28.9 C
Jakarta
spot_img

The Golden Rule: Membumikan Cinta-Kasih Islam Moderat

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuThe Golden Rule: Membumikan Cinta-Kasih Islam Moderat
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Islam yang Mencerahkan dan Mencerdaskan, Penulis: KH. Husein Muhammad, Penerbit: IRCiSoD, Tahun Terbit: 2020, Tebal: 492 Halaman, ISBN: 978-623-7378-062-4, Peresensi: Ahmad Miftahudin Thohari.

Harakatuna.com – Keruhnya toleransi dan kebebasan beragama, khususnya di Indonesia, masih saja sering kita jumpai di mana-mana. Pemandangan yang semestinya segera tergantikan dengan kurukunan dan sikap saling menghormati antarkelompok beragama, juga seluruh elemen masyarakat yang ada.

Memang kita tidak bisa menyangkal bahwa tidak semua orang sama dengan diri kita. Selalu akan ada perbedaan. Kendati demikian, perbedaan seyogianya menjadi ajang kita bersilaturahmi untuk saling menjaga persatuan, bukan mencipta perseteruan.

Belajar untuk menjadi dewasa dalam beragama seakan menjadi hal penting yang harus segera dicapai di dalam percaturan kosakata hubungan silaturahmi keberagamaan di Indonesia. Sebab, beragama secara kekanak-kanakan, sebagaimana sering kita jumpai pula, kerap kali melahirkan sikap fanatis dan intoleran. Orang akan sering saling menghakimi karena merasa paling benar ketika yang menonjol adalah sikap fanatiknya. Maka itu, mari kita mulai tumbuhkan sikap kebijaksanaan yang dewasa—saling memahami dan mengasihi.

Tak ada kelirunya mengambil satu putusan keyakinan yang dipilih. Artinya, orang berhak memilih apa pun keyakinan yang hendak ia imani. Tidak ada paksaan, dan tidak semestinya diperbolehkan memaksa (QS. Yunus [10]: 99).

Kita, manusia, tidak boleh menghakimi dan tidak diperkenankan menghukumi apa yang tidak tampak dalam hati seseorang—yang eksis sebagai pilihan keyakinan itu sendiri. Karena itu, beragama adalah ruang intim masing-masing individu, di mana individu lain tak semestinya ikut campur, apalagi menghukuminya.

Dalam teori hukum, hukuman hanya boleh dikenakan ketika ada kasus yang terbukti secara konkret-empiris. Keputusan pilihan keyakinan yang eksis dalam diri seseorang tak semestinya kita hakimi dan hukumi, selama ia tak melakukan sesuatu yang terbukti secara konkret-empiris berhak untuk kita beri hukuman—misalnya, membunuh.

Sekali lagi, keyakinan adalah ruang intim. Kita tak berhak menghukuminya. Sebaliknya, justru kita mesti menghormati dan menghargai keputusan seseorang dalam beragama.

Ada satu kisah selaras akan pentingnya menghargai pilihan keyakinan seseorang, yang dikutipkan KH. Husein Muhammad dalam bukunya Islam yang Mencerahkan dan Mencerdaskan (2020). Suatu ketika Usamah bin Zaid diutus Nabi Saw. mendatangi komunitas Juhainah. Tatkala Usamah datang ke komunitas tersebut, ia lalu menghunuskan pedangnya. Mungkin saking takutnya, salah seorang di antara mereka lalu mengucap kalimat “La ilaha illallah.”

Tapi, Usamah tetap menusuknya, dan orang tersebut terbunuh. Diceritakanlah sendiri peristiwa tersebut kepada Nabi. Lalu, Nabi Saw. merespons, “Apakah kamu telah membunuhnya, padahal ia sudah bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah?,” Usamah menjawab, “Wahai Rasulullah, ia mengucapkannya (hanya) untuk melindungi diri.” Kemudian Rasulullah mengatakan, “Apakah kamu sudah membelah hatinya?” (h. 83-84).

Kisah tersebut hanyalah satu dari sekian banyak kisah yang dikutipkan dalam bukunya itu. KH. Husein Muhammad melalui bukunya tersebut, agaknya juga merasakan keresahan yang sama tatkala melihat kenyataan beragama, di Indonesia khususnya, yang penuh dengan tindak-tindak intoleran, penuh pemaksaan, bahkan kekerasan.

Sehingga, melalui buku tersebut, KH. Husein mencoba merespons dengan menyuguhkan kembali kisah dan narasi-narasi ideal mengenai makna Islam sebagai agama yang penuh kasih kedamaian dan kemanusiaan—dengan figur Nabi Muhammad Saw. yang adalah teladan kemanusiaan itu sendiri.

Islam dan Ekstremisme Kekerasan

Tiga topik utama yang menjadi kosakata paling jamak kita jumpai dan diperbincangkan dalam gelanggang persoalan keberagamaan di dunia, termasuk Indonesia, adalah kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB), pluralisme, serta toleransi.

Bahkan, Konferensi Organisasi Islam (OKI), di Dakar, Senegal, pada 13-14 Maret 2008 silam menjadikan tiga topik tersebut sebagai bahasan utama. Dalam konferensi tersebut, ada 57 negara Islam yang sengaja menggelarnya sebagai upaya untuk menghapus fobia terhadap Islam.

Kita sendiri tahu, dan ini pula yang ditulis KH. Husein, bahwa fakta stereotipe Islam dalam beberapa tahun belakangan mendapatkan citra amat buruk akibat adanya aksi-aksi intoleran dan ekstremisme kekerasan oleh sebagian kaum Muslim atas nama agama (h. 57).

Radikalisme, ekstremisme, juga hate speech yang dilakukan atas nama agama menjadi borok bagi citra Islam yang merusak nilai-nilai kemanusiaan. Persis dituliskan KH. Husein, “Hari ini dunia sedang dihadapkan pada problem besar relasi antarmanusia yang mengancam dan berpotensi menghancurkan masa depan kemanusiaan. Problem kemanusiaan itu ialah munculnya gerakan radikalisme, ekstremisme kekerasan, dan hate speech yang dilakukan atas nama agama” (h. 149).

BACA JUGA  Iman yang Rapuh dan Beragama karena Keturunan: Belajar Hikmah dari Novel

Padahal, kita tahu bahwa agama-agama selain Islam pun, termasuk dalam pandangan etika mana pun, tak pernah membenarkan adanya teror, penindasan, dan kekerasan yang boleh dilakukan kepada manusia, siapa pun itu. Bahkan sebaliknya, mengecam keras praktik-praktik tersebut. Tidak ada agama yang tidak membawa misi kemanusiaan. Bahkan, Islam sendiri sangat tinggi menghargai hak dan martabat hidup manusia—meski kepada yang bukan sesama Islam sekalipun.

Tak ada dalam Islam bahwa atas nama “jihad” seseorang berhak merampas hak hidup orang lain. Sangat tidak masuk akal “jihad” dengan berlandaskan asas Islam sebagai agama damai justru merusak kedamaian itu sendiri—bahkan merusak kemanusiaan yang menjadi visi utama diturunkannya Nabi Muhammad Saw. Tentu saja, kita boleh dan berhak resah akan hal kemungkaran maupun kemaksiatan yang terjadi, tetapi apakah kemudian kita berhak merampas hak hidupnya dengan melakukan tindak kekerasan bahkan sampai meledakkan bom?

Bahkan, dalam “jihad” versi lain, sebagaimana dilakukan oleh kelompok Wahabi dengan gerakan puritanismenya: apakah jihad juga berarti upaya untuk memberangus seluruh pikiran, perilaku, dan tindakan kebudayaan rakyat tertentu yang dianggap menyimpang dan tidak sesuai syariat Islam?

Pada akhirnya, pandangan-pandangan Wahabisme semacam itu justru mengantarkan mereka pada aksi-aksi kekerasan pula terhadap pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok yang tidak sejalur dan segaris dengan ideologi keagamaan milik mereka.

Sehingga, dengan demikian, mereka seolah berhak melakukan tindak pembongkaran atau penghancuran kuburan, artefak kebudayaan, termasuk karya seni warisan kesejarahan dan kebudayaan masyarakat setempat. Alhasil, versi “jihad” semacam itu akhirnya malah menjadi ideologi dengan misi mendirikan sebuah negara otoritarian gaya baru (h. 384).

Mengembangkan Nalar Moderat dan The Golden Rule

Apa yang mesti dilakukan? Pada akhirnya, sebagaimana ditulis KH. Husein, apa pun yang terjadi, tetap saja: radikalisme, ekstremisme kekerasan, dan hate speech harus terus dilawan dan tidak boleh dibiarkan terus menyebar (h. 159). Menurutnya, cara terbaik untuk melawan hal-hal tersebut adalah dengan terus-menerus mengembangkan dan menyebarkan nilai-nilai humanisme Islam, yang antara lain nalar Islam moderat dan penuh toleransi.

Islam, sesungguhnya, adalah agama moderat, toleran, dan anti-kekerasan. Terdapat banyak sekali teks keislaman yang menyerukan manusia untuk berpikir, bersikap, dan bertindak toleran dan moderat (h. 160). Maka itu, the golden rule yang mesti dijalankan adalah menghubungkan kembali jalinan cinta antarsesama manusia. Bagi KH. Husein, cinta dan kasih adalah visi utama atau cita-cita tertinggi dari semua agama, etika kemanusiaan, dan tradisi spiritual sepanjang zaman (h. 9).

Sehingga, tak ada lagi atas nama agama, tak ada lagi atas nama “Tuhan”, orang lantas berhak melakukan tindak kekerasan untuk merusak dan membunuh kemanusiaan. Kita mesti menyadari, para utusan Tuhan, baik yang disebutkan dalam kitab suci maupun yang tidak, dihadirkan untuk menjalankan tugas-tugas kemanusiaan. Apa itu? Adalah membebaskan penderitaan umat manusia dari adanya sistem penindasan baik secara kultural maupun struktural, dan menebarkan cahaya ilmu pengetahuan serta keadilan. Prinsip utama visi ini: “engkau adalah aku” dan “aku adalah engkau” (h. 10).

Itulah the golden rule yang mesti sukses kita jalankan, membawa kembali visi Islam ke jalan awalnya: kemanusiaan. Islam yang penuh cinta kasih. Ini juga berarti, kita tak boleh melakukan perlawanan terhadap radikalisme, ekstremisme kekerasan, maupun hate speech dengan cara kekerasan pula. Kita harus melawan semua itu dengan cara kita sendiri: cinta-kasih dan kemanusiaan.

Sebab kita tahu, keburukan hanya akan menumbuhkan bibit kebencian dan permusuhan baru. Cinta dan kebaikanlah yang akan menghasilkan buah kedamaian dan kemanusiaan. Maka itu, kita mesti melawannya dengan cinta dan kebaikan. Seperti kata Martin Luther King Jr., dikutip KH. Husein, “kegelapan tidak bisa mengusir kegelapan. Hanya cahaya yang bisa melakukannya. Kebencian tidak akan bisa menghapus kebencian, hanya cinta yang mampu melakukannya.” (h. 159).

Ahmad Miftahudin Thohari
Ahmad Miftahudin Thohari
Peminat kajian filsafat, kebudayaan dan sosiologi. Aktif di komunitas Dianoia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru