26.9 C
Jakarta

Tri Institusi Sosial: Bebaskan Generasi Muda dari Nalar Radikal

Artikel Trending

KhazanahOpiniTri Institusi Sosial: Bebaskan Generasi Muda dari Nalar Radikal
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kata “radikal” dan “radikalisme” semula dikenal sebagai konsep yang positif dan tidak membahayakan. Apabila diacu pada terbitan buku Cambrige University, radikal dipahami sebagai perubahan yang dapat dicapai dengan kedamaian yang lebih elegan.

Hanya saja, perubahan zaman menyeret kata radikal pada konsep yang negatif, yaitu perubahan yang dicapai dengan cara kekerasan, eksklusif, dan identik dengan ormas tertentu dengan ajaran fundamentalisme serta puritan. Keyakinan akan konsep ini terus menguat bersamaan dengan maraknya kasus terorisme yang terjadi di semua tempat, termasuk lembaga pendidikan.

Dalam kampus, sistem demokrasi menjadi corong atas partisipasi mahasiswa untuk menyuarakan gerakan-gerakan radikal. Hal ini mengalir secara alami, sifat radikal perlahan dibentuk berdasarkan titik kedewasaan yang tak kunjung terwujud dalam sistem demokrasi.

Perbedaan pendapat disikapi secara serampangan, dan kental akan budaya pemaksaan. Pada satu titik global, sikap ini menjelma menjadi sumber amarah yang melahirkan kebencian akut. Maka lahirlah bom bunuh diri, yang mengatasnamakan dirinya sebagai jihad.

Persoalan ini layak menjadi sorotan, mengingat data statistik tentang profil perguruan negeri menunjukkan peningkatan jumlah mahasiswa secara signifikan. Statistik ini membuat kampus harus lebih waspada tentang infiltrasi budaya radikal dari mahasiswa yang beragam.

Terbaru, seorang mahasiswa di Malang tertangkap Densus 88 Antiteror dengan dugaan terlibat jaringan terorisme (23/5/2022). Banyak pihak yang menyayangkan ketidakefektifan pengajaran anti-radikal yang diselenggarakan kampus untuk mahasiswa baru.

Apabila konsep radikal sudah merambah ke wilayah kampus, dikhawatirkan dalam waktu dekat, virus radikalisme dapat menjangkiti masyarakat awam. Terutama mereka yang minim literasi, dapat menjadi korban yang mudah bagi kaum intelektual yang menyuarakan program radikal.

Kaum intelektual dapat menyusup melalui mimbar-mimbar dakwah, kemudian membuat serangkaian program pengabdian yang tidak lain untuk membimbing masyarakat ke lembah aksi terorisme. Lebih parah lagi, apabila kaum intelektual ini menyusup ke bagian legislatif pemerintah dan membuat sistem regulasi yang longgar untuk menyebarkan terorisme.

Transisi Psikologi Generasi Muda

Proses transisi generasi muda ke fase dewasa, membuat idealisme mereka bebas. Oleh Quintan Wiktorowicz (2005) disebut sebagai cognitive opening (pembukaan kognitif), yaitu proses mikro-sosiologis yang mendekatkan generasi muda pada paham baru yang bersifat radikal. Hal ini ditinjau dari faktor psikologis generasi muda yang rentan terpengaruh oleh isu-isu yang diselewengkan. Perasaan marah, ingin mengubah, dan konsep instan menjadi satu paket pemikiran yang ada di benak generasi muda.

Kelompok terorisme menganggap keadaan ini sebagai peluang emas untuk memperlebar sayap penyebaran terorisme. Pada dasarnya, kelompok teroris selalu mengincar orang-orang yang merasa tidak puas, mudah marah, dan merasa putus asa terhadap keadaan yang ada. Memperkuat pengaruh ini, mereka menyiapkan doktrin-doktrin pembenaran atas sikap kejahatan. Kemudian mereka juga menyediakan lingkungan, fasilitas, hingga pengembangan kreatifitas bagi para pemuda yang dianggap potensial.

Penanganan Terorisme Semua Lapisan

Dalam prakteknya, pemerintah telah tegas mendefinisikan pelaku terorisme. Tercantum dalam UU. No. 15 Tahun 2013, bahwa pelaku terorisme adalah mereka yang dengan sengaja melakukan serangkaian kekerasan, hingga menimbulkan suasana teror dan kecemasan masyarakat. Baik mengakibatkan jatuhnya korban secara masal, menghancurkan fasilitas umum, lingkungan hidup, ataupun objek vital lain.

BACA JUGA  Isra Mi’raj: Antara Etika dan Spiritualitas

Penegasan definisi terorisme ini menjadi sangat penting untuk mempercepat penanggulangan terorisme. Sehingga setiap elemen yang bertanggung jawab atas aksi terorisme, dapat segera melakukan tindakan untuk mencegah aksi terorisme terjadi. Pemerintah melalui pihak keamanan dapat melakukan fungsi penangkapan. Masyarakat dapat melakukan fungsi pengawasan. Sedangkan tokoh masyarakat dan lembaga pendidikan dapat melakukan fungsi edukasi.

Oleh karena itu, sebenarnya radikalisme di lingkungan pendidikan yang menyasar generasi muda tidak bisa diatasi sendirian. Diperlukan pelibatan lebih banyak pihak dalam melakukan beberapa fungsi terkait pencegahan radikalisme, baik di lingkungan sosial, regulasi pemerintah, ataupun kampus yang menjadi naungan pembelajaran mahasiswa itu sendiri. Akan tetapi, kampus menjadi tempat yang ideal untuk mencegah secara dini praktik terorisme yang dilakukan oleh mahasiswanya.

Hal ini dikarenakan fungsi kampus sebagai lembaga pendidik, yang secara eksplisit bertugas mengarahkan generasi muda menjadi sosok yang lebih baik. Kampus secara nyata tidak hanya mengajarkan hal-hal yang bersifat substansial terkait mata kuliah yang harus didapatkan mahasiswa. Namun kampus juga harus dapat menjangkau posisi emosial dan kondisi psikologi mahasiswa untuk meredam antusias mereka melakukan serangkaian aksi kekerasan. Pun dapat pula meredam emosi mahasiswa yang mudah marah.

Penerapan Tri Institusi Sosial

Di sini ada Tri Institusi Sosial yang menjadi sasaran lembaga pendidikan untuk mewujudkan generasi muda yang toleran. Pertama, pendidikan. Institusi ini penting untuk memupuk khazanah mahasiswa tentang apa esensi dari tindakan radikalissme sebenarnya. Diungkapkan pula, penanaman nilai-nilai luhur yang harus dijunjung tinggi oleh mahasiswa. Serta fokus pengkajian ideologi negara yang mengarah pada kesetiaan setiap individu pada penghayatan Pancasila.

Kedua, Keluarga. Pihak kampus dapat mengenal mahasiswa dari latar belakang keluarganya. Bagaimana pola pikir mereka dibentuk dan bagaimana solusi yang dihasilkan dari setiap permasalahan, adalah landasan dasar pembentukan karakter mahasiswa. Pihak kampus dapat menjembatani ataupun meluruskan pemikiran-pemikiran yang dianggap keliru dan tidak pantas dari seorang mahasiswa.

Ketiga, komunitas. Komunitas adalah institusi penting untuk mewujudkan fasilitas dan layanan terkait perspektif mahasiswa akan suatu hal. komunitas dapat berperan sebagai tameng tangguh untuk mencegah radikalisme secara bersamaan. Pengaruh yang ditumbulkan oleh komunitas sangatlah besar bagi mahasiswa, sehingga kampus juga perlu mengadaptasikan jaringan komunitas menjadi lebih toleran.

Tri Institusi Sosial adalah wujud nyata bagaimana pembinaan yang harus dilakukan oleh lembaga pendidikan terhadap problem terorisme yang dialami oleh mahasiswa. Sebagai lembaga pendidikan, pengaruh positif harus ditumbuhkan oleh kampus agar dapat mencetak generasi intelektual yang memperjuangkan keabsahan Pancasila. Sehingga kedepannya Indonesia menjadi bangsa yang berdedikasi luhur dan tumbuh subur dengan nilai-nilai Pancasila di dalamnya.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru