32.5 C
Jakarta

Mohon Maaf! Tidak Butuh Dialog Lagi Untuk Memberantas FPI

Artikel Trending

Milenial IslamMohon Maaf! Tidak Butuh Dialog Lagi Untuk Memberantas FPI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Saya ingin membawa Anda, para pembaca sekalian, untuk mengingat peristiwa pahit tiga tahun silam. Kasus penistaan agama oleh Ahok, eks-Gubernur DKI Jakarta. Kira-kira, mari kita berspekulasi, andai pengadilan tidak menjebloskan Ahok ke penjara, dan meminta para demonstran yang sudah melakukan Aksi Bela Islam sebanyak tujuh jilid untuk menyelesaikan persoalan tersebut dengan cara dialog, apa yang akan terjadi dengan FPI dan sempalan gerakannya?

Kemungkinannya adalah, gesekan umat Islam dengan non-Muslim menguat. Kabar baiknya, mungkin Ahok tidak dipenjara. Kabar buruknya, demo-demo akan terus berlanjut, boleh jadi sampai ratusan jilid, sampai pada akhirnya kekacauan memenuhi seantero negeri. Tidak ada dialog, bagi para demonstran, yang rata-rata FPI itu, atas kasus Ahok. Mereka tidak akan terima itu. Preman jalanan akan terus menjadi preman jalanan. Tidak ada diplomasi. Mereka hanya butuh satu: jebloskan penista agama ke penjara!

Dengan keganasannya yang mengerikan itu, sangat aneh bila untuk menghadapi mereka, kita dituntut untuk berdialog. Untuk apa berdialog dengan kaum sumbu pendek yang mengandalkan otot dan jumlah pasukan belaka? Kalau Anda akan bilang, bahwa mereka adalah sama-sama warganegara, memiliki hak yang sama dengan kita, itu memang benar tetapi maaf, itu tidak akan memperbaiki keadaan. Hak asasi itu ada batasnya, dan batasnya ialah sejauh tidak mengganggu hak orang lain.

Sejak Rabu (23/12) kemarin, Indonesia punya Menteri Agama baru. Menag sebelumnya, Fachrul Razi, sering dicemooh netizen sebagai orang yang tidak paham agama. Sekarang, ketika Menag baru adalah putra seorang ulama, yang tentu saja paham Islam, dan memiliki rekam jejak politik yang jelas, juga latar militer Ormas, harapannya hanya satu, selain bisa inklusif, ialah bisa menyelesaikan persoalan radikalisme—memusnahkan mereka. Lalu kenapa ada yang keberatan dan menekankan agar memilih jalan dialog saja?

Kompromi yang Fatalistik

Dalam tulisan mengenai Gus Yaqut sang Menag baru, Yaqut Jadi Menag, Agama Sebagai Inspirasi? Buktiin Dong!, yang menekankan ihwal bagaimana Negara harus menghadapi FPI, ada gagasan yang menarik. Agar lebih jelas, saya kutip langsung. Begini katanya:

Bila Negara diinginkan dijadikan wadah berkehidupan semua manusia, beserta yang melingkupinya, maka Negara harus jadi payung yang aman dari semua manusia, temasuk semua ormas-ormas… Pembubaran kadangkala berbuah nuansa baik. Tapi juga kadang mambuat jadi buruk… Di sini, bukan hukum runcing, represif atau dor, yang perlu dilakukan, melainkan dialog seperti yang bertulis di dada Garuda Pancasila. Apalagi hanya menuruti sentimental ormas-ormas yang mendaku ormas (paling) moderat…

Bahwa Negara wajib adil, berprinsip equality before the law, tidak mendiskreditkan satu kelompok, itu memang benar. Tetapi, apakah masih dibenarkan untuk melakukan pembiaran terhadap bibit-bibit radikalisme yang kita semua tahu ujungnya nanti adalah membahayakan NKRI itu sendiri?

Setelah HTI dibubarkan, tiga tahun silam, aktivisnya memang tidak mati. Mereka justru punya lumbung baru yang bertebaran, menyusup-nyusup. Tetapi, penting dicatat, setelah badan hukumnya dicabut, mereka tidak terorganisir, dan pergerakannya, sekalipun berhamburan, statusnya lemah.

BACA JUGA  One Ummah: Doktrin Neo-HTI yang Menyalahi Al-Qur’an

Menolerir segala dosa-dosa FPI hanya karena mereka warganegara, itu kontradiktif dengan prinsip menjaga keutuhan Negara (territorial integrity). FPI kuat dan arogan karena mereka masih punya badan hukum, seolah-olah pemerintah terkekang oleh payung hukum tersebut.

Lagi pula, dialog seperti apa yang efektif untuk menghadapi FPI? Apakah Menag Gus Yaqut harus ngopi di Kalibata dengan Munarman? Itu namanya kompromi yang fatalistik. Alih-alih membuat FPI jera dan tidak lagi congkak dan arogan kepada pemerintah, mereka justru akan semakin binal, dan dengan sesumbar akan bilang ke para pengikutnya: “Lihatlah, pemerintah saja tidak berani memusnahkan kita, mencabut hukum kita, dan hanya berani mengajak dialog. Umat Islam bersatu akan kuat. Takbir!!!

Lalu siapa yang akan bertanggung jawab? Dialog memang jalan paling mulia, dan cara militeristik juga bukan jalan terbaik. Tetapi, jika menghitung grafik bahaya pembiaran, membubarkan mereka tanpa dialog lagi, karena rekam jejak kebrutalannya sudah cukup, itu juga tidak bisa dianggap buruk. Hanya saja, itu kan hanya wacana. Pembubaran FPI tidak akan terjadi, apalagi dialog. Semua jajaran pemerintah, termasuk Menag, masih sayang pada FPI.

Menag Sayang FPI

Charlotte Setijadi, seorang antropolog Asia Tenggara tentang etnis Cina, dalam tulisannya, Ahok’s Downfall and the Rise of Islamist Populism in Indonesia, mengatakan: “Kesuksesan politisasi kasus penistaan agama menunjukkan bahwa faksi Islam konservatif semakin terbekali dengan dana yang cukup, terorganisasi, dan terkait dengan politik.” Faksi Islam konservatif yang Charlotte maksud ialah FPI, yang mulanya hanya preman jalanan, kini menjadi kekuatan politik.

Tentu, dengan demikian, tidak ada alasan lagi untuk membiarkan mereka. Tetapi, pemerintah memang sengaja membiarkan. Dengan segala rekam jejak kekerasannya, mereka masih leluasa eksis. Setidaknya mereka jadi pengganjal fokus rakyat terhadap masalah Negara, seolah masalah paling besar adalah mereka. Lumayan untuk pengalihperhatian. Meski, saya tidak menafikan, bahwa persoalan radikalisme Islam bukan persoalan yang bisa disepelekan.

Saya tahu, Menag Gus Yaqut tegas. Panglima Banser tidak akan membiarkan radikalisme, tetapi secara spesifik akan membubarkan FPI, saya tidak yakin. Masalahnya bukan tidak berani, tetapi karena ia, hari ini, adalah bagian dari pemerintah, dan pemerintah sayang sekali dengan FPI. Felix Nathaniel mengulas bagian ini dalam esainya di Tirto, Meski Kerap Lakukan Kekerasan, Negara & Para Elite Tetap Sayang FPI.

Sebagai Panglima Banser, Gus Yaqut pasti berani memberantas mereka. Tetapi sebagai bagian dari pemerintah, tunggu dulu. Alasannya tidak perlu dijabarkan. Anda pasti sudah tahu. Jadi, di judul tulisan ini, ketika saya bilang tidak butuh dialog untuk memberantas FPI, pertama boleh jadi karena bukti sudah cukup dan kalau memang mau dibubarkan maka bubarkan saja tanpa dialog lagi, atau kedua, memang tidak butuh dialog, karena faktanya, memang mereka tidak akan dibubarkan. Sekali lagi, tidak akan.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru