27.3 C
Jakarta

FPI! Agama dan Tuhan Tidak Perlu Dibela…

Artikel Trending

Milenial IslamFPI! Agama dan Tuhan Tidak Perlu Dibela...
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Mencermati sepak terjang perilaku dan dakwah keagamaan FPI, rasa-rasanya, tambah hari, tambah bikin hati miris. Sebagai ormas keagamaan yang bertuliskan kata “Islam,” dakwah dengan cara kekerasan, seperti menggeruduk rumah ibu-ibu di Madura, mensweeping cafe-cafe, dan berlaku onar dan tidak mau nurut aturan yang berlaku, kepada aparat di pelbagai pelosok negeri, menandai bahwa, FPI jadi sorotan “jelek” umat, bahkan banyak menyatakan bahwa FPI mencoreng nama Islam itu sendiri.

FPI dan Jerat Kasus Dakwahnya

Bukan hanya oknum-oknum yang sering melakukan tindakan melenceng, tetapi kadangkala ketua FPI, yang mereka sebut Imam Besar, Muhammad Rizieq Shihab, melakukan hal serupa. Dia yang didagu sebagai Imam Besar, pernah melakukan hal tidak baik. Bahkan pernah dijebloskan ke penjara akibat berbagai perilaku buruknya. Bahkan hari ini, Imam Besar itu, mendekam di dalam sel penjara.

Jika banyak orang bertanya, “bagaimana mungkin Imam Besar atau ketua organisasi Islam, menjadi panutan umat Islam dan sangat diagung-agungkan, sementara perilakunya tidak baik? Jelas, jika pertanyaan itu dilempar kepada yang “di luar,” tidak mungkin ditemukan satu ormas pun yang menokohkan dari bekas narapidana akibat perilaku yang “jelek”.

Anda, mungkin bingung. Begitu pun juga saya. Dan Anda akan bertanya-tanya, mengapa kelompok seperti FPI, yang ingin membela agama Islam, Tuhan, dan sejenisnya, tetapi melakukan kesalahan “buruk” yang menyalahi Islam itu sendiri.

Hari ini, di mana-mana, orang-orang begitu bergemuruh untuk masuk bergabung (mendukung) FPI. Tapi inisiatif itu, bukan karena FPI, adalah ormas terbaik. Tetapi, hanya karena mereka punya satu misi, yaitu “menentang Pemerintah sah beserta sistem dan ideologinya”. Atau, di FPI, bisa saja dijadikan  tempat “basah” sebagai pencari kehidupan, atau penggerak aliran politik Islam, yang sayangnya, tidak menguntungkan umat Islam.

FPI, atau rang-orang ini, bisa dijadikan sebagai penggerak sponsor “apa saja” tergatung permintaan “pihak”, tapi dengan upah yang sangat murah, yang kadangkala tidak cukup, dan tidak imbang, jika ditimbang, antara upah dan bahayanya kepada mereka. Akhirnya, mereka diimbal dengan hanya dengan rayuan semu alias palsu, “kamu kalau mati syahid, masuk surga”

Akibatnya, oknum-oknum FPI, akan selalu terlihat dan terkesan bringas, di mata umat dan orang-orang Indonesia dan dunia. Saat ini, FPI tampak kuat dan tersebar karena sudah terlalu dibiarkan. Tapi, mungkin di antara kita, masih ada yang tidak sepaham dan tidak ingin FPI itu masih bertahan.

Dakwah-dakwah FPI terlalu barbar dan menyimpan kebencian. Sehingga, di pelbagi tempat, bukan hanya oknum dan simpatisannya yang terkena ribuan kasus, tetapi juga Imam Besarnya yang tak henti-henti terjerat dan melakukan kasus “buruk”.

Ada sederet kasus dari Imam Besar FPI itu atas nama dakwah Islam dan pembelaan terhadap Islam. Imam Besar FPI pernah terjerat kasus tersangka penghasutan (2002); tersangka demo anti-Amerika (2001); tersangka kerusuhan Monas (2008) (divonis 1,5 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat); tersangka kasus percakapan pornografi (2017); tersangka kasus penghinaan Pancasila (2017); dan tersangka kasus kerumunan massa (2020) ini (Media Indonesia, 13/12/2020).

Tuhan atau Islam tidak perlu dibela, walapun tidak juga menolak untuk dibela (Gus Dur). Tetapi, bila hanya dibawa-bawa ke sana kemari, meski atas nama dakwah agama, sesungguhnya dia hanyalah “berdagangan agama”, bahkan perilaku yang jauh dari esensi agama dan mereduksi atas nilai-nilai luhur agama.

Ritus Dakwah dan Esensi Islam

Namun tak bisa dimungkiri pada sanjakala abad modern kini, esensi Islam mulai terabaikan, bahkan mengalami kekacauan. Disadari atau tidak, dimensi agama meluap namun jauh dari laku kesalehan. Ritus dakwah agama Islam tampak membuncah, tetapi lupa pada derma Islam, yang sejatinya mengajarkan welas asih yang menjadi tetirah antar kelompok, agama, sesama. Seperti yang disimbolkan oleh tokoh Zarathurusta, Nietzsche, “agama sudah mati!”

Realitas yang terjadi akhir-akhir ini Islam santun menjadi Islam keras lewat keterpautan paham-paham ekstrim yang lemah akan sejerah Islam dan lemah di perihal ajaran furu Islam. Di sini, pendekatan-pendekatan Islam jauh dari kedermawanan dan hanya berkelindan ditengah krisis akhlak manusia yang defisit spritualisme, sehingga penganut agama menjadi kegamangan.

BACA JUGA  Menutup Ramadan dengan Spirit Wasatiah Islam

Haidar Bagir dalam buku versi terbarunya Islam Tuhan Islam Manusia: Agmana dan Spritualitas di Zaman Kacau (2019), menyebut ikhwal itu dengan “dunia kita sedang meluruh dan zaman kacau” yang merindukan nilai spirit spritualisme dan Islam cinta. Falsafah kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama, yang memuat nilai filosofis dan ideologis tak menuai perubahan dan masih membekam di sikap parsial. Bergerak menjadi sentrifugal atau seperti kata Haidar Baqir, “inilah zaman keberlimpahan kegalauan, negeri tuna budaya, yang puncaknya penganut agama berada di zaman kacau hingga terpapar ideologis radikalisme-takfiri ”.

Menurut Haidar Bagir, maraknya sikap takfirisme yang lahir dari kelompok ektremisme keagamaan juga dipantik dengan ketimpangan ekonomi-sosial, kekacauan politik, sistem pendidikan yang rapuh. Kendati itu yang memperparah keadaan umat Islam mutakhir (meski tak semua). Inilah kelemahan peradaban Islam terkait dengan hakikat agama itu sendiri yang perlu di obati dan dipulihkan demi persatuan umat beragama, baik Islam maupun umat yang lain sehingga tak timbul kecemburuan sosial.

Oleh karena itu, Haidar Bagir memberi resep pada konflik-konflik yang makin terbuka di beberapa sekte atau mazhab itu dengan menyodorkan asas cinta spritualitas Islam. Itu sejatinya menyadarkan kita bahwa hubungan manusia dengan manusia lain disandarkan pada asas cinta-kasih dan menolak pada kemungkaran (nahi mungkar). Menolak kemungkaran harus dijauhkan dari sikap represif, kasar, pembunuhan dan lebih mengutamakan cara-cara persuasif dan kebijaksanaan dalam mengambil upaya penyadaran atau tindakan. Bahkan, menurut Haidar Bagir, amar makruf nahi mungkar ini selalu dan harus memiliki kesadaran budaya, kemasyarakatan, dan historisitas (kondisi) sosial sebagai bekal upaya yang dijalankannya, melalui penjangkaran sikap-sikap budi luhur agung, hati lapang, sabar, dan lakon kebaikan, seperti dalam ayat (QS al-Taubah [9]:112). Dan menurutnya, itu yang ajarkan dalam beragama.

Dakwah  Agama dan Aktualisasi Islam Cinta

Mengenai posisi umat manusia dalam beragama dan posisi agama di antara umat ada di dua katub: agama Tuhan (hanya Tuhan yang tahu) dan agama manusia (Tuhan dan manusia yang tahu). Agama Tuhan yang diturunkan atau berasal dari Tuhan yang berpindah kepada wilayah manusia, harus ditafsirkan dalam konteks manusia. Sebab seperti kata Haidar Bagir, manusia tidak akan pernah bisa bicara tentang agama, kecuali dalam konteks manusia. Agama yang dikhususkan untuk manusia selaiknya tak (boleh) dilepaskan dari unsur-unsur atau kebutuhan manusia, begitu juga negara tak boleh lepas dari unsur kemanusiaan-kesejahteraan-berkeadilan. Itulah cara beragama dan bernegara kita yang diperoleh dari tuntuan Pancasila.

Poin paling penting, menurut Haidar Bagir, pada zaman kacau ini adalah dakwah keagamaan harus selalu mempromosikan wacana toleransi nan santun yang berorientasi pada prinsip dasar Islam cinta dan menegakkan wasathiyya atau umat yang moderat seperti yang digambarkan dalam surah (QS al-Baqarah [2]: 143). Dengan demikian, etika dakwah Islam harus didasarkan pada prinsip moderasi, keadilan, dan bersifat rasional. Bukan semata-mata yang hedonistik, utilitarianistik, dan deontologis. Etika dakwah semata-mata harus mendasar ke ragawi yang sejalan pada prinsip Islam dalam surat al-Rahman: 7. “meletakkan neraca keadilan”, sehingga, pemangku agama merasai surga yang dicita-citakan tercipta di dunia, kebahagiaan, kenyamanan, keasyikan, dan kesejahteraan.

Semenetara itu, kita harus terus membangun paradigma demi mengupayakan rekonsilasi perdamaian keagamaan dan persatuan sesama umat manusia, yang hidup di alam semesta yang sama. Supaya cita-cita Islam, “menjunjung tinggi rasa kemanusiaan menjadi nyata”. Dan kita tahu, cita-cita Islam itu yang menjadi laku-sabda nafas berkehidupan kita di dunia adalah khazanah kedamaian: bertawassut, bertawassun, i’tidal, dan bertasamuh dalam asas cinta.

Kiranya, dengan berislam berbasis cinta yang bersumber spritualitas, menjadi kunci keberlimpahan berkah bagi sesama. Maka, seperti kata Haidar Bagir sudah waktunya rukun Islam dan rukun Iman dikembalikan kepada puncaknya, yakni rukun Ihsan pilar cinta agama. Kendati, seperti sabda Nabi “cinta adalah asasku” yang menjadi alasan kita menjejaki agama Islam di semesta ini. Cinta sebagai asas manusia beragama untuk mencintai semua.[]

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru