27.6 C
Jakarta

TNI-Polri Akankah Kalah dengan Tipu-tipu HTI?

Artikel Trending

Milenial IslamTNI-Polri Akankah Kalah dengan Tipu-tipu HTI?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Setelah melihat dinamika yang terjadi pada keagamaan sekarang begitu mencemaskan. Agama ditarik ke segala arah. Bahkan TNI negara tak pelak ikut ke dalamnya. TNI-Polri telah memasuki ruang gelab di mana para anggotanya tercebur ke dalam lubang radikalisme.

Mungkin TNI-Polri begitu percaya diri dengan kehebatan fisik yang dimilikinya. Di dadanya ada senjata menggantung yang siap dor. Padahal, pada abad ini, hal itu jarang terpakai. Karena perang sesungguhnya ada di pikiran.

Siapa pun yang dapat mengambil isi pikiran TNI-Polri dialah pemenangnya. Sesungguhnya kekuatan fisik dan persenjataan masih kalah jauh dengan kekuatan pikiran. Pikiran menentukan ke mana fisik dan senjata berlabuh. Karena itulah, HTI dan FPI, menusuk jantung terlemah TNI-Polri: keagamaan.

Tapi di sanalah sebenarnya TNI-Porli butuh pengendalian. Jika TNI-Polri kalah telak dengan susupan ajaran HTI lewat skema keagamaan. Bagiamana mungkin TNI-Porli bisa menang melawan yang lain yang tangguh dalam segala strategi.

Jika TNI-Polri kalah maka sungguh pecahlah pertahanan negara. Agama yang radikal bisa mengungguli watak TNI-Polri sebenarnya: matinya nasionalisme. Yang hidup tinggal kecambahnya agama. Ruwetnya agama menjadi lahan persoalan dan jadi bisnis cuan. Tetapi nurani kehidupan mati di bawah laci peradaban.

Konsep Keagamaan dan Kehidupan

Konsep kehidupan umat manusia pada dasarnya bertumpu pada pemahaman bahwa semua umat manusia adalah bersaudara dan sama. Bila seseorang menzalimi sesamanya, maka sesungguhnya ia telah melakukan penzaliman kepada seluruh umat manusia. Begitu sebaliknya.

Dari itu, kita tahu dan itu menjadi keniscayaan bahwa setiap manusia harus diperlakukan secara sama: manusiawi. Tidak patut apabila perlakuan secara manusiawi hanya berpulang kepada diri sendiri. Sementara perlakuan kepada lian sering bercorak tidak santun dan despotis. Di sini sebenarnya TNI-Polri butuh cernah.

Sikap yang paling mendasar dan itu yang perlu kita sadari dalam berbangsa-bernegara-beragama adalah bagaimana memanusiakan diri kita dan orang lain secara adil dan beradab. Maka itu, seperti ajaran dalam pupuh sinom serat Wedhatamakarya karya Manggunegara IV bahwa kebahagiaan harus diawali dengan cara kita memperlakukan antar-sesama dengan kasih kemanusiaan yang bisa menyenangkan setiap orang “Amemangun Karyenak Tyasing Sasama”. Menjunjung tinggi budi pekerti dan keadaban publik serta menghargai hak asasi tanpa diskriminasi.

BACA JUGA  Melihat Lebaran Ketupat dari Kacamata Deradikalisasi

Agama Kemanusiaan

Dalam sikap dan pemahaman itu merujuk pada pemikiran Nurcholis Madjid dalam buku Islam Agama Kemanusiaan bahwa dalam dimensi esotoris spirit dakwah keagamaan dan kemanusiaan adalah bagaimana kita bisa adil, toleran, egaliter, dan tidak memaksakan kehendak, apa yang menjadi keinginan kita harus terpenuhi-dipatuhi oleh pihak lain dan pihak yang lain harus sama seperti diri kita. Jagalah hati, jangan intoleransi.

TNI-Polri pada dimensi itu kita harus adil. Dan dalam keadilan itu harus berkeadaban luhur yang bercorak silang balik dengan memperlakukan pihak lain sebagaimana kita memperlakukan diri kita.

Ketika diri kita tidak suka dizalimi hanya karena berbeda pemahaman, keyakinan, bahkan hanya berbeda pilihan politik, maka janganlah kita kepihak lain menzalimi. Sebab, sebagaimana TNI-Polri kita akan sakit hati dan benci dengan perlakuan zalim tersebut, pihak lain juga akan merasakan suasana batin yang serupa.

Kesadaran resiprokal tersebut tidak hanya mengantarkan kita pada golongan yang beradab karena telah menempatkan diri kita kepada derajat yang luhur, tetapi seperti dikatakan Yusuf Qardhawi dalam buku Islam Jalan Tengah, menjadi bukti bahwa kita umat Muhammad Saw. yang beragama dan percaya akan supraprerogatif Sang Pencipta.

Karena, manusia yang tunduk kepada keagungan Sang Maha Pencipta ia akan berdamai dengan sesama. Secara otomatis, ia paham bahwa Tuhan menciptakan umat manusia dalam format yang berbeda-beda hanya satu tujuan, yaitu ia “membaca” kebesaran Tuhan dalam proses saling memahami dan berdamai satu sama lain. Perbedaan adalah rahmat.

Maka, marilah kita menjauhi sikap berlebihan dalam beragama atau politik hitam dan lebih mendekatkan ke hal yang pokok yakni merawat pemahaman kemanusiaan dan hakikat persaudaraan umat manusia dengan akal sehat, hati nurani yang bersih dan optimisme agama-politik yang luhur. Hidup TNI-Polri.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru