28.9 C
Jakarta
spot_img

Terorisme Lokal versus Global: Mengapa Gerakan Teror dalam Negeri Sulit Dipadamkan?

Artikel Trending

KhazanahOpiniTerorisme Lokal versus Global: Mengapa Gerakan Teror dalam Negeri Sulit Dipadamkan?
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dalam konteks ketegangan global yang semakin meningkat, terorisme telah berevolusi menjadi ancaman yang semakin kompleks. Fenomena ini tidak hanya terlihat pada aktor internasional, tetapi juga pada gerakan terorisme yang berkembang pesat pada tingkat lokal. Indonesia, yang kaya akan keragaman budaya dan sosial, tidak luput dari tantangan ini.

Terorisme lokal, yang memiliki akar yang sangat dekat dengan komunitas, menghadirkan tantangan tersendiri bagi pemerintah dan aparat keamanan dalam penanggulangannya. Pertanyaan yang muncul adalah, mengapa gerakan teror di dalam negeri sulit untuk diberantas meskipun berbagai upaya telah dilakukan? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dilakukan eksplorasi lebih mendalam mengenai perbedaan dan hubungan antara terorisme lokal dan global serta faktor-faktor yang menjadikan terorisme lokal sangat sulit untuk diberantas.

Terorisme global, sebagaimana dipahami melalui kelompok-kelompok seperti Al-Qaeda atau ISIS, telah menjadi fenomena yang diakui secara internasional. Organisasi-organisasi tersebut menggunakan ideologi transnasional yang berpura-pura mewakili agama atau gerakan global tertentu untuk meradikalisasi individu di berbagai belahan dunia. Dalam banyak hal, gerakan ini bertujuan untuk menyebarluaskan kekerasan dengan harapan menciptakan ketakutan global yang dapat memengaruhi politik internasional atau mengubah tatanan dunia. Mereka memiliki jaringan yang sangat luas dan mampu merekrut individu di luar batas negara.

Di sisi lain, terorisme lokal sangat berbeda. Meskipun kadang-kadang terinspirasi oleh ideologi yang lebih besar, gerakan teror lokal berakar kuat pada masalah internal yang dihadapi oleh negara tertentu, seperti ketidakadilan sosial, ketimpangan ekonomi, atau bahkan masalah politik domestik yang rumit. Gerakan itu sering terbentuk sebagai reaksi terhadap ketidakpuasan yang dirasakan terhadap pemerintahan atau sistem yang ada, yang dianggap tidak mewakili kepentingan atau nilai-nilai lokal.

Faktor Sosial-Ekonomi yang Mendorong Terorisme Lokal

Salah satu alasan utama mengapa terorisme lokal sulit untuk diberantas adalah faktor sosial dan ekonomi yang mendasarinya. Ketimpangan sosial, marginalisasi kelompok tertentu, dan tingkat pengangguran yang tinggi dapat menciptakan lingkungan yang subur untuk radikalisasi. Di sejumlah daerah, terutama di wilayah terpencil atau kurang berkembang, ketidakadilan sosial menimbulkan perasaan frustrasi yang mendalam. Generasi muda yang merasa kehilangan harapan akan masa depan mereka menjadi target empuk bagi kelompok yang menawarkan solusi dengan janji perubahan yang revolusioner.

Selain itu, faktor ekonomi juga memperburuk situasi. Ketika banyak individu merasa terpinggirkan atau tidak memiliki akses yang memadai terhadap peluang ekonomi, mereka menjadi lebih rentan terhadap propaganda radikal yang mengusulkan cara-cara ekstrem untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Perasaan teralienasi dan kekecewaan terhadap pemerintahan yang tidak mampu memberikan solusi yang nyata mendorong individu untuk mencari alternatif yang lebih ekstrem. Inilah yang membuat terorisme lokal sangat sulit untuk diberantas, karena akar permasalahannya terletak pada ketimpangan yang berkepanjangan dan terus-menerus terulang.

Pengaruh Jaringan Sosial dan Ideologi Lokal

Terorisme lokal juga sangat dipengaruhi oleh jaringan sosial dan ideologi yang lebih terlokalisasi. Dalam banyak kasus, gerakan teror tidak dimulai dengan seruan-seruan global, tetapi melalui kelompok-kelompok kecil yang memiliki ikatan kuat dengan masyarakat lokal. Di beberapa kawasan, kelompok-kelompok ini mungkin beroperasi dalam bayang-bayang, melakukan rekrutmen secara diam-diam melalui jaringan-jaringan sosial yang telah ada.

Pengaruh keluarga, teman dekat, atau bahkan tetangga dapat menjadi pintu masuk bagi ideologi ekstrem. Hal ini membentuk perspektif yang lebih lokal dan sangat pribadi, sehingga individu merasa lebih terhubung dengan gerakan yang mereka pilih. Dalam banyak kasus, mereka meyakini bahwa gerakan teror adalah cara mereka untuk “membela” komunitas mereka sendiri atau menegakkan keadilan menurut pandangan mereka, meskipun dengan cara yang penuh dengan kekerasan.

BACA JUGA  Pluralisme dan Humanisme: Meneruskan Spirit Gus Dur untuk Indonesia

Radikalisasi yang Berjalan Lambat dan Terselubung

Salah satu karakteristik terorisme lokal adalah proses radikalisasi yang berlangsung lambat dan terselubung. Berbeda dengan gerakan terorisme global yang sering mengandalkan propaganda masif melalui media internasional atau jejaring sosial, radikalisasi dalam konteks lokal berlangsung secara bertahap, dengan pendekatan yang lebih personal. Radikalisasi dapat terjadi di lingkungan keluarga, komunitas, atau bahkan dalam konteks pendidikan yang terkontaminasi oleh ideologi ekstrem.

Lambatnya proses ini menyebabkan deteksi dini terhadap potensi ancaman terorisme menjadi sangat sulit. Individu yang terpapar ideologi ekstrem tidak serta merta terlibat dalam aksi teror, tetapi melalui perubahan sikap dan cara pandang yang lebih berbahaya. Karena itu, dalam menghadapi teroris lokal, bukan hanya aparat keamanan yang perlu waspada, tetapi masyarakat juga harus mampu menciptakan jaringan pemantauan sosial yang sensitif terhadap tanda-tanda radikalisasi yang mungkin muncul di sekitar mereka.

Ketidakmampuan Aparat dalam Menangani Isu Struktural

Pemerintah dan aparat keamanan di banyak negara, termasuk Indonesia, terfokus pada aspek reaktif dalam menanggulangi terorisme lokal. Penindakan yang dilakukan berfokus pada pemusnahan jaringan teror atau penangkapan individu-individu yang terlibat langsung dalam aksi teror. Meskipun langkah tersebut penting, ia tidak menyentuh akar masalah yang lebih dalam, yaitu ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik yang mendasari terorisme lokal.

Selain itu, ketegangan politik domestik yang terjadi di dalam negeri juga memperburuk situasi. Kepentingan politik yang bertentangan dengan isu-isu sosial membuat penyelesaian yang lebih holistik terhadap akar permasalahan terorisme menjadi semakin sulit dicapai. Pemerintah yang terpecah dan tidak memiliki kesepahaman dalam menangani masalah ini tidak memiliki kebijakan yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan sosial dan ekonomi, yang justru memperburuk radikalisasi di kalangan kelompok-kelompok marginal.

Menghadapi Tantangan Terorisme Lokal

Untuk menghadapi tantangan terorisme lokal yang semakin kompleks ini, dibutuhkan pendekatan yang lebih komprehensif dan inklusif. Terorisme lokal tidak dapat hanya dihentikan dengan penggunaan kekuatan militer atau penangkapan saja. Pemerintah perlu bekerja sama dengan berbagai sektor, baik sosial, ekonomi, maupun pendidikan, untuk memperbaiki ketimpangan yang ada. Pemberdayaan ekonomi di wilayah-wilayah yang rentan terhadap radikalisasi harus menjadi prioritas, di samping peningkatan akses pendidikan yang inklusif.

Lebih lanjut, pendekatan deradikalisasi yang lebih berbasis pada pemulihan sosial dan psikologis juga perlu diperkuat. Masyarakat juga harus dilibatkan dalam usaha pencegahan radikalisasi, jangan bergantung pada kekuatan aparat belaka. Dengan demikian, kita dapat mengurangi daya tarik dari kelompok teror dan memberikan alternatif yang lebih damai bagi mereka yang terjebak dalam lingkaran ekstremisme.

Kita semestinya sepakat, bahwa terorisme lokal tidak merupakan suatu permasalahan yang dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang singkat, terutama jika penanganannya hanya bergantung pada tindakan represif semata. Fenomena terorisme lokal memiliki akar yang dalam pada permasalahan sosial, ekonomi, dan politik. Karena itu, diperlukan kolaborasi yang solid antara pemerintah, masyarakat, serta sektor-sektor lainnya untuk menciptakan solusi komprehensif. Hanya melalui itulah, kita dapat menghadapi tantangan terorisme lokal yang semakin kompleks.

Moh. Kadafi
Moh. Kadafi
Menulis esai dan cerpen, alumni MA Al-Kautsar, Pagerungan Besar, Sumenep. Saat ini menjadi mahasiswa Teknik Informatika salah satu kampus di Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru