29 C
Jakarta

Terorisme di Bulan Ramadan: Eksistensi yang Mengancam NKRI

Artikel Trending

KhazanahTelaahTerorisme di Bulan Ramadan: Eksistensi yang Mengancam NKRI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Penangkapan teroris di Lampung yang dilakukan oleh densus 88 sebanyak 6 teroris dari jaringan Jemaah Islamiyah (JI) menyisakan berbagai informasi di ruang publik. proses penangkapan tersebut ternyata terlibat baku tembak. Dua dari enam tersangka ditembak mati lantaran melawan. Hal itu diungkapkan oleh Juru Bicara Densus 88 Kombes Aswin Siregar yang mengatakan bahwa penangkapan itu dilakukan selama dua hari pada Selasa (11/4) dan Rabu (12/4), di Kabupaten Mesuji dan Kabupaten Pringsewu. Data yang masuk diketahui bahwa dua orang tewas adalah NG alias BA alias SA dan ZK. Sementara empat tersangka lain yang berinisial PS alias JA, H alias NB, AM, dan KI alias AS.

Penangkapan yang dilakukan pada saat bulan puasa ini, menjadi sebuah peringatan bahwa aktivisme teroris tidak pernah padam dalam rentang waktu apapun. Justru, bulan puasa menjadi momentum sakral bagi para teroris, untuk terus melakukan kebaikan karena mampu melawan kebatilan, para taghut yakni pemerintah yang tidak menegakkan hukum Islam. Terbukti bahwa, para teroris yang sudah ditangkap oleh Densus 88 hendak merencanakan pengeboman kepada polisi.

Pelaku yang tewas yakni N alias BA adalah sosok yang menyembukan pelaku Bom Bali I Zulkarnaen dan perakit bom Poso Taufik Bulaga alias UPI Lawanga. Dalam berbagai aksi terorisme yang sudah dilakukan, pada kenyatannya ia merupakan pembuat bunker untuk pembuatan senjata rakitan di mana pada tahun 2019-2022 diungkap pada saat penangkapan Upi Lawanga.

Jemaah Islamiyah dan Ambisi Mendirikan Negara Islam

Jemaah Islamiyah merupakan organisasi teroris Indonesia yang menjadi salah satu ancaman besar bagi kehancuran negara Indonesia. mereka berafiliasi kepada Al Qaeda, di Asia Tenggara yang menjadi organisasi di balik aksi pengeboman di Bali tahun 2022 yang menewaskan 202 orang. berdasarkan latar belakang pendiriannya, JI dibentuk pada Januari 1993 sebagai hasil dari perpecahan antara Jamaah Darul Islam (JAD) dengan Negara Islam Indonesia (NII) yang secara khusus pembentukannya terjadi setelah perpecahan antara Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyi pada satu sisi dengan Ajengan Masduki.

Kepiawaian JI dalam mengelola organisasi, seperti kaderisasi, regenerasi hingga aktivisme organisasi berupa pengeboman, menunjukkan popularitas JI sebagai organisasi teroris di Indonesia tetap eksis. Serangkaian pengeboman besar terjadi di Indonesia, ada peran JI di balik peristiwa tersebut.

BACA JUGA  Refleksi IWD: Menguatkan Peran Perempuan dalam Pemberantasan Terorisme

Bom Marriot di Jakarta, menjadi salah satu dari sekian banyak aktivisme teroris yang sudah dilakukan oleh JI. Tidak hanya itu, ada pula bom Dubes Filipina tahun 2000 yang meledak di depan rumah duta besar Filipina, Leonides Caday di Menteng, Jakarta Pusat. Selanjutnya, bom Natal tahun 2000 yang diledakkan lebih dari 20 gereja di Batam, Pekanbaru, Jakarta, Pangandaran, Bandung, Mojokerto, serta Matran yang secara serentak. Selain itu, ada banyak catatan hitam yang telah dilakukan oleh JI dalam mencoreng nama baik agama Islam yang sebenarnya, memiliki ajaran yang rahmah, cinta terhadap sesama, bahkan berbanding terbalik dengan misi yang mereka miliki.

Kesalahan dalam memahami agama, khususnya doktrin jihad, menjadi salah satu landasan utama yang mereka yakini pada setiap aktivisme organisasi. Keyakinan sempit itulah dimiliki oleh anggota JI sebagai pijakan dalam melakukan aksi kekerasan, di mana menghalalkan darah orang banyak, utamanya yang berbeda agama, dalam rangka meraih cita-cita mendirikan negara Islam.

JI dan Ancaman Keutuhan NKRI

Terorisme adalah salah satu dari sekian banyak ancaman keutuhan bangsa. Isu terorisme memang merupakan isu yang tidak semua orang memahami terkait akar masalah, kelompok yang menjadi bagian di dalamnya atau ideologi yang menjadi dasar gerakan mereka. Ketidaktahuan masyarakat tentang masalah terorisme, justru menjadi tugas kita untuk terus memberikan edukasi, menyebarkan informasi tentang bahasa terorisme dan latar belakang ideologi yang menjadi dasar dari gerakan.

Sejauh ini, agama dalam pandangan masyarakat masih menduduki posisi sentral sebagai pijakan hidup yang normatif. Potensi besar terhadap ideologi radikalisme dan terorisme atas nama agama terus menghantui masyarakat. Edukasi secara masif kepada masyarakat baik secara langsung ataupun secara digital perlu terus dikampanyekan. Terorisme adalah ancaman besar bagi keutuhan NKRI. Sebagai bangsa Indonesia, sudah menjadi tanggung jawab bersama untuk terus melawan para perusak bangsa, khususnya teroris. Wallahu a’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru