30.1 C
Jakarta

Ulama-Ulamaan ala Aktivis Khilafah

Artikel Trending

Milenial IslamUlama-Ulamaan ala Aktivis Khilafah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ramadhan tinggal sehari saja meninggalkan kita. Saya ingin bertanya secara reflektif: apa yang sudah saya perbuat selama Ramadhan? Kegiatan positif barangkali memenuhi harian, seperti tadarus, atau bahkan mendapat keberkahan lailatulqadar. Tadarus di sini beragam. Ada yang positif dan insyaallah dapat banyak pahala. Tetapi bagaimana bila tadarus dimaksud adalah tadarus khilafah?

Selama Ramadhan, ‘Khilafah Channel’ dan ‘Fokus Khilafah Channel’ giat sekali menggelar diskusi daring. Ada yang live melalui Zoom, ada juga yang sudah melalui editing, bisa dilihat dari scene terpotong-potong yang disambung. Dalam kreasi konten, hal itu lumrah adanya. Meski demikian, spekulasi bisa disuguhkan: jangan-jangan setiap cut scene adalah karena kesalahan konten?

Penting diutarakan, yang menarik adalah label yang terpampang pada setiap video. Siapa pun yang jadi pemateri, maka ia dianggap ‘ulama’. Karenanya, tidak ada acara satu diskusi pun, kecuali pematerinya adalah seorang ulama. Sampai-sampai ada jargon, dari sebagian orang, bahwa “kalau ingin jadi ulama, gabunglah menjadi aktivis pendakwah yang memperjuangkan khilafah”.

Fenomena ulama-ulamaan ini bukanlah tuduhan stigmatis, meski di sini tidak akan disebut secara satu persatu namanya. Tolok ukur saya dalam melihat kapasitas mereka tidak dilihat berdasarkan kebencian sama sekali, melainkan konten dakwah mereka sendiri. Selain provokatif, dalam setiap argumen naqli, mereka tidak fasih, dan secara ‘aqli bahkan cacat dan asal-asalan.

Tentu hal itu tidak cukup kriteria untuk dikata ulama, dalam artian yang esensial. Di Indonesia, ada ulama yang benar-benar alim, seperti Quraish Shihab, Gus Mus, Gus Baha, dan lainnya. Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama adalah tempat yang pas, bagi siapa pun yang bermaksud mengamalkan Islam. Lalu, kenapa harus memilih ulama tak berkapasitas yang hanya berjuang semata demi tegaknya khilafah?

Demi Tegaknya Khilafah

Jika kita mengamati seluruh konten di kanal YouTube mereka, ada satu benang merah yang tidak bisa lepas: mereka kuat dan aktif sekali menyuarakan penegakan khilafah. Baik materinya tentang Sirah Nabawiyah sekalipun, selalu tersirat dakwah yang orientasinya adalah indoktrinasi. Di sini tidak akan diulas secara spesifik. Tulisan sebelumnya sudah mengulasnya secara perinci.

Boleh saja itu dianggap lumrah, mengingat kanal YouTube-nya memang kanal khilafah. Yang perlu diprotes adalah ketika mereka mudah melabeli ulama kepada sembarang orang, bahkan yang kapasitasnya di bawah rata-rata sekalipun. Sebab akan mereduksi sakralitas ulama di satu sisi, dan menstigma ulama secara keseluruhan di sisi yang lain—akibat paling buruknya.

Yang seperti ini tentu tidak akan ditampakkan secara jelas, karena termasuk dari agenda terselubung mereka. Menulis begini bahkan mungkin akan menuai protes kepada saya: dengan dasar apa saya menyangsikan kapasitas ulama mereka? Argumentas apa pun disuguhkan juga tidak akan mempan. Sekali ulama, bagi mereka, tetaplah ulama. Siapa pun yang membantu dakwah khilafah, mereka akan menyebutnya ulama.

BACA JUGA  Menguji Konsistensi Etika dan Toleransi Muslim Indonesia

Narasi khilafah di negeri ini jelas bukan narasi yang masif hanya selama Ramadhan. Bahkan sebelum, hingga sesudahnya nanti, kanal YouTube mereka akan tetap aktif menebarkan kontennya. Berbagai cara dilakukan. Ramadhan hanyalah satu dari sekian momentum yang mereka pakai demi agenda doktrinasinya.  Demikian berlangsung hingga khilafah yang utopis itu dipaksategakkan.

Kebiasaan meng-ulama-kan orang yang tidak selaiknya disebut ulama ini juga harus ditentang, seperti halnya kita menentang dakwah khilafah itu sendiri. Komersialisasi ulama tidak ada bedanya dengan penipuan. Orang-orang yang baru mengenal Islam akan tertipu dengan jualan mereka, sehingga juga mudah terpengaruh oleh setiap dakwah indoktrinasinya. Tanpa menyadari kekeliruannya.

Sikap Kita

“Saudara-saudara yang dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala. Ayat ini telah memberitakan kepada kita bahwa untuk bisa mengerjakan taklif-taklif hukum itu, Allah subhanahu wata’ala sudah memberikan perangkat yang sangat penting buat manusia. Yakni pendengaran dan penglihatan. Maka ketika Allah subhanahu wa ta’ala memberikan keduanya, wajib atas kita untuk menggunakan dalam rangka mengerjakan iman dan mengerjakan taklif-taklif hukum Allah subhanahu wa ta’ala.”

Demikian konten dakwah Rokhmat S. Labib di kanal YouTube ‘Khilafah Channel’ berjudul “Perangkat Untuk Bisa Menjalankan Perintah Allah” pada Jum’at (22/5) pagi.  Ia mengutip surah al-Insan [76]: 2 lalu menafsirkannya secara tekstual: tanpa ulasan asbab al-nuzul, tanpa mengutip literatur tafsir apa pun, apalagi mengutip pendapat ulama.

Sekilas, tampak tidak ada yang aneh dan harus ditanggapi dari ceramah tersebut. Namun, jika ditelisik melalui pertanyaan yang semi-kritis: apakah telinga dan mata adalah syarat hukum taklif? Bagaimana dengan orang yang buta atau tuli tetapi ‘aqil-baligh? Apakah mereka tetap tidak terkena hukum taklif? Kepada ceramah Rokhmat S. Labib, ini patut dipersoalkan.

Di sini tidak akan diuraikan argumentasi yang lebih mendalam untuk menyanggahnya. Penafsiran ayat tersebut tidak demikian. Ada konteks yang diabaikan, yang tidak bisa diketahui kecuali dengan mengutip riwayat dalam literatur tafsir. Maka dengan apa kita harus mengambil sikap adalah memperbaiki apayang seharusnya diperbaiki.

Atau, kita tetap ikuti saja labelling mereka, yang suka bermain ulama-ulamaan. Caranya adalah kita kembalikan ulama terhadap akar kata bahasa Arabnya. Idealnya, ulama berasala dari kata ‘alimun (huruf pertama ain) yang dipluralkan menjadi al-‘ulama, yang terjemahnya adalah ‘para orang berilmu, alim’. Tetapi bagaimana jika akar katanya adalah alimun (huruf pertama alif)?

Lalu dijamakkan menjadi al-ulama? Maka artinya adalah ‘yang pedih, yang menyakiti’. Dari sini kita kembalikan lagi kepada konten dakwah di YouTube mereka. Jika isinya provokatif, maka sebut saja mereka ulama, tetapi bukan dari akar kata al-‘ulama, melainkan al-ulama. Dakwah idealnya menyejukkan. Jika tidak, itu namanya provokasi dan indoktrinasi terselubung.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…
Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru