Harakatuna.com – Suriah berduka. Pembantaian baru saja terjadi di Suriah oleh penguasa kepada rakyat sipil. Korbannya lebih seribu orang. Kegelapan yang menyelimuti langit Suriah kembali menampakkan dirinya dalam bentuk tragedi yang tak terperi, menyisakan luka mendalam pada sejarah bangsa dan menegaskan kembali kerapuhan kemanusiaan di tengah kekacauan politik regional-global. Apa yang sebenarnya terjadi?
Di pesisir Mediterania, konflik yang telah berlangsung selama tiga hari menyulut rentetan peristiwa berdarah yang menewaskan ratusan nyawa, baik dari pasukan keamanan maupun warga sipil, sekaligus membuka tabir kekejaman yang bersembunyi di balik wajah baru kekuasaan di Suriah; rezim Al-Jaulani, yang dulunya teroris sempalan Al-Qaeda, Jabhah al-Nushrah, lalu bertransformasi menjadi Hay’ah Tahrir al-Syam (HTS).
Dalam bayang-bayang penggulingan rezim lama dan pergantian kendali yang terjadi pada Desember yang lalu, era baru yang diusung kelompok HTS perlahan mengukir sejarah dengan tinta kematian dan penderitaan. Boleh jadi, tragedi Suriah yang terjadi baru-baru ini hanya awalan, setelah Al-Jaulani tampak moderat dan menghilangkan identitas lamanya sebagai jihadis. Apakah tragedi tersebut merupakan terbukanya topeng teroris?
Tragedinya terjadi begitu cepat. Pada Selasa (4/3), konflik mulai memanas ketika pasukan keamanan melancarkan operasi di lingkungan Daartour sebagai respons atas penyergapan oleh sisa-sisa milisi yang setia kepada rezim Assad yang telah runtuh. Dalam insiden itu, dua anggota pasukan keamanan kehilangan nyawa mereka, menjadi awal dari deretan kekerasan yang segera berubah menjadi pertumpahan darah yang brutal.
Tak hanya itu, pada Rabu (5/3), ketegangan mencapai titik didih ketika empat warga sipil tewas dalam kampanye keamanan di Latakia. Kekerasan semakin meruncing pada Kamis (6/3), ketika pertempuran melibatkan pasukan keamanan Suriah melawan kelompok bersenjata yang dipimpin sosok yang dikenal sebagai “Sang Macan”, Hassan, mantan komandan pasukan khusus era Bashar Assad.
Dalam pertempuran dengan intensitas tinggi, milisi setia Assad melakukan serangan dengan menembaki anggota serta peralatan kementerian pertahanan. Tak hanya satu korban jatuh dalam serangan tersebut, tetapi juga terjadi serangan helikopter yang mengoyak ketenangan Desa Beit Ana dan hutan sekitarnya, dilanjutkan oleh serangan artileri yang mengakibatkan pembantaian masif terhadap lebih dari 700 warga sipil Alawite.
Bayangan tragedi semakin membayangi saat ribuan warga sipil terpaksa melarikan diri menuju Pangkalan Udara Khmeimim yang dikuasai Rusia—mencari perlindungan di tengah kekacauan yang tak terkendali.
Hari berikutnya, Jumat (7/3), situasi makin mencekam dengan diberlakukannya jam malam di provinsi pesisir Latakia. Operasi militer berskala besar dilancarkan oleh pasukan keamanan di kota besar, kota kecil, hingga pegunungan di wilayah Latakia dan Tartus. Dalam satu hari penuh kekerasan, 71 orang tewas, termasuk 35 anggota pasukan keamanan, 32 orang bersenjata, dan empat warga sipil Suriah.
Di tengah teriakan perintah untuk “tetap tinggal di rumah”, suara-suara yang memprotes ketidakadilan pun mulai terdengar. Pemimpin Suriah, Ahmed Al Sharaa, alias Al-Jaulani, dengan nada mendesak mengajak para loyalis yang masih setia kepada rezim Assad untuk menyerahkan diri, instruksi terakhir untuk menghentikan derita yang semakin meluas. Apakah tragedi selesai dari situ? Ternyata tidak.
Justru, pada Sabtu (8/3), jumlah korban tewas meningkat secara dramatis hingga lebih dari 500 orang. Data dari observatorium independen menyebutkan, setidaknya 120 pemberontak tewas, 93 tentara pemerintah juga kehilangan nyawa mereka, sementara angka korban warga sipil, terutama dari komunitas Alawite, mencapai 330 orang dalam sebuah serangan balasan yang menggambarkan esensi pembantaian.
Kesaksian Jubir Syrian Observatory for Human Rights (SOHR) menggambarkan eksekusi warga sipil—tanpa pandang bulu—secara sistematis dan rumah-rumah serta harta benda mereka dirampas. Sejarah kelam pun kembali terulang dengan kekejaman yang hampir tak terbayangkan. Suara-suara ketidakadilan menggema, mengabarkan kepada dunia bahwa tragedi kemarin lebih dari sekadar pertempuran militer, namun tragedi kemanusiaan.
Pada Minggu (9/3), tekad rezim Al-Jaulani semakin mengeras ketika ia bersumpah memburu dan mempertanggungjawabkan setiap pelaku kekerasan. Akhirnya, pada Senin (10/3), operasi militer yang selama ini mengguncang Suriah diklaim selesai oleh kementerian pertahanan. Hassan Abdul Ghany, sang jubir, mengatakan bahwa langkah rezim merupakan upaya sterilisasi, kendati cara yang ditempuhnya lebih menyerupai genosida politik.
Itukah topeng teroris yang tersingkap? Dengan menyamar dalam jubah pemerintahan yang tampak legal, HTS ternyata tidak mampu menyembunyikan bekas masa lalunya sebagai ekstremis. Transformasi mereka dari simpulan ideologi radikal-teror menjadi penguasa yang ditandai dengan kekejaman tak berperikemanusiaan membuka mata dunia terhadap realitas pahit: di balik topeng pemerintahan, tersembunyi identitas sejati sebagai teroris yang brutal.
Tragedi berdarah di pesisir Mediterania itu jelas bukan sekadar peristiwa militer, namun juga refleksi paling jelas dari kekuasaan yang mengedepankan teror sebagai alat menaklukkan dan mengendalikan publik. Rakyat pun terjebak dalam lingkaran penderitaan tak berkesudahan; keadilan tampak sebagai barang mewah yang bisa dinikmati hanya oleh segelintir elite penguasa, dari kelompok HTS maupun lainnya.
HTS, yang secara genealogis merupakan kelompok radikal-teror, kini menampilkan wajah baru namun tak mampu menyembunyikan esensi kekejaman yang telah lama melekat. Kepalsuan topeng mereka semakin tampak ketika setiap operasi militer yang dijalankan telah mengorbankan nyawa-nyawa tak berdosa, merobek tatanan sosial, dan menciptakan jurang pemisah antara pemerintah dan rakyat, terlebih bagi oposisi.
HTS berusaha menyulam narasi baru yang konon menjanjikan kedamaian, padahal kenyataannya semakin menajamkan jurang ekstremisme. Di balik gemuruh propaganda dan janji-janji mereka, hanya ada kebenaran pahit bahwa di Suriah, tragedi pembantaian telah jadi alat politik yang dirancang untuk menundukkan perlawanan, sekaligus mengaburkan garis antara musuh dan sekutu.
Editorial Harakatuna ini hendak menjadi refleksi mendalam bahwa pergeseran kekuasaan di Suriah bukanlah sekadar pergantian rezim, seperti yang di-framing banyak media, namun manifestasi konkret dari penyerahan kedaulatan kepada entitas yang mengusung radikal-terorisme sebagai modus operandi; Al-Qaeda, Jabhah al-Nushrah, HTS, atau apa pun nama yang dipakainya. Sebagai kelompok militan, HTS tak bisa menghapus identitas aslinya.
Singkatnya, tragedi pembantaian di Suriah kemarin tidak soal angka dan statistic an sich, tetapi cerminan nyata dari ambang batas moral kekuasaan yang berkamuflase, yang kini terbukti jelas bahwa topeng para radikal-teroris tidak dapat lagi disembunyikan di balik retorika pemerintahan modern. Bagaimana dengan Indonesia, ketika kelompok radikal-teroris juga kerap menyamar sebagai kaum moderat? Waspadalah. Waspadalah. []