25.7 C
Jakarta

Terpenjara Soal Cinta

Artikel Trending

KhazanahOpiniTerpenjara Soal Cinta
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Aku Vera Bella Tri Davinda. Lumayan namaku kepanjangan. Begitu kesan temen-temenku di sekolah. Aku belum tahu kronologis papa dan mama ngasih nama sepanjang itu. Memang aneh. Rata-rata temenku dikasih nama paling banyak dua kata.

Aku nggak peduli komentar temen-temen yang suka ngeledekin aku karena namaku yang kepanjangan. Biarlah. Masih banyak yang ngedukung aku, termasuk orangtuaku sendiri.

Temen-temen suka manggil aku Vera. Entahlah. Mereka senang manggil Vera, karena sebutan ini terdengar indah.

Di rumah aku suka bareng mama dibandingkan papa. Mungkin, karena mama lebih friendly dibandingkan papa. Kendati begitu, aku tetap mencintai papa, karena ia yang banting tulang biayain aku sekolah.

Buku Terbaru Khalilullah Bertema “Mengintip Senja Berdua”Di usia tujuh tahun rasa keingintahuanku begitu tinggi, lebih-lebih soal cinta. Mama kadang kesulitan ngejawab celotehanku. Tapi, aku beruntung punya mama yang sabar ngejawab pertanyaan demi pertanyaan.

“Tuhan itu siapa, Mam?” ketusku.

Mama menggerutkan dahi seakan memilihkan kosakata simpel untuk menjelaskan soal Tuhan. “Tuhan itu yang menciptakan manusia, Nak, termasuk Vera,” katanya.

“Tuhan itu seperti apa?”

Seperti apa ya? Mama berdesis.

“Tuhan tak terindera, Nak. Ya, tak seperti apa-apa.”

Papa geleng kepala mendengar pertanyaan Vera yang terkesan polos. Papa memilih diam sembari menyeruput kopi di atas meja.

“Kenapa ada Vera di dunia, Mam?”

“Itu takdir, Nak.”

“Apa itu takdir?”

“Kehendak Tuhan.”

“Tuhan itu hebattt.”

Mama tersenyum melihat Vera jingkrak.

“Sarapan dulu yuk! Sudah jam tujuh.”

Masakan mama terlihat segar. Kata papa, masakan mama lebih enak dari masakan warung sebelah. Tak ayal, papa lebih sering makan di rumah daripada beli di luar.

BACA JUGA  Memahami Toleransi Beragama dalam Kerangka Filsafat Politik Abad Pertengahan

Di tengah sarapan, Vera mulai tanya lagi. “Tuhan itu baik ya Mam?”

Mama mengangguk.

“Tuhan mencintai makhluk-Nya.” Papa tiba-tiba ikut bersuara.

“Cinta.” Vera berdesis sembari garuk kepala seakan merumuskan sesuatu di kepalanya.

“Papa tahu cinta?” Vera seketika tanya.

Papa diam seakan tidak menghiraukan.

“Papa, papa, papa.” Vera memangilnya.

“Ma, jelasin.”

“Cinta itu menyenangkan.”

“Hm… kalo Vera senang belajar, berarti Vera cinta seperti Tuhan cinta makhluk-Nya.”

“Benar, Nak.”

Air gelas di atas meja diteguknya. Suap demi suap nasi tertelan seakan tak terasa satu piring habis.

Vera belum bisa makan sendiri. Senangnya disuapin mama.

“Ma, ada temenku di sekolah yang broken-home, apakah papa-mamanya tidak cinta?”

Mama terdiam.

“Berarti mereka tidak cinta,” tambah Vera.

“Cinta, tapi tidak jodoh.”

“Berarti cinta jahat, Ma.”

“Tidak, Nak. Cinta membahagiakan.”

“Kok mereka bertengkar?”

Mama terdiam.

Vera belum puas mendengar jawaban mamanya. Mama sendiri kebingungan ngebahas soal cinta dengan buah hatinya yang masih kecil. Belum waktunya Vera ngomongin cinta.

Diamnya mama, lebih-lebih papa, pada hakikatnya jawaban. Saat besar nanti Vera akan mengerti sendiri kenapa semua pertanyaan Vera ada yang tidak terjawab seperti pertanyaan yang lain.

Cinta serba teka-teki. Semakin menyelam, semakin karam. Para pencinta tidak bakal sampai di dasar cinta, sehingga menemukan jawaban yang final.

Vera akhirnya berangkat sekolah. Ransel mungil digendongnya. Tak terasa sinar matahari meninggi.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru