Berbicara tentang nanggok, itu berarti kita akan membicarakan hari dimana dirayakannya “kemenangan” umat Muslim di seluruh dunia. Hari raya ini biasa kita kenal dengan Idul Fitri atau idul-fitr, yang berarti kembali pada yang fitri. Secara sederhana, idul fitri ini dapat kita definisikan sebagai kembalinya suatu kondisi dimana manusia kembali suci sesusai dengan fitrahnya. Selama perayaan ini banyak sekali rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh umat Muslim, misalnya solat id, kumpul bersama sanak keluarga, bersilaturahmi dengan tetangga, serta halalbihalal.
Serangkaian kegiatan itu ternyata tidak hanya dilakukan oleh umat Muslim saja lho! Faktanya, banyak sekali umat-umat dari agama lain yang ikut andil dalam memeriahkan acara besar Islam ini. Hal ini dilakukan untuk menampilkan sikap toleransi dan kehidupan harmonis antar umat beragama. Namun, ada sebuah tradisi yang seolah-olah menjadi “wajib” dilakukan oleh umat Muslim di Indonesia. Tradisi itu adalah memberi nanggok.
Nanggok adalah sebuah tradisi dimana orang yang lebih tua memberikan sejumlah uang kepada orang yang lebih muda atau bahkan sebaliknya. Zainuddin Isman dalam antaranews.com mengatakan bahwa tradisi ini sudah ada sekitar abad ke-14 atau 15. Fenomena yang menarik dari tradisi ini adalah keyakinan umat Muslim tentang “baiknya” menyumbangkan harta atau bersedekah pada bulan puasa. Hal tersebut sejalan dengan firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 261 yang memiliki arti:
“Barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya, dan Dialah pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (Q.S Al-Baqarah: 261).
Walaupun dalam Islam tradisi nanggok tidak ada. Namun tradisi ini mengajarkan kita untuk bersedekah. Selain itu, tradisi bersedekah atau beri-memberi hadiah itu sangat diajurkan dalam Islam. Dilansir dari muslim.or.id, Rasulullah pernah bersabda:
“Saling menghadiahilah kalian niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 594, dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam Irwa’ul Ghalil no. 1601).
Anjuran memberikan hadiah ini bertujuan untuk menumbuhkan rasa saling mencintai dan saling menghargai. Dengan memberi hadiah, orang yang menerima akan merasa dianggap penting sehingga akan terjalin harmonisasi dalam kehidupan. Hadiah yang diberikanpun beragam. Bisa berupa doa, tenaga, uang, ataupun bentuk lainnya. Dengan memberikan hadiah itu berarti kita berbagi kepada sesama, membagi sebagian rezeki kita untuk sesama, dan bersyukur atas rezeki yang telah diterima.
Kendati demikian, tradisi nanggok pada idul fitri tahun ini diibaratkan dengan pisau yang bermata dua. Di satu sisi, tradisi ini bisa menjadi sangat mulia. Di sisi lain, tradisi ini bisa menjadi pembawa bencana. Hal ini dikarenakan pandemik yang terus berlangsung dan tidak tau kapan akan berakhir. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa penyebaran COVID-19 ini tidak hanya terjadi saat kita berinteraksi, tetapi juga terjadi saat kita bersentuhan dengan apapun.
Kita tidak pernah tau, apakah benda yang kita sentuh sebelumnya masih steril atau sudah terkena virus. Bahkan rasanya tidak mungkin jika kita tidak bersentuhan dengan orang lain saat kita menggunakan transportasi umum. Maka dari itu, tradisi nanggok menjadi salah satu perantara dalam penyebarluasan COVID saat perayaan idul fitri berlangsung.
Pengaruh PSBB Terhadap Tradisi Nanggok
Demi menekan pertumbuhan virus yang semakin menyebar, pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa titik di seluruh Indonesia. Kita ambil contoh misalnya Jakarta. Berlakunya PSBB di Jakarta diaktualisasikan dengan mengurangi segala bentuk aktivitas sosial, seperti penutupan sarana wisata, pembatasan mobilitas, pengurangan aktivitas transportasi umum, hingga pemberlakuan kerja di rumah atau work from home.
Penerapan PSBB membuat tradisi nanggok menjadi terhambat, atau bahkan dihilangkan selama masa pandemik. Hal ini disebabkan karena masyarakat tidak ingin mengambil resiko terlalu besar melalui tradisi tersebut. Penghilangan tradisi ini tentunya berimbas pada tradisi yang lain, karena tradisi nanggok merupakan sebuah jembatan dalam rangkaian kegiatan lainnya selama hari raya. Kendati demikian, langkah ini bisa dikatakan sebagai langkah tepat dalam mengurangi populasi virus di Jakarta.
Selain itu, penghilangan tradisi angpao di Jakarta juga disebabkan karena banyak kelompok urban yang kembali ke kampung halamannya. Sehingga, Jakarta menjadi sepi saat hari perayaan berlangsung. Hal ini tentunya mengecewakan banyak pihak, terutama anak-anak yang biasa mendapat tanggokan disetiap tahunnya.
Tradisi Nanggok Mempengaruhi Perekonomian Indonesia
Jika kita menilik lebih dalam, tradisi nanggok ini ternyata merugikan bagi negara. Banyak orang berbondong-bondong ke bank untuk mencairkan atau menukarkan uang mereka menjadi pecahan yang lebih kecil. Hal ini berakibat pada peningkatan inflasi di Indonesia. Karena nilai mata uang Indonesia menjadi menurun akibat penyebaran uang yang terlalu banyak di masyarakat. Hal ini selaras dengan pernyataan Adrian dalam artikelnya yang mengatakan bahwa inflasi dalam negeri timbul karena defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan pencetakan uang baru ataupun terjadinya kegagalan panen.
Lantas hubungannya dengan tradisi nanggok apa? Jika tradisi nanggok ini dihilangkan itu berarti masyarakat membantu pemerintah dalam mewujudkan pembangunan ekonomi yang seimbang. Selain itu, masyarakat juga ikul andil dalam membantu garda depan dalam memerangi COVID-19. Ketika tidak memberi tanggokan, berarti tidak ada penyebaran uang, dan itu artinya tidak ada penyebaran virus melalui uang.
Kendati demikian, menghilangkan sebuah tradisi itu artinya menghilangkan sebagian sejarah peradaban yang telah manusia ciptakan. Bagaimanapun, Tradisi memberi nanggok ini sudah mengakar dan mendarah daging bagi orang Indonesia. Tradisi ini pula yang menampilkan kekhasan umat Muslim di Indonesia. Sehingga akan sangat sulit dihilangkan dari budaya umat Muslim di Indonesia.
Solusinya adalah kita bisa memanfaatkan teknologi informasi secara optimal, misalnya melalui uang digital atau e-money. Dengan e-money, penyebaran virus bisa ditekan dan pelestarian budayapun bisa tetap berjalan. Selain itu, dengan tetap protokol kesehatan yang berlaku, mencuci tangan setelah menerima tanggokan, memakai sanitazer, menggunakan masker, dan tetap di rumah saja, kita secara tidak langsung menjaga dan juga melestarikan budaya tersebut agar tetap bisa dilaksanakan di tahun berikutnya.
Zul Fahmi, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta