26.2 C
Jakarta
Array

Tingkatan Muraqabah Perspektif Imam al-Ghazali (Bagian II)

Artikel Trending

Tingkatan Muraqabah Perspektif Imam al-Ghazali (Bagian II)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Tingkat Muraqaba selanjutnya ialah Tingkat Muraqabah Menengah (“Laa Ilaaha Illa Anta”/Tiada Tuhan Selain Engkau)
Dalam Alquran juga terdapat sejumlah ayat yang menyebut Allah SWT sebagai “Engkau”. Contohnya adalah pada ayat yang memuat doa Nabi Adam as berikut.

“Keduanya berkata, ‘Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf ayat 23)

“Engkau” merupakan kata ganti orang kedua. Dalam penggunaan bahasa, penyebutan “engkau” menggambarkan adanya komunikasi yang intens antara orang yang berbicara dengan orang yang disebut. Selain itu, ayat-ayat Alquran yang mengandung penyebutan “Engkau” terhadap Allah SWT menunjukkan adanya hubungan yang dekat antara sang hamba dengan Allah SWT (Fauzan, 2015). Dengan demikian, seseorang yang menyebut Allah SWT dengan “Engkau” telah memulai interaksi dan merasakan kedekatan dengan Allah SWT.

Pada tingkatan ini, seseorang menyadari pengawasan Allah SWT sebagai Tuhan yang diharapkan keridhaan-Nya. Muraqabah pada tingkatan ini mendorong seseorang untuk melakukan amalan amalan qalbiyah (hati) dan amalan aqliyah (pikiran). Tujuannya adalah untuk memperoleh ridha Allah SWT. Artinya, seseorang akan melakukan amal shalih dan meninggalkan kemaksiatan semata-mata karena menginginkan keridhaan Allah SWT. Istilah “ridha” berasal dari bahasa Arab, yaitu radhiya-yardha yang berarti rela, menerima dengan senang hati, cinta, merasa cukup, dan berhati lapang. Kebalikan dari ridha adalah shukht atau sakhat, yang berarti murka, benci, marah, tidak senang, dan tidak menerima (Wahab 2014). Jadi, keridhaan Allah SWT adalah kerelaan, kesenangan, dan kepuasan Allah SWT karena melihat hamba-Nya menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Terdapat sebuah doa yang menggambarkan permohonan hamba terhadap ridha Allah SWT.

“Kami memohon kepada-Mu ridha-Mu dan surga dan kami berlindung kepada-Mu dari murka-Mu dan api neraka.”

Dalam persaksian “Laa ilaaha illa Anta” ini, seorang hamba telah mencapai cinta (mahabbah) kepada Allah SWT (Fauzan, 2015). Dengan demikian, ia akan dengan senang hati melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT sebagai bentuk ungkapan cintanya. Selain itu, hamba yang mencinta Allah SWT akan terus berusaha mendekatkan diri kepada-Nya. Rabiah Al-Adawiyah, tokoh tasawuf yang mempelopori mahabbah, mengungkapkan bahwa seorang pecinta yang sesungguhnya harus mencari dan berusaha mendekatkan diri kepada yang dicintai serta menempatkannya dalam lubuk hati nurani (Fauzan, 2015). Dalam Alquran, seorang hamba yang di akhir hayatnya diridhai Allah SWT disebut sebagai calon penghuni surga, Allah SWT berfirman,

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr ayat 27-30)

Dalam tafsir Ibnu Katsir, ungkapan dalam ayat tersebut disampaikan kepada jiwa-jiwa yang suci, tenang, dan selalu tunduk-patuh pada kebenaran. Jiwa-jiwa ini merasa puas karena meraih ridha Allah SWT.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang dengan rela dan senang hati melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah semata-mata karena menginginkan ridha-Nya tergolong memiliki muraqabah tingkat menengah. Selain itu, mereka juga dicirikan dengan kecintaan kepada Allah SWT dan senantiasa berusaha untuk mendekat kepada-Nya.

Adapun tingkat yang terakhir adalah Tingkat Muraqabah Tinggi (Laa Ilaaha Illa Ana/Tiada Tuhan Selain Saya)
Selain “Dia” dan “Engkau”, dalam Alquran terdapat sejumlah ayat yang di dalamnya Allah SWT menyebut dirinya sebagai “Aku”. Contohnya adalah pada ayat berikut.

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku.” (QS. Thaha ayat 14)

“Aku” merupakan kata ganti orang kedua. Penggunaan kata “Aku” oleh Allah SWT menggambarkan bahwa Allah SWT seakan-akan sedang berhadapan dengan hamba-Nya dan menegaskan diri-Nya sebagai Tuhan (Fauzan, 2015).

Pada tingkatan ini, nilai-nilai Tuhan telah terinternalisasi ke dalam diri seseorang sehingga ia terdorong untuk berperilaku sejalan dengan nilai-nilai tersebut. Muraqabah pada tingkatan ini terwujud dalam amalan-amalan ruhiyah. Mereka yang berada pada tingkat muraqabah tinggi akan melakukan kebaikan dan meninggalkan kemaksiatan karena ingin menjadi pribadi yang baik dan memancarkan cahaya Allah SWT melalui dirinya. Mereka juga tidak lagi berfokus pada keuntungan pribadi namun kebermanfaatan dirinya bagi kehidupan. Allah SWT telah sangat dekat bagi mereka dengan muraqabah yang tinggi karena nilai-nilai-Nya terinternalisasi ke dalam diri dan menjadi bagian dari karakter seseorang.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru