25.4 C
Jakarta

Ulama, Komunisme, dan Jungkirisasi Pemerintah

Artikel Trending

Milenial IslamUlama, Komunisme, dan Jungkirisasi Pemerintah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Al-‘ulama waratsatu al-anbiya’, Ulama adalah pewaris para nabi. Seperti itu riwayat yang sangat familiar dalam konstruksi sosial masyarakat kita. Mereka yang dianggap berdarah biru, keturunan orang-orang mulia, lebih-lebih keturunan Rasulullah, harus dihormati. Hierarki ini mereka sadari, dan dari itu kemudian, beberapa hal harus terjadi, sebagai konsekuensi.

Walisongo adalah ulama yang berperan penting daalam penyebaran Islam di Indonesia. Sementara Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Ahmad Dahlan, dan ulama seangkatan di luar pulau Jawa berperan penting dalam memperoleh kemerdekaan. Di negeri ini, ulama berandil besar, baik dalam perpolitikan maupun keagamaan. Tetapi, bagaimana bila ada perebutan terhadap kriteria ‘ulama’ itu sendiri?

Selasa (2/6) lalu, beredar video 49 kiai yang mengklaim diri sebagai Ulama-Habaib & Tokoh Madura. Mereka membuat surat pernyataan yang intinya: sikap atas tata kelola kehidupan negara yang dianggapnya tengah dijajah neo-komunis. Komunisme gaya baru yang sedang menggerogoti negeri ini, menurut mereka, semakin nampak, bersamaaan dengan pandemi COVID-19.

Mereka meyakini, pemerintah hari ini tengah mengalami ‘kekacauan pikiran’, sehingga ambil sikap menjadi suatu keharusan. Masifnya tenaga kerja asing (TKA) China dan pro-kontra RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) menjadi persoalan utama yang mereka tanggapi. Tentu, kasus Ruslan Buton juga menjadi kasus spesifik, dari munculnya video tersebut.

Beberapa ulama, atau paling tidak yang mengklaim diri sebagai ulama, hari-hari ini memang tidak jarang bikin gaduh. Tanpa klarifikasi, dan hanya dipenuhi hasrat menjadi oposisi, ingin pemerintah berbenah dari segala kesemrawutan yang terjadi, mereka menuduh pemerintah tengah disusupi komunisme—topik yang sudah bergulir bahkan sejak Jokowi baru mau nyalon presiden, dulu.

Tidak ada dialog antarmuka, tak ada rekonsiliasi. Mengatasnamakan ulama dan habaib yang menjaga Pancasila, mereka berupaya keras menjungkir-balikkan pemerintah. Padahal, pemerintah juga mendapat dukungan ulama dan habaib. Lalu siapa yang harus kita percaya, di tengah perebutan kekuasaan berlabel pembelaan terhadap agama dan negara ini?

Apakah RUU HIP, yang akan diulas pada tulisan berikutnya, benar merupakan bukti kebangkitan komunisme?

Benarkah Komunisme Sedang Bangkit?

Jika dirunut dari makna komunisme secara ideologis, maka tidak benar bahwa hari ini ia sedang mengalami kebutuhan. TAP Nomor 25 MPRS 1966 tentang larangan ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme masih berlaku, sebagaimana berlakunya larangan ajaran radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Dua sudut problem ini sama bahayanya untuk Indonesia.

Komunis tidak akan mengumandangkan kebangkitannya. Radikalis tidak akan mengumandangkan tindakan radikalnya. Semua saling klaim membela Pancasila, meski di belakang, keduanya sama-sama menghancurkannya. Sebaliknya, radikalis akan menuduh komunis bangkit, sebagaiman komunis menuduh radikalis menguasai negeri. Hanya klaim-klaim, bukan?

Video yang mengatasnamakan ulama-habaib dan tokoh Madura tersebut sama sekali tidak salah. Hanya saja, poin-poin yang disampaikan berlebihan, karena bukan hanya membuat pemerintah tidak lagi dipercaya rakyat, melainkan membuat ketakutan di kalangan rakyat itu sendiri. Siapa yang sanggup membayangkan, jika komunisme bangkit, dan tragedi masa lalu terulang kembali?

BACA JUGA  Memaknai Natal Sebagai Momentum Kasih Sesama

Ada beberapa poin yang disampaikan dalam video, di antaranya mencakup munculnya komunisme gaya baru dan oknum pemerintah komunis yang mengingkari perjanjian luhur bangsa. Tetapi, tidak jelas di situ, apakah komunis yang dimaksud adalah ‘orang’ atau ‘kebijakan’nya. Barangkali kebijakan pemerintah ada yang tidak benar, mesti dikritisi. Apakah itu lantas menggeneralisasi mereka sebagai komunis?

Komunisme adalah hantu, yang dijadikan senjata untuk menakuti masyarakat, oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Menyikapi wacana kebangkita mereka memerlukan sensitivitas maksimal. Perang wacana adalah problem yang mesti disikapi dengan sangat hati-hati. Dalam perang wacana, pembenci bisa mengaku pembela. Ada yang mengaku membela Pancasila, tetapi sebenarnya tidak demikian.

Baik komunisme maupun radikalisme, atau saling tuduh antara mereka, adalah problem utama yang dihadapi negeri. Barangkali, mereka yang ulama resah karena dituduh radikal, lalu menuduh komunis pemerintah. Di antara dua sudut yang sama berbahaya, sikap harus diambil. Kepada keduanya, perang adalah keniscayaan.

Apakah radikalisme tengah bangkit, apakah komunisme juga demikian. Persoalan perspektif ini seringkali memunculkan polemik baru; pemerintah tak lagi dapat dipercaya. Perang politik memang tidak pernah surut.

Perang Politik

Jika persoalannya adalah perseberangan pandangan politik, maka tidak lagi perlu untuk membicarakan panjang lebar. Membela agama adalah wajib, sewajib melindungi negara dari siapapun yang berpotensi menghancurkannya. Ulama tidak seharusnya bergandeng dengan umara’ (pemerintah), tetapi bukan berarti boleh memprovokasi rakyat agar tak mempercayai kinerja mereka.

Ulama dan komunis jelas adalah musuh bebuyutan, tetapi jungkirisasi pemerintah, usaha untuk menjungkir-balikkan mereka, bukan solusi yang tepat untuk segala persoalan yang ada. Semestinya, ulama memberi masukan konstruktif, bukan mengambil sikap memosisikan diri sebagai pihak outsider yang tidak ingin membantu kebijakan semrawut pemerintah.

RUU HIP diusulkan oleh DPR, tidak berarti pemerintah disusupi komunisme. Dalam konteks konspirasi politik, segala kemungkinan bisa terjadi. Jangan-jangan, di legislatif, ada yang ingin pemerintah tidak lagi disukai rakyat. Maka diusulkanlah kebijakan yang merongrong integritasnya, mengundang pandangan khalayak tentang wacana komunisme.

Ulama, komunisme, itu memiliki rincian tersendiri, yang lengkap dan tidak manipulatif-eksploitatif. Tetapi menjungkir-balikkan pemerintah adalah angin kuat yang dihembuskan oleh berbagai kalangan dan dari berbagai sisi. Para aktivis khilafah akan tertawa, mungkin terbahak-bahak, bersorak-sorak, melihat ulama berbenturan dengan pemerintah. sebab, di situlah pintu peluang khilafah melebar.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru