31.7 C
Jakarta
Array

Tidak Ada Alasan untuk Tidak Menulis

Artikel Trending

Tidak Ada Alasan untuk Tidak Menulis
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Menulis memang tidak sepenting membaca. Sebagaimana berbicara tidak lebih penting ketimbang mendengarkan. Karena membaca adalah aktivitas menyerap, mengonsumsi, dan menambah isi otak maupun kepekaan nurani. Sementara menulis adalah aktivitas melepaskan, memproduksi, mengeluarkan apa yang kita miliki.

Namun, bukan berarti menulis tidak penting. Menulis itu penting sekali sebagai upaya menyalurkan ide dan pendapat agar menyebar manfaat untuk banyak orang. Terlebih pada zaman kiwari, ketika orang-orang lebih sering menghabiskan banyak waktunya di media sosial. Media di mana tulisan-tulisan menjadi sesuatu paling berperan dan jamak dikonsumsi.

Pada masa lampau, sudah banyak orang menulis. Padahal waktu itu media untuk menulis terbatas. Tidak semudah seperti saat ini. Dulu media menulis paling canggih hanyalah mesin tik. Bahkan, tak jarang yang masih menulis secara tradisional dengan pena dan kertas. Beda sekali dengan sekarang. Kita bisa menulis di mana saja dengan mudah berkat kecanggihan teknologi. Di ponsel, laptop, dan lain sebagainya.

Kita tak perlu jauh-jauh melompat ke masa baheula saat orang-orang masih menulis dengan kulit kayu, tulang-belulang, atau kuneiform. Atau pada zaman ulama-ulama terdahulu seperti Imam Syafi’i dan Imam Bukhari yang mesti menulis dengan lembaran-lembaran kertas kulit yang tidak mudah diperoleh. Cobalah tengok ke masa puluhan tahun silam. Tepatnya pada masa-masa sebelum abad ke-21.

Pada masa itu para pejuang pena—yang berjuang dengan kata-kata—menulis dengan susah payah. Sebut saja sastrawan hebat Indonesia Pramoedya Ananta Toer yang menulis bukunya dengan mesin tik bekas dan sembunyi-sembunyi. Tidak hanya itu, bahkan beliau juga tetap menulis sewaktu dipenjarakan oleh rezim yang sedang berkuasa. Dan beliaulah orang yang berkata, “Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Bukan hanya Pramoedya, ulama sekaligus sastrawan kharismatik Buya Hamka juga melakukan hal serupa. Yakni, tetap menulis meski jasadnya berada di dalam penjara. Saat itu rezim Soekarno menahan Buya Hamka karena perbedaan ideologi. Dua tahun lebih lamanya Buya Hamka dipenjara. Namun, ketika di penjara penulis novel terkenal Tenggelamnya Kapal Van der Wijck itu bukan meratapi nasib atau mengutuk keadaan. Beliau justru berkarya. Beliau menulis kitab Tafsir Al-Azhar yang sangat tebal selama menjalani masa tahanan. Luar biasa, bukan?

Melalui kisah dua orang tersebut di atas, kita bisa mengambil banyak pelajaran. Terutama soal pentingnya berkarya (dalam hal ini menulis) walau bagaimanapun keadaan sedang kita hadapi.

Ketika Pramoedya Ananta Toer menulis novel monumentalnya Tetralogi Pulau Buru, beliau tidaklah sebebas orang-orang pada umumnya. Saat itu satu-satunya sastrawan Indonesia yang sempat masuk nominasi Nobel Sastra tersebut sedang dipenjara. Fasilitas yang beliau miliki dulu juga tak secanggih saat ini. Kendati begitu, beliau tetap giat menulis. Bahkan menghasilkan karya-karya yang bermutu dan berkelas tinggi.

Jadi, sebenarnya tidak ada alasan untuk tidak menulis. Kita bukanlah orang-orang yang sedang menjalani masa tahanan, kita bukan orang-orang buta huruf, dan media-media untuk menulis juga sudah sangat melimpah.

Kita cuma harus menyingkirkan rasa malas dan meluangkan waktu. Lalu bertekad sungguh-sungguh dan menanamkan dalam diri niat yang baik sewaktu menulis. Misalkan kita niatkan menulis agar menebar manfaat bagi banyak orang, menulis untuk melatih kepekaan sosial , untuk mengoptimalkan kemampuan otak, untuk terapi kesehatan, dan lain-lain. Manfaat menulis sangat banyak. Jika disebutkan satu per satu mungkin akan memakan banyak halaman.

Bagi orang-orang yang belum terbiasa menulis atau pemula, barangkali tidak perlu terlalu ngotot atau memaksakan diri. Cukuplah biasakan atau rutinkan menulis tiap harinya (kalau bisa). Tidak perlu banyak-banyak. Misalkan buat jadwal menulis tiap hari satu halaman atau beberapa kalimat. Yang terpenting kita jadikan dulu menulis sebagai habit atau kebiasaan yang telah mengakar dalam diri. Sehingga ke depannya menulis akan menjadi sesuatu hal yang ringan dan mudah kita lakukan semudah kita makan dan minum.

Selain usaha dan latihan terus-menerus, penting kiranya pula berdoa kepada Allah agar dikaruniai kemudahan dalam menulis. Dan, yang tidak kalah penting, juga untuk selalu memperbanyak asupan bacaan. Sebab menulis itu bagaikan mengendarai sebuah kendaraan. Dan membaca adalah bahan bakarnya. Agar kendaraan kita (baca: menulis) dapat melesat cepat dan efektif, tentunya pastikan dulu bahan bakarnya terisi maksimum.

Jadi, selamat membaca dan menulis!

Oleh: Erwin Setia, seorang pembaca yang kadang-kadang menulis, menonton film, jalan-jalan, dan makan enak. Bisa dihubungi melalui surel: erwinsetia2018@gmail.com.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru