26.1 C
Jakarta
Array

Tuhanpun Berinisiatif Mencipta Perbedaan (Bagian-IV)

Artikel Trending

Tuhanpun Berinisiatif Mencipta Perbedaan (Bagian-IV)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ada dua hal yang perlu diperhatikan:

Pertama: Tidak diragukan lagi bahwa setiap orang dengan fitrahnya ingin menjadi wujud yang memiliki nilai dan kebanggaan, oleh karenya dia berusaha dengan segala eksistensinya untuk memperoleh nilai tersebut, hanya saja pengetahuan tentang standar dari nilai tersebut berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kebudayaan dan bisa jadi nilai yang palsu mengambil tempat yang lebih jelas sehingga tidak tersisa lagi tempat untuk nilai yang benar.

Karenanya sekelompok orang memandang bahwa nilai mereka yang hakiki adalah dinisbatkan kepada kabilah yang terkenal oleh karenanya demi mengangkat reputasi kabilah dan kelompok mereka, mereka menampakkan aktifitas-aktifitas umum untuk menjadi pemimpin karena keluhuran dan ketinggian pangkat kabilah mereka.

Perhatian terhadap kabilah dan kebanggaan yang dinisbatkan kepada hal tersebut merupakan hal yang tidak nyata di mana kabilah tertentu menganggap dirinya lebih mulia dari kabilah yang lain, dan sangat disayangkan malapetaka Jahiliyah ini kita temukan dalam banyak jiwa individu masyarakat.

Kelompok lain menganggap harta sebagai standar dari nilai kemuliaan  seseorang, mereka berusaha menumpuk-numpuk harta untuk mendapatkan kemuliaan tersebut, sedangkan kelompok yang lain menganggap bahwa politik dan sosial yang tinggi merupakan standar kemuliaan seseorang.

Demikianlah setiap kelompok memiliki jalan masing-masing, mereka mencari nilai-nilai tertentu dan menganggapnya sebagai standar kemuliaan seseorang. Karena semua hal ini bersifat materi dan palsu, Islam memberikan standar hakiki sebagai tolok ukur kemuliaan seseorang yakni ketakwaan, kesucian hati dan keteguhan agama. Sehingga dia tidak memperhatikan tema-tema penting seperti ilmu pengetahuan dan kebudayaan jika hal itu tidak berada dalam jalur keimanan, ketakwaan dan akhlak.

Takwa kepada Allah serta memerangi syahwat dan berpegang teguh kepada kebenaran, kejujuran, kesucian dan keadilan adalah tolok ukur dari nilai kemanusiaan itu sendiri bukan yang lainnya, hanya saja nilai-nilai asli ini seringkali terlupakan oleh masyarakat dan digantikan oleh nilai-nilai palsu.

Dalam lingkungan orang-orang Jahiliyah yang meyakini bahwa nilai kemuliaan seseorang ada pada kebanggaan pada leluhur mereka, harta dan anak-anak mereka muncul para perampok dan perampas, sebaliknya dalam lingkungan orang-orang yang berlandaskan ayat “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu” muncul orang-orang seperti Salman, Abu Dzar, Ammar, Yasir dan Miqdad.

Kedua: Hakikat dari ketakwaan seperti yang telah kita ketahui sebelumnya bahwa al-Quran memberikan keistimewaan terbesar untuk ketakwaan dan menganggapnya sebagai satu-satunya tolok ukur untuk mengenal nilai kemuliaan seseorang dan juga menganggapnya sebaik-baiknya bekal seraya mengatakan:

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوى

Dan berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa”. (QS. al-Baqarah: 197)

Adapun dalam surat al-A’raf al-Quran mengumpamakannya dengan pakaian:

وَلِباسُ التَّقْوى ذلِكَ خَيْرٌ

 Dan pakaian takwa itulah yang paling baik”. (QS. al-A’raf: 26) 

Sebagaimana al-Quran juga mengumpamakan dalam ayat lain bahwa takwa adalah salah satu dasar dakwah awal para Nabi dan  meninggikannya dalam beberapa ayat sampai-sampai al-Quran mengumpamakan Allah sebagai ahlu taqwa:

هُوَ أَهْلُ التَّقْوى وَأَهْلُ الْمَغْفِرَةِ

Dia (Allah) adalah Tuhan yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan berhak memberi ampun. (QS. al-Mudatsir: 56)

Al-Quran menganggap takwa sebagai nur (cahaya) dari Allah (QS. al-Baqarah : 282) dan menggandengkan takwa dengan kebaikan (QS. al-Maidah: 2) dan keadilan (QS. al-Maidah: 8).

Sekarang kita harus melihat hakikat takwa yang merupakan modal maknawiyah paling besar dan kebanggaan bagi manusia. Al-Quran telah memberikan isyarat yang mengungkap hakikat takwa dan menyebutkan dalam sejumlah ayat bahwa hati adalah tempat bagi ketakwaan:

أُولئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوى

Mereka itulah orang-orang yang telah diuji hatinya oleh Allah untuk bertakwa”.(QS. al-Hujurat: 3)

Dan al-Quran menjadikan takwa sebagai lawan dari kefasikan:

فَأَلْهَمَها فُجُورَها وَتَقْواها

Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”. (QS. as-Syams: 8)

Al-Quran juga menganggap setiap amalan yang muncul dari jiwa yang beriman dan ikhlas serta niat yang jujur merupakan dasar ketakwaan sebagaimana ia mensifati masjid Quba (di Madinah) yang dibangun oleh orang-orang munafik yang berlawanan dengan masjid Dhirar:

لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ

Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba) sejak hari pertama adalah lebih patut kamu solat di dalamnya”. (QS. at-Taubah: 108)

Makna Taqwa dari keseluruhan ayat-ayat di atas dapat kita pahami bahwa ketakwaan adalah kesadaran tentang tanggung jawab dan janji yang menetapkan keberadaan manusia, hal itu adalah hasil dari keteguhan iman dalam hatinya yang ia hindarkan dari kefasikan dan dosa serta mengajaknya untuk beramal soleh dan membersihkan amalan-amalan manusia dari berbagai kotoran dan menjadikan pikiran dan niatnya bersih dari berbagai noda.

*Fairozi, Pengiat ISQH Nasional, sedang menyelesaikan studi magister di Pascasarjana UNUSIA Jakarta

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru