28.2 C
Jakarta

Trend Dakwah Takfiri: Merusak Pancasila dan NKRI

Artikel Trending

KhazanahTelaahTrend Dakwah Takfiri: Merusak Pancasila dan NKRI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Keilmuan yang kita miliki tidak lepas dari berbagai sumber pengetahuan yang dikonsumsi, mulai dari bacaan, pengalaman serta guru sebagai suatu bagian dari sanad keilmuan yang terdapat dalam diri.

Tidak terkecuali pada keilmuan agama yang menjadi sasaran empuk terhadap berbagai permasalahan kebangsaan. Selama ini konflik dengan baju agama terus tersesbar diberbagai term persoalan, mulai dari persoalan terorisme yang menjadi konflik global, pemikiran-pemikiran Islam yang merusak citra Islam itu sendiri dalam wajah bangsa Indonesia, hingga para penyebar ajaran-ajaran Islam dengan kebenaran yang bersifat absolut seperti apa yang dibawanya.

Terkhusus pada para pendakwah, posisi mereka sangat sentral terhadap perkembangan ilmu pengetahuan masyarakat. Di ruang maya, ekspresi kegamaan para netizen bisa dilihat dari banyaknya penonton para pendakwah yangh dijadikan rujukan. Bisa dikatakan, semakin banyak penonton ceramah pada seorang ustaz, hal itu berbanding lurus dengan ekspresi keagamaan masyarakat kebanyakan.

Jika kita bandingkan, penonton dari video pengajian ustaz Firnda Ardija, Riza basalamah cs  selalu memiliki penonton ribuan, bahkan hampir jutaan. Masih segar dalam ingatan berbagai latar belakang para ustaz tersebut dengan bayangan kelompok wahabi dibelakangnya. Mereka memiliki pasar tersendiri bagi para Jemaah dengan karakter, ciri khas dakwahnya yang takfiri.

Trend dakwah dengan cara membid’ahkan, belum lagi dengan umpatan, hinaan serta mengkafirkan, sangatlah jauh dengan karakter dakwah yang dijaarkan oleh Rosulullah saw. Pun kehadirannya, memiliki pengaruh negatif terhadap NKRI.

Kiai Aqil Siradj, misalnya. Turut mengomentari bahaya perkembangan trend dakwah semacam ini, para kelompok takfiri, khususnya para kelompok wahabi ini menurut Kiai Aqil Siradj, dinilai mengancam identitas kebangsaan dan keberadaan NKRI.

Ciri-ciri dakwah takfiri

Trend dakwah takfiri yang terus menggema di berbagai platform media sosial. Ini tidak lain merupakan kebangkitan dan ekspansi yang cukup nyata, terhadap perkembangan Islam transnasionalis di Indonesia. Fenomena ini sangat meresahkan, seiring dengan berkembangnya para viewers yang menonton dakwah dan pengajian penuh kebenacian, pengkafiran serta bid’ah dan membid’ahkan.

Tanpa menyebutkan berbagai pendakwah yang memiliki latar belakang demikian, setidaknya kita bisa memahami secara betul bagaimana ketika memilih beragam pengajian yang diberikan oleh para pendawkah masa kini.

BACA JUGA  Intrik Licik HTI: Menyebarkan Ideologi Khilafah Berkedok Isra’ Mi’raj

Anehnya, eksistensi para ulama Indonesia yang terbukti memiliki sanad keilmuan yang jelas serta sepak terjang keagamaan yang begitu kredibel, terkalahkan dengan kehadiran para pendakwah yang secara berani berdakwah dengan sikapnya yang sangar, kalimatnya yang ganas serta ucapan-ucapannya yang menyayat hati.

Jika dilihat dari berbagai strategi dakwah yang digencarkan di beberapa media, setidak-tidaknya ada beberapa aspek yang bisa dipahami dari dakwah takfiri ini, diantaranya: cara berdakwah dengan sangat kasar, suka membid’ahkan, mengarah pada pengkafiran, mengancam keberadaan NRKRI (Arina:2018).

Mengkafirkan orang berarti sedang menuhankan diri

Mencuri eksistensi Tuhan. Begitu kiranya kita menggambarkan kehadiran para pendakwah takfiri dengan jubah agama, yang menempel serta previliese banyaknya pengikut yang menjadikan sanad keilmuan agama mereka. Ini sangat bahaya sekali terhadap pola keagamaan yang dimiliki oleh umat muslim, melihat banyaknya masyarakat muslim di Indonesia.

Syaikh Siti Jenar, dalam sebuah kajian Filsafat yang disampaikan oleh Fahrudin Faiz juga mengemukakan persoalan serius tentang pengkafiran, membid’ahkan. Otoritas semacam ini adalah milik Tuhan semata. Manusia tidak memiliki hak preogratif yang dimiliki Tuhan. Ini artinya, jika ada orang yang memiliki sikap semacam itu, berarti ia sedang menuhankan dirinya sendiri. Itulah penjelasan Pak Faiz, sapaan akrabnya dalam ngaji filsafat Syekh Siti Jenar.

Dari pemahaman semacam ini, bukankah sudah cukup jelas, siapa yang seharusnya kita jadikan guru sebagai jembatan pemhaman keilmuan kegamaan yang kita miliki. Masihkan kita belajar ilmu agama kepada orang yang sudah menuhankan dirinya?

Di masa lampau, kita bisa melihat kisah bagaimana sombongnya Fir’aun mengaku dirinya sbeagai Tuhan dengan berbagai kemampuan yang dimilikinya. sudah seharusnya, kita bisa cerdas memilih orang yang memiliki otoritas keilmuan agama yang baik, saleh secara spiritual dan saleh secara sosial dalam menyikapi keberagamaan, pluralitas, serta ekspresi kebangsaan dan kenegaraan harus menjadi narasi-narasi atas dakwah yang diberikan kepada masyarakat. Wallahua’lam

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru