Harakatuna.com. Jakarta – Pengamat teroris yang juga mantan pimpinan Jamaah Islamiyah, Nasir Abbas meminta pemerintah khususnya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) lebih aktif blokir situs dan akun media sosial yang menyebarkan paham radikal. Ia menilai pemerintah selama ini kurang tegas.
“Saya melihat kurang tegasnya pemerintah maksudnya kurang banyak memblokir, saya harap Kominfo rajin blokir situs, media sosial atau apa saja konten yang berisi radikalisme atau yang mengarah terorisme, itu harus segera diblokir,” ujarnya dalam diskusi webinar dari The Center for Indonesian Crisis Strategic Resolution (CICSR) bertajuk Intoleransi dan Ekstremisme di Media Sosial, Minggu (14/2)..
“Kalau pun mereka bentuk baru, hilang satu tumbuh seribu, tidak masalah biar seribu muncul lagi kita blokir lagi,” tambahnya.
Media sosial, website, Youtube, dan akses daring lainnya mampu menjadi sarana penyebaran paham radikalisme. Penyebaran ini telah menjadi lahan kelompok tertentu yang terafiliasi dengan terorisme. Ia pun membandingkan pengalamannya saat menjadi pimpinan Jamaah Islamiyah dulu.
Menurutnya, mereka selalu mencari cara untuk memuluskan gerakan karena belum ada fasilitas internet. Namun, saat ini penyebarannya semakin mudah lantaran ada internet, sehingga pemerintah harus berpacu dengan kecepatan menekan penyebaran paham radikalisme itu.
“Coba sekarang buka Google, mencari konten wajib jihad, atau dalil wajib tegakkan negara Islam, semua ada. Jadi, hal tersebut masih tersedia, selama konten atau website itu tidak pernah dihapus pemerintah, maka itu peluang (penyebaran paham radikalisme),” tuturnya.
Blokir Situs Ormas Radikal Sebagai Opsi Pemberantasan Terorisme
Dalam kesempatan yang sama, Pakar Terorisme Noor Huda Ismail menilai pencegahan secara daring (online) itu penting. Namun juga harus bersamaan dengan penanganan secara luring (offline). Pasalnya, muara penyebaran paham radikalisme juga banyak memanfaatkan cara-cara offline.
Menurut dia, salah satu cara efektif memerangi penyebaran paham radikalisme adalah membangun narasi untuk meluruskan ajaran radikalisme tersebut. Upaya ini, kata dia, bisa melibatkan eks terorisme.
“Bagaimana lawan narasi online? itu betul, tapi kalau yang saya pilih adalah critical voice orang yang sudah pernah terlibat terorisme itu, baik online dan offline itu yang kami jadikan untuk melawan narasi tersebut,” katanya.
Berkaitan dengan penanggulangan terorisme, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE). Pembentukan RAN PE adalah untuk merespons tumbuh kembang ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah terorisme.
Menanggapi Perpres RAN PE tersebut, Noor Huda menyambut baik. Namun, ia menggarisbawahi agar pelaksanaan Perpres tersebut efektif melalui koordinasi yang tepat dari semua pihak.
“Saya senang sekali niatannya yang terbukti dalam legal formal dalam artian kita akan melaksanakan penanganan ini bersama-sama. Cuma satu hal yang sederhana, yang sebetulnya mudah dalam konsep tapi sulit dalam pelaksanaanya,” tuturnya.