27.8 C
Jakarta

Tidak Sopannya Pendukung UAS; Menyerang Halimah Yacob, Presiden Perempuan Pertama di Singapura

Artikel Trending

KhazanahTelaahTidak Sopannya Pendukung UAS; Menyerang Halimah Yacob, Presiden Perempuan Pertama di Singapura
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Nama Halimah Yacob sempat menjadi perbincangan di media sosial karena termasuk nama yang diseret oleh para pendukung UAS (Ustaz Abdul Somad). Akun media sosialnya, banjir dengan kritikan, dan ancaman dari pendukung UAS. Kenyataan ini sebenarnya, lagi-lagi menyadarkan kepada kita bahwa, netizen Indonesia memang sangat layak dijuluki netizen yang tidak sopan di media sosial se- Asia Tenggara.

Tidak hanya itu, sosok Halimah Yacob sebagai seorang perempuan muslim, juga dianggap sebagai islamofobia dengan ditolaknya UAS datang ke Singapura.

Padahal,  UAS tidak dideportasi, melainkan tidak mendapatkan izin untuk datang ke Singapura, sehingga diharuskan kembali ke Indonesia. Kenyataan tersebut berbanding terbalik dengan para kelompok khilafah yang terus menggoreng isu UAS sampai pada pembahasan islamofobia. Tidak hanya itu, kenyataan bahwa banyak ikut menghujat Halimah Yacob lantaran ia tidak membela sesama muslim (red; UAS) terus bergulir.

Siapa sebenarnya sosok Halimah Yacob?

Presiden perempuan pertama di Singapura

Nama Halimah Yacob pada tahun 2017 silam, sempat ramai karena menjadi perempuan pertama dari kalangan melayu menjabat sebagai presiden pertama perempuan di Singapura. Ia lahir pada tangga; 23 Agustus 1954 dari ayah keturunan India dan ibu keturunan melayu.  Ayahnya meninggal pada saat berusia 8 tahun, kemudian ia dan empat saudaranya dirawat oleh ibunya yakni, Madam Maimun Abdullah.

Tumbuh sebagai perempuan tanpah kehadiran ayah dalam proses perkembangannya, keluarganya hidup dalam kemiskinan. Di masa kecilnya, ia diketahui membantu ibunya menjual nasi padang di luar bekas Politeknik Singapura (sekarang Gedung Bestway) di sepanjang Prince Edward Road Singapura.

Pada tahun 2021, ia menyelesaikan Master of Laws di National University of Singapore (NUS) dan dianugerahi gelar kehormatan Doctor of Laws oleh NUS pada 7 Juli 2016. Dalam karir kepemerintahannya, Ia  pernah menjabat sebagai meneri negara di Kementerian Sosial dan Pembangunan Keluarga. Ia adalah perempuan yang sangat lantang menyuarakan isu-isu sosial, mulai dari pelatihan untuk pekerja yang lebih tua dan kurang terampil, serta orang tua sakit jiwa.

Ia juga mendukung pengatura kerja yang fleksibel dan juga cuti perawatan keluarga untuk meningkatkan keseimbangan kehidupan dan kerja. Ia juga berhasil memperjuangan tunjangan medis yang setara bagi pegawai negeri sipil perempuan.

BACA JUGA  Politik Identitas dan Politik Dinasti: Dua Isu Besar dalam Pemilu 2024

Ia juga menjadi perempuan yang, ikut menyuarakan hak-hak perempuan. salah satunya ketika ia masuk dalam Dewan perumahan dan Pembangunan, Aliansi Tripartit Ketenagakerjaan yang Adil, Kelompok Kerja Tripartit untuk meningkatkan pilihan pekerjaan untuk Perempuan.

Penghargaan yang pernah diberikan kepadanya , yakni “Achiever of the Year” versi Berita Harian pada tahun 2001, dan “Woman of the Year” versi Majalah Her World pada tahun 2004. Dalam ranah perjuangannya, ia dikenal sebagai prsedien yang tidak gencar melawan korupsi serta ekstremisme agama yang menjadi ancama kejutuhan negara.

UAS dan pendukungnya yang tidak sopan

Kehadiran Halimah Yacob, pada tahun 2017 disambut dengan tepuk tangan serta harapan banyak orang. Apalagi, ia tampil sebagai perempuan muslim  yang cukup gencar melawan ekstremisme agama di negaranya. Pada kasus UAS ini, ia tidak luput dari cacian, makian dan kritikan karena dianggap tidak pro terhadap Islam. Tentu, bagi para pendukung UAS, hal itu bertentangan dengan Halimah Yacob sebagai seorang perempuan muslim. Akhirnya, pelbagai serangan, digencarkan oleh para pendukung UAS.

Sementara itu, UAS yang dianggap dideportasi oleh para pendukungnya, serta isu islamofobia yang digoreng sedemikian rupa khususnya oleh para kelompok khilafah, menjadi sebuah refleksi tentang bagaimana gencarnya isu tersebut sampai pada tahap kebencian yang terus menerus disebarkan.

Tidak hanya itu, penyerangan secara personal dengan kalimat-kalimat yang justru adalah cacian, sangat menciderai nama Islam. Kelompok khilafah memanfaatkan betul bagaimana posisi UAS sebagai seorang ustaz yang, berdakwah di jalan Allah, kemudian mendapatkan ketidakadilan dari negara yang dipimpin oleh seorang muslim. Lagi-lagi, politik identitas dimainkan dengan isu agama yang sangat kuat oleh para kelompok muslim yang gencar menyuarakan khilafah.

Pentingnya untuk memandang kasus UAS ini dengan banyak kacamata. Mulai dari siapa yang menggoreng isu UAS, pengikut UAS yang benar-benar fanatik terhadap UAS karena ilmunya, hingga kelompok yang memanfaatkan masalah ini, yang tidak lain adalah kelompok khilafah. Dari itu, kebencian dan dendam tidak hadir dalam diri karena misinformasi yang kita dapat. Wallahu a’lam

 

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru