Harakatuna.com – Dalam rangka lawatan ke pelajar Indonesia di Melbourne, Australia, Sabtu (16/9) kemarin, Kepala BNPT Rycko Amelza Dahniel mengatakan bahwa hari-hari ini perlu ada kewaspadaan bersama terkait fenomena radikalisasi online yang membuka jalan terorisme individuak, yang lumrah disebut lone wolf. Pola ini, menurut Rycko, menyasar remaja, anak, dan perempuan, sekaligus menjadi tantangan terkini yang mesti diwaspadai umat Muslim dan seluruh masyarakat.
“Kemajuan teknologi informasi mendorong semakin masifnya online radicalization yang melahirkan self-radicalization dan juga lone wolf, sekalipun angka nilai toleransi meningkat disebabkan menyusutnya kelompok intoleran pasif yang pada tahun 2016 sebesar 35,7% menjadi 22,4% di tahun 2023,” ujar Rycko.
Kabar dari BNPT tersebut sebenarnya tidak mencengangkan. Sejak kejadian di Mabes Polri tahun lalu, yakni teroris lone-wolf Zakiah Aini, sinyal transformasi gerilya terorisme menemukan bukti konkretnya. Ada kecenderungan bahwa teroris masa kini tidak lagi terpaut oleh gender—patriarki. Banyak perempuan yang secara suka rela menjadi teroris individu, tanpa terikat kelompok teror manapun, dan memperoleh doktrin melalui internet.
Artinya, ‘tantangan terkini’ yang dimaksud tidak dalam rangka memandang terorisme individual sebagai sesuatu yang ujug-ujug. Pata teroris mempelajari kebijakan negara dan melakukan penyesuaian dalam aksi-aksi mereka. Umat Muslim dan masyarakat Indonesia secara umum, pada saat bersamaan, masih minim literasi terorisme. Itulah yang membuat masalah terorisme individual semakin complicated. Tidak sedikit yang masih meragukan ancamannya.
Karenanya mencegah preseden buruk terorisme individual adalah sesuatu yang wajib tanpa tawar. Kontra-terorisme dapat bergerak ke arah penyelamatan umat dari propaganda teror daring—baik melalui Facebook, YouTube, TikTok, dlsb—untuk meminimalir potensi terorisme individual. Dan ini jelas tidak sesederhana yang dibayangkan. Faktor pemicu dan pengaruh, serta penanggulangannya mesti diketahui bersama dan merumuskan regulasi yang semestinya.
Pemicu dan Pengaruh
Terorisme kerap dikaitkan dengan kelompok terorganisir yang melaksanakan serangan ke target melalui strategi tertentu yang sistematis. Namun, terorisme individual merupakan fenomena di mana individu yang bekerja sendirian, tanpa bantuan kelompok terorisme yang lebih besar, melakukan tindakan terorisme. Berikut adalah penjelasan tentang lone wolf terrorisme termasuk definisi, aspek pemicu, faktor pengaruh, sasaran aksi, dan cara penanggulangannya:
Terorisme individual merujuk pada serangan teror yang pelakunya independen tanpa afiliasi atau bantuan dari kelompok teroris seperti JI dan JAD kalau di Indonesia. Mereka menyerang sendirian, tanpa mengungkapkan niat atau rencananya kepada siapa pun. Biasanya mereka meninggalkan surat, bersama diri mereka, yang terindentifikasi ketika dirinya sudah tewas. Isi wasiat itu, lumrahnya, ucapan perpisahan dan alasan ia melakukan serangannya.
Sedikitnya tiga faktor memicu dan memengaruhi semarak terorisme individual. Pertama, ideologi ekstremis. Teroris individual selalu terinspirasi oleh ekstremisme, baik dalam aspek politik, agama, atau supremasi rasial. Mereka memandang serangan yang dilakukannya sebagai cara memajukan atau mempertahankan keyakinan mereka. Doktrin-doktrin seperti thaghut, bughat, dan takfir memenuhi kepala mereka dan melahirkan keberanian yang naif.
Kedua, isolasi sosial. Ada perpeloncoan di kalangan masyarakat bahwa pelaku terorisme individual biasanya berkepribadian introvert. Ia merasa terisolasi dari masyarakat, tidak punya ikatan sosial yang kuat, sehingga rentan terlibat propaganda daring untuk melampiaskan kekecewaannya melalui kekerasan dan teror. Isolasi sosial ini dipicu dan dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti kondisi ekonomi, strata sosial, hingga alienasi politik.
Ketiga, propaganda daring. Internet—media sosial—memantik diseminasi propaganda radikalisme dan terorisme dengan cepat. Teroris individual atau pelaku lone wolf kerap terpapar konten ekstremis online yang kemudian mendestruksi pikiran mereka: melahirkan kebencian terhadap rezim, aparat, bahkan sesame umat Muslim. Namun demikian, sasarannya tetap variatif seperti fasilitas publik, simbol-simbol nasionalisme, maupun kantor pemerintahan.
Mewaspadai dan Menanggulangi
Menarik dicatat bahwa terorisme individual merupakan ancaman yang sulit dideteksi. Sebab, pelakunya tidak punya jejak organisasi yang dapat dipantau—bahkan oleh aparat intelijen sekalipun. Maka, kerja sama antara pemerintah, lembaga keamanan, dan masyarakat sangat urgen untuk mengidentifikasi dan mencegah serangan terorisme individual. Mewaspadai artinya menanggulangi, yakni menutup peluang kemungkinan buruk tersebut terjadi.
Apakah benar intelijen tidak dapat mengendus gerakan terorisme individual? Tidak juga. Tergantung intensitas. Artinya, peningkatan kemampuan intelijen dan pemantauan online harus dilakukan segera, untuk membantu identifikasi umat dan seluruh masyarakat yang berpotensi menjadi terorisme lone wolf. Namun tugas ini eksklusif—masyarakat tidak perlu merisaukannya. Hanya perlu komitmen intelijen Intelkam Polri, BAIS TNI, hingga BIN untuk melakukannya.
Pada saat yang sama, peningkatan pendidikan dan kesadaran publik tentang ancaman terorisme juga dapat membantu umat untuk melaporkan aktivitas mencurigakan. Ini dalam konteks bahwa masyarakat tidak cukup hanya diimbau untuk menyelamatkan diri mereka dari jeratan terorisme individual, melainkan juga mengedukasi mereka tentang pendidikan inklusif dan kesadaran akan perdamaian. Terorisme individual tidak boleh diberikan celah yang mengancam NKRI.
Bagaimana dengan kontra-radikalisasi? Oleh karena pelakunya bersifat personal, kontra-radikalisasi yang mesti ditempuh juga tidak semudah menginsafkan kelompok terorisme konvensional. Medannya daring, yang notabene sangat luas dan mustahil dijangkau secara menyeluruh. Dalam konteks ini, sebagai solusi, keamanan siber menjadi sesuatu yang niscaya. Aparat keamanan mesti bergerak ke situ, yakni monitoring daring untuk mewaspadai terjadinya aksi.
SDM Indonesia boleh jadi masih mudah terpapar terorisme. Apalagi yang bersifat individual, dan apalagi perempuan dan anak-anak. Ini yang menjadi tanggung jawab kewaspadaan bersama: tidak boleh terjadi lagi aksi lone wolf. Umat mesti satu haluan untuk saling bahu-membahu dalam menyelamatkan NKRI dari aksi-aksi terorisme. Terlebih, ke depan, keadaannya semakin rentan seiring realitas sosial-politik yang teruk. Terorisme individual adalah PR kewaspadaan nasional.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…