungkin tidak akan melebar ke mana-mana. Selesai tanpa proses hukum dan hanya perlu peringatan oleh rekan-rekan Can Nun sendiri. Tetapi ekor dari kontroversi tersebut tidak bisa diabaikan. Di belakang panggung, para pejuang khilafah memanfaatkan momentum dengan membuat narasi yang membenarkan statement Cak Nun. Ke depan, potongan-potongan video tersebut akan tersebar di mana-mana. Tujuannya jelas, untuk makar.

Makar yang dimaksud bukan perlawanan militer karena saat ini tidak mungkin terjadi. Makar yang paling memungkinkan adalah munculnya statement-statement serupa yang menjelekkan presiden, mematahkan integritasnya sebagai ulil amri, mempertentangkan otoritasnya dengan khalifah, dan memprovokasi masyarakat untuk tidak tunduk kepada otoritas negara. Glorifikasi khalifah di satu sisi dan diskriminasi presiden di sisi lainnya adalah dua sisi yang sama-sama berbahaya.

Sudah saatnya umat Islam di Indonesia tidak terkotakkan oleh istilah-istilah mengenai pemimpin negara. Juga sudah saatnya seluruh masyarakat tidak buta oleh kebaikan presiden hanya karena dendam kesumat personal atau pun kebencian atas sistem yang berlaku. Presiden adalah ulil amri dan tugasnya sama dengan khalifah. Namun, presiden di Indonesia yang tidak reaktif pada penghinaan jangan dijadikan alasan untuk tidak taat pada mereka. Taat adalah keniscayaan. Jangan mau dipecah-belah oleh kebencian.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru