25.7 C
Jakarta
Array

Tokoh Agama dan Lingkaran Setan Radikalisme-Terorisme

Artikel Trending

Tokoh Agama dan Lingkaran Setan Radikalisme-Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Radikalisme agama  saat ini merupakan kecenderungan global yang sesungguhnya tidak hanya menimpa Islam, namun juga agama-agama lain.  Banyak macam atau bentuk dari radikalisme agama. Sebagai contoh, di Amerika dan beberapa negara Eropa, radikalisme berwujud sentimen pada kelompok minoritas. Kelompok white supremacist yang mayoritas merasa superior dan paling berkuasa dibanding kelompok lainnya.

Namun, radikalisme agama juga banyak disebabkan oleh praktek beragama secara eksklusif, fundamentalis, dan tekstualis. Praktek-praktek ini sejatinya tidak ada dalam Islam, juga tidak pernah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad.

Prof. Dr. Muhammad Chirzin, dalam halaqah kepesantrenan yang diselenggarakan Forum Komunikasi Pondok Pesantren DIY di Aula Pondok Pesantren Al-Munawir Jogjakarta (20/1/2017) lalu, menengarai bahwa Islam itu ada tiga versi: Islam otentik-normatif yang berpegang pada Al-Qur’an dan Hadis; versi kedua Islam teoritis-ideal-konseptual, yakni buah pemikiran para ulama dan ilmuan Muslim; versi ketiga Islam historis-aktual-faktual, yaitu Islam dalam pengalaman Muslim. Islam model ketiga ini meniscayakan adanya perbedaan antara teks dengan pengamalannya.

Nah, berangkat dari versi di atas, Prof Chirzin yang saat ini merupakan dosen UIN Sunan Kalijaga itu menegaskan bahwa kalau ada Islam teroris, radikal, dan ekstrimis, maka seemuanya itu bukanlah Islam yang sebenar-benarnya. Atau semua itu akibat intrepretasi yang keliru terhadap Islam. Lebih menukik lagi, Prof. Chirzin menegaskan dan kemudian menyimpulkan bahwa jantung Al-Qur’an adalah “Walyatalaththof”, yang memiliki arti maka berlemah lembutlah.

Masih di forum yang sama dan juga masih terkait dengan tema pokok peran pondok pesantren dalam menagkal paham radikal dan terorisme, Pengasuh Pondok Pesantren Assalafiyah Jogjakarta, Gus Irwan Masduqi, memberikan penjelasan bahwa benih-benih ajaran radikalisme sudah ada di dalam kitab-kitab kuning. Sebagai contoh, di dalam kitab Fathul Mu’in, tepatnya pada bab tentang Tansibul Imamah, Iqamatul Khilafah yajibu ala kulli muslimin mengindikasikan bahwa bagi orang Indonesia, paham atau doktrin seperti ini, yakni menganggap bahwa menegakkan khilafah merupakan sebuah kewajiban, sangat tidak tepat dan berpotensi menimbulkan perpecahan.

Secara khusus, tokoh NU Jogjakarta itu menguliti konsep khilafah ala HTI. Dia mengatakan, secara rujukan, HTI dengan pesantren itu sama persis.  Kitab-kitab yang dipelajari oleh Taqiyudin Nabhani dengan kitab yang dipelajari kyai di pesantren adalah isinya sama, tidak ada bedanya. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, bahwa mengapa kitab rujukan sama dan konsep tentang khilafah juga sama, namun praktek bernegara HTI dengan para kyai tidak sama? Gus Irwan Masduqi menjelaskan bahwa para kyai dalam mempelajari konsep-konsep khilafah sudah melakukan kontekstalisasi. Bahwa kitab hidup di Indonesia, maka harus ada aktualisasi-aktualisasi. Oleh sebab itu, para ulama melakukan ijtihadi siyasi.  Ibnu Taimiyah dalam Fatawa  menegaskan bahwa sekarang ini sudah tidak mungkin lagi mendirikan khilafah dengan satu khalifah. Yang memungkinkan adalah menambah khalifah-khalifah.

Berdasarkan penjelasan tokoh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama sebagaimana di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tokoh agama mempunyai peran penting dalam memutus lingkaran setan radikalisme di Indonesia. Lantas bagaimana perannya?

Pertama, melakukan otokritik terhadap teks atau sumber rujukan yang mengajarkan benih-benih radikalisme. Tegasnya, pemahaman tokoh agama berbanding lurus dengan perilaku umatnya. Dari sinilah, Irwan Masuqi membagi kitab kuning (turats) menjadi dua bagian. Pertama, kitab kuning toleran dan moderat dan kedua kitab kuning yang radikal-konservatif dan teroristik.

Dalam posisi inilah, para tokoh agama wajib mengambil kitab kuning yang moderat-toleran. Hal ini sesuai dengan prinsip “Al-Muhafadzah ‘ala al-Qadim al-Shalih, Wa al-akhdzu bi al-Jadi al-Ashlah” (Memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik). Dan secara bersamaan, harus melakukan otokritik terhadap rujukan yang tidak tepat, mengajarkan kekerasan sebagai langkah utama dan lainnya.

Kedua, kyai dan santri harus memotori pendidikan inklusif. Ustadz Indra Fajar Nurdin, Ketua PW Persis DIY, ketika memberikan materi terkait peran pesantren dalam menangkal radikalisme dan terorisme yang didukung oleh Harakatuna Media, menegaskan bahwa sebagai urat nadi bangsa, pesantren wajib memosisikan diri dan terlibat aktif dalam menyelesaikan problem masyarakat. Nah salah satu problem serius yang dihadapi masyarakat saat ini adalah maraknya radikalisme. Untuk itu, pesantren yang di dalamnya ada para kyai dan santri harus memotori pendidikan inklusif. Pendidikan semacam ini diperlukan agar wawasan santri terbuka, tidak mudah mengkafirkan dan lainnya.

Ketiga, menguatkan wawasan keislaman dan kebangsaan. Tidak kalah menariknya, Wakil Rektor III Universitas Cokroaminoto, Drs. Nasrudin, menegaskan bahwatokoh agama harus melakukan pemantaban terhadap umatnya terkait wawasan keislaman dan kebangsaan. Bahwa Islam dan kebangsaan tidak bertentangan.

Terakhir, mengambil peran di dunia maya. Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua yang sejak awal pendiriannya memilki komitmen atas Islam yang moderat dan memiliki komitmen kebangsaan yang kuat, harus mengambil peran sesuai dengan kebutuhan zaman.

Saat ini, media sosial atau dunia maya disesaski oleh KONTEN yang negatif, mebajak nilai-nilai Islam secara parsial. Sedangkan ajaran Islam yang ramah, tidak TERLIHAT di ruang publik. Oleh sebab itu, para tokoh agama sudah saatnya turun tangan, mengerahkan para santri untuk mempublikasikan kajian keislaman yang mengutamakan kedamaian dan keadilan. Tidak gampang mencaci-maki ulama dan lain sejenisnya. juga tidak gemar mencari DALIL-DALIL sesuatu yang jelas-jelas baik dan ada banyak manfaatnya.

Melalui berbagai peran tokoh agama inilah, lingkaran setan radikalisme dapat diputus, sehingga tidak akan tumbuh subur lagi. Pada gilirannya, radikalisme dan terorisme “minggat” dari bumi pertiwi. Semoga!

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru