27.9 C
Jakarta

Terorisme Itu Sangat Dekat! Terorisme Itu Musuh Bersama!

Artikel Trending

Milenial IslamTerorisme Itu Sangat Dekat! Terorisme Itu Musuh Bersama!
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Terorisme menjadi topik yang kerapkali dibahas; dalam diskusi, dalam esai-esai, atau tulisan lepas dari para intelektual tanah air. Program kontra-terorisme juga cukup kuat, bahkan menjadi program prioritas pemerintah. Tetapi, apakah benar terorisme sudah musnah? Dan karena aksi teror sudah jarang terjadi, apakah terorisme masih disebut mengancam? Apakah terorisme sudah jauh, dan apakah ia masih merupakan musuh bersama yang sangat dekat dan harus dibasmi?

Profesor Nadirsyah Hosen dalam artikelnya, Siapa Kelompok Radikal Itu?, singkat mengidentifikasi bahwa kelompok radikal itu ada tiga. Pertama, kaum takfiri, mereka radikal dalam keyakinan. Kedua, kelompok jihadis, mereka radikal dalam tindakan. Ketiga, kelompok yang hendak mengganti ideologi, Pancasila jadi khilafah, mereka radikal dalam politik. Varian kelompok radikal tersebut, kata Prof Nadir, harus dipahami betul, sehingga kontra-terorisme menggunakan cara yang efektif.

Dalam Radikalisme, Makhluk Apakah Itu?, Mun‘im Sirry mengkritik narasi kontra-terorisme musabab kesalahan dari bagaimana orang memahami makna terorisme itu sendiri. Mengaitkan terorisme dengan hal-hal problematis dianggapnya sebagai kesalahan premis. Radikalisme dan terorisme, kata Mun‘im, adalah dua hal yang tidak selalu sama. Tidak semua teroris mengetahui ideologi radikal, dan tak sedikit orang bersimpati dengan ideologi jihadis, meski ia sendiri tak terlibat dalam aksi kekerasan.

Memerangi Terorisme

Ada, setidaknya, beberapa hal yang dijadikan buku catatan pemerintah dalam menghadapi terorisme. Pertama, penguatan moderasi beragama di sekolah dan perguruan tinggi keagamaan Islam. Kedua, memastikan tidak ada peserta didik atau mahasiswa terpapar paham keagamaan ekstrem. Ketiga, paham teror tidak hanya dikonotasikan untuk agama Islam, melainkan mencakup semua agama. Keempat, mengajak tokoh untuk bersama menciptakan NKRI damai.

Optimalisasi pemahaman keagamaan moderat dalam dunia pendidikan ditempuh dengan cara perombakan kurikulum. Setiap instansi pendidikan agama dimonitor untuk tidak mengajarkan paham eksklusif, yang bertendensi kafir-mengafirkan. Terutama di madrasah, penyusunan ulang pelajaran agama diproyeksikan untuk menciptakan sikap terbuka atas keberagaman. Bagaimana jihad dipahami, umpanya, harus mengarah positif, menghindari lahirnya kekerasan.

Pemerintah juga menegaskan bahwa media sosial memiliki potensi atas lahirnya paham teror. Oleh karena itu, setiap masyarakat diupayakan terhindar dari indoktrinasi terorisme yang menyebar melalui dunia maya. Selain itu, penting dicatat, terorisme tidak berafiliasi dengan agama tertentu. Semua pemeluk agama bertendensi memiliki pandangan radikal, karena sikap eksklusif dalam keberagamaan mereka. Narasi kedamaian juga jadi bagian penting yang tak bisa dipisahkan.

BACA JUGA  Riak-riak Kaum Radikal-Populis di Tengah Putusan MK

Bahwa terorisme itu nyata, dekat dengan kita, adalah sesuatu yang benar adanya. Tidak ada yang bisa menyangkal fakta memilukan tersebut. Sayangnya, saking seringnya dipakai, term ‘terorisme’ seakan menjadi distorsif. Rasa-rasanya jemu mendengar kata terorisme. Tetapi bagaimanapun ia tetap wajib diperangi. Masifnya terorisme memang membuat upaya kita seringkali terasa sia-sia, tetapi sikap lengah amatlah buruk untuk keutuhan bangsa.

Perkara ada kejadian teror yang individualistik, itu tidak lantas mengindikasikan kekaburannya dari semaian radikalisme. Bagaimanapun, radikal dan teror sama-sama akibat, meski teror juga bisa terjadi disebabkan kesenjangan ekonomi, kecemburan sosial dan sebagainya. Artinya, teror lebih umum, karena radikalisme secara konotatif identik dengan keagamaan, atau tentang bagaimana sikap seseorang pada keberagaman, di tengah minimnya pengetahuan mereka tentang agama.

Menuju Deradikalisasi

Betapapun barangkali kita lelah dengan terorisme, yang tampaknya sukar diberantas, tidak lantas menegasikan kita atas deradikalisasi itu sendiri. Bahwa pemberantasan mesti bertolak dari akar, dari sebab sikap radikal tersebut, memang benar. Tetapi ramai-ramai mengatakan bahwa terorisme adalah perdebatan tak bermutu, atau cenderung politis, adalah sikap yang kontraproduktif. Segala upaya harus ditempuh, meski tak berlangsung secara instan, namun gradual.

Ikhtiar panjang deradikalisasi mencerminkan kompleksitas terorisme. Narasi tandingan akan terus berdatangan, dan penting dicatat, itu adalah bagian inheren dari radikalisasi tersebut. Salah satu yang bisa ditempuh ialah pendidikan akan keberagaman. Indoktrinasi dalam pendidikan seringkali langsung mengena mindset dasar seseorang, sehingga berjalan sendiri, seakan itu bukanlah terorisme. Atau seakan mereaka tak sedang jadi korban.

Yang terpenting pula untuk dicatat, yaitu tentang potensi self-deradicalization. Bagaimanapun, para milenial terutama, sebagai kalangan newbie kebaragamaan tak akan bertahan lama. Mereka menyebut itu sebagai dinamika zaman, yang harus beriringan dengan tren tertentu. Musim hijrah, misalnya, akan menjadikan mereka terjerumus indoktrinasi. Tetapi pada saat bersamaan, mereka bisa memutuskan tentang mana yang baik dan mana yang mengancam NKRI.

Ikhtiar panjang deradikalisasi pasti mengalami ragam kendala, tetapi sekali lagi, betapapun kita jemu mendengarnya, mengkonter tetaplah keharusan. Yang namanya ikhtiar, semua langkah dicoba oleh pemerintah. Sikap kita adalah mendukung, mengapresiasi proyek deradikalisasi, sebagaimana pernah saya ucap dalam artikel sebelumnya. Semua harus berkompromi. Muhammadiyah dan NU mengonter secara wacana, dan pemerintah memberantas konkret terorisme itu sendiri.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru