26.3 C
Jakarta

Tiga Cheklist Santri Membangun Moderasi Beragama

Artikel Trending

KhazanahTelaahTiga Cheklist Santri Membangun Moderasi Beragama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Salah satu tantangan terbesar manusia Indonesia kini ada di pendidikan. Mengingat, pendidikan di Indonesia sedang dihadapkan pada pertarungan ideologi. Dari ideologi yang memandang pentingnya “Indonesianisasi Islam” dengan non-indigenous Islam Indonesia yang memandang perlunya “Islamisasi Indonesia”.

Gayutnya pertarungan ideologi itu menyebabkan pendidikan Islam mengalami pergeseran visi atau wajah. Pendidikan Islam Indonesia yang dulunya toleran, menjadi intoleran. Yang dulunya santri/anak didik/orang/kelompok/organisasi ramah, bergeser menjadi marah. Yang dulunya ingklusif menjadi eksklusif. Yang dulunya moderat menjadi ekstrem/radikal. Demikian itu terjadi di lembaga-lembaga seperti pendidikan Islam swasta transnasional, atau lembaga pendidikan berbasis masyarakat organik yang mandiri dan otonomi kebijakannya, seperti  madrasah, sekolah Islam, dan pesantren (Toto Suharto, 2020).

Fenomena itu menjadi kegelisahan kita semua, apalagi pada kontestasi ajaran dan dunia santri. Selama ini kita melihat dan menemukan beberapa perubahan yang mencemaskan, mungkin memiriskan di dunia pendidikan: madrasah, sekolah Islam, dan pesantren. Dari padanya, sebagian telah terjadi pertarungan ideologis yang mengarah pada konservatisme Islam. Bahkan, pertarungan ideologi ini menghapus “citra” atau “norma baik” yang dimiliki lembaga itu, yang dulunya berfungsi sebagai pengawal moderasi Islam dan mencerdaskan manusia yang toleran, malah sebaliknya: konservatif.

Mengapa itu terjadi? Kalau kita lacak genealogisnya, karena pendidikan swasta yang di kelola oleh organisasi/yayasan tertentu memiliki jejaring Islam transnasional, memiliki ideologi tersembunyi (ideologi Salafi yang menginginkan negara Islam dan penerapan syariah dan ajang kontestasi politik praktis), dan lembaga ini lepas dari pengawasan pemerintah (Toto Suharto, 2020). Bahkan juga dari ekspor ekspansi ajaran wahabi dan propoganda politik bungkus Islam yang dipraktikkan Arab Saudi selama ini, dengan cara menyeponsori kebutuhan sosial umat: misalnya pengadaan pembangunan madrasah, masjid, dan memberi bantuan beasiswa  (M. Khalid Syeirazi, 2020).

Bukti dari adanya ideologi tersembunyi itu adalah, lembaga-lembaga ini secara samar menerima Pancasila meski hanya sebagai taqiyyah saja, agar pendidikannya tetap eksis, menolak mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang memuat Pancasila, dan bahkan di ekstrakulikuler seperti Pramuka, ideologi tersembunyi itu gencar diajarkan di beberapa materinya.

Tiga Cheklist Santri atas Pendidikan

Oleh sebab itu, dalam berbagai teks literatur akademis pendidikan Islam banyak menawarkan rekomendasi yang, saya rumuskan menjadi tiga bagian. Sehingga semua pendidikan di Indonesia (pesantren, sekolah, kampus dan sejenisnya) menjadi lembaga pendidikan moderat yang menciptakan insan-insan cendekia santun, dan saling menguatkan kaki NKRI dari gempuran paham, ajaran, pendidikan kelompok ekstem.

Pertama, merumuskan tujuan pendidikan Islam moderat. Karena tujuan pendidikan diharapkan menciptakan hasil yang baik atau menghasilkan lembaga pendidikan yang moderat, maka rumusan tujuan pendidikan harus memperhatikan konsep dan filsafat “baik”, dalam arti etiket (adab-sopan santun), conduct (prilaku terpuji), virtualis (watak terpuji), practical values, dan living values. Rumusan tujuan lembaga pendidikan Islam setidaknya memuat empat hal: (1) komitmen kebangsaan; (2) toleransi; (3) anti kekerasan; (4) akomodatif terhadap kebudayaan lokal. Toto berharap keempat rumusan diatas dapat dilakukan oleh penyelenggara pendidikan Islam di Indonesia.

Kedua, merancang kurikulum pendidikan Islam moderat. Melihat materi pendidikan tersebar lewat media cetak dan digital, dan ini juga dilakukan oleh kelompok Islam transnasional, maka kurikulum pendidikan moderat harus memuat di antaranya pemahaman Islam moderat, yaitu:

Pemahaman bahwa ajaran Islam itu normal, tidak memudahkan juga tidak memberatkan. Pemahaman bahwa Islam agama toleran dan terbuka terhadap perbedaan. Pemahaman bahwa Islam sangat kooperatif terhadap perbedaan pendapat. Pemahaman bahwa Islam agama tidak menotelerir terhadap kekerasan. Pemaham bahwa Islam agama yang mengandung demokrasi untuk kemaslahatan umat. Pemahaman bahwa Islam agama yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Pemahaman bahwa Islam menganjurkan berpikir rasional berdasarkan wahyu. Pemahaman bahwa dalam menafsirkan teks-teks Qur’an dan Sunnah tidak hanya theosentris tetapi juga harus antroposentris dan kontekstual (Aksin Wijaya, 2018). Pemahaman bahwa Islam memetingkan Ijtihad dalam menafsirkan apa yang termaktub dalam Qur’an dan Sunnah (Toto Suharto, 2020).

Ketiga, menginternalisasikan Islam moderat dalam kurikulum tersembunyi. Karena ajaran tersembunyi (tidak tertulis dalam dokumen kurikulum) sangat efektif dalam membentuk watak dan kepribadian peserta didik, maka penyelenggara pendidikan harus menginternalisasikan norma-nilai keislaman dan keindonesiaan (Pencasila), baik melalui proses intrakurikuler, kokurikuler maupun ekstrakurikulernya.

BACA JUGA  Suara Ulama: Penentu Pemilu 2024 Berjalan dengan Damai

Bila nilai di atas dapat diinternalisasikan dalam proses pendidikan santri dan umum lainnya, yang merupakan abstraksi dari paham Islam moderat, maka akan menjadi karakter Islam Indonesia. Sebab, pengetahuan Islam moderat memungkinkan dapat menjadi official knowlegde. Bahkan mungkin menentukan arah masa depan Islam Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dan dimulai oleh santri. Karena, selain sebagai mayoritas dan punya akar sejarah yang kuat, juga menjadi pandu anatomi kontestasi Islam dan penangkal gerakan ekstremisme di Indonesia, baik melalui proyek “Islam Nusantaranya” dan jalan kulturalnya.

Anatomi dan Genealogi

Di Indonesia, ketika melihat gelombang revivalisme agama yang ditandai dengan bangkitnya gerakan Islamisme-fundamentalisme, yaitu keinginan merobohkan nation state dengan negara khilafah, fundamentalisme pasar ingin mengganti nasionalisme dengan korporatokrasi, dan fundamentalisme agama dengan ingin memurnikan agama, ingin membersihkan bidah, maka pertanyaannya apa yang harus santri pikirkan dan lakukan?

Hanya tiga kemungkinan: pertama, membongkar genealogi, anatomi, sumber rujukan, tokoh, dari kelompok-kelompok ekstrem. Kedua, mendongkel geopolitik dibalik gerakannya dan kampenya eksportir ajarannya. Ketiga, menukangi yang pertama dan yang kedua dengan jalan remoderasi ajaran Islam, baik melalui re-interpretasi ayat Al-Qur’an atau kontra narasi, menyaingi dalam bentuk strategi politik, ekonomi, psikologis, sosial, dan dengan gerakan  moderasi Islam (di realitas dan media sosial).

Dengan menjawab tiga di atas dan menelaah faktor penyebab sikap ekstrem kegamaan umat manusia (seperti yang pernah dilakukan Yusuf Qardhawi, Noorhaidi Hasan, Aksin Wijaya), maka kita akan mengentas dari lumpur ekstremitas agama dan menjadi contoh peradaban Islam di dunia. Bahkan kalau itu terjadi, kita bisa memberi jawab terang pada tuduhan kelompok fobiaisme Islam seperti yang telah gencar dilakukan di Barat, macam Sam Harris (The End Of Faith) dan Ayaan Hirsi Ali, (Infedel, Bomad, and Heretic) dan lainnya. Atau, jika hal demikian tidak bisa dilakukan dalam tempo sesingkat-singkatnya, santri bisa ajukan resep untuk meminimalisir kemaruknya narasi agama yang sedang dipromosikan ustaz dan selibritas panggung mutakhir di Indonesia.

Tiga rekomendasi atas keagamaan

Paling tidak santri bisa mengajukan tiga resep atau rekomendasi agar Islam di Indonesia menuju jalan moderat. Pertama, memahami yang detail dalam lingkup yang pokok. Perlu kegairahan dalam pemaknaan nash-nash khususnya Al-Qur’an, hadis-hadis dan sunnah Nabi Saw., serta menyelami sedalam-dalamnya tentang pelbagai periwayatan dan mampu memisahkan antara hukum dengan didasarkan atas suatu tradisi, kondisi dan prilaku pribadi, yang akan diimplementasikan untuk kemaslahatan umat beragama demi memperindah kehidupan.

Kedua, membiasakan prasangka baik terhadap kaum muslim lain. Agar meningalkan “kacamata kuda” saat memandang ke arah manusia, selain mereka, sehingga memperkirakan adanya sifat-sifat kebaikan pada hamba Allah. Mendahulukan baik sangka, agar mereka menyadari bahwa kesucian adalah fitrah manusia, yang asli dan atas kehendak itulah menilai kaum muslim. Kita patut mendengarkan perkataan bijak bestari: “Daripada mengutuk kegelapan, nyalakanlah sebatang lilin untuk menerangi jalan!” Dan santri harus menebarkan pesan kedamaian (al-salam) bagi orang lain daripada penebar kebencian dan kekerasan atas nama agama dan Tuhan (Aksin Wijaya, 2019).

Ketiga, menjadikan theosentris, ingklusif dan humanistik sebagai watak mendalami Islam dalam bingkai kebangsaan. Dengan begitu, beragama tak akan merasakan kehampaan serta ketakutan bilamana dihadapkan pada persoalan yang sifatnya fleksibel dan relatif berbeda dengan pandangan kita. Kerena kita tidak akan bisa melakukan penjeniusan pandangan (hukum) itu secara eksklusif/kaku karena situasi yang dihadapi masyarakat lain.

Adanya perbedaan dalam menghayati Islam merupakan suatu yang tidak dapat dihindari. Namun yang semestinya, kita menunjukkan bahwa Islam adalah yang senantiasa menempuh jalan tengah (wasath), dan membawa rahmat bagi semesta alam (rahmatal lil alamin). Dengan pandangan Islam yang menampilkan diri sebagai sebuah agama yang toleran, moderat, dan adil tanpa harus kehilangan prinsip intrinsiknya, adalah napas segar yang harus ditampilkan dalam semangat keberislaman.

Dengan demikian, jika itu berhasil diterapkan, maka pendidikan, sosial, dan moderasi agama tidak hanya membumi di bumi Indonesia, tetapi bisa menjadi penerang masa depan manusia, negara, bangsa, yang bermartabat, berdulat, dan memanusiakan manusia. Semoga[]

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru