31.8 C
Jakarta

Terorisme dan Strategi Diplomasi Intermestik

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuTerorisme dan Strategi Diplomasi Intermestik
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul Buku: Terorisme Dalam Kajian Intermestik, Pengarang: Gonda Yumitro, dkk, ISBN: 978-979-796-442-9, Tebal: 72 Halaman, Penerbit: UMMPress, Tahun Terbit: 2020. Peresensi: Muhammad Nur Faizi.

Runtuhnya menara WTC tahun 2001, ikut mengubah citra Islam secara keseluruhan. Islam yang dahulu dicitrakan sebagai agama rahmah, berubah menjadi agama yang paling dibenci dan ditakuti. Radikalisme muncul disebut sebagai tindakan politik yang tidak menguntungkan Islam. Pada akibatnya, Islamofobia tubuh subur sebagai wacana ketidaknyamanan atas kehadiran Islam. Agama kian ditakuti secara massal.

Sebenarnya larangan radikalisme telah disebutkan dalam Al-Qur’an. Dalam Surat An-Nisa’ ayat 171, Allah berfirman “Wahai Ahli Kitab, janganlah engkau berlebihan dalam agamamu.” Maksud berlebihaan dari ayat tersebut adalah sikap Ahli Kitab yang melebih-lebihkan Nabi Isa dari posisi manusia ke posisi Tuhan. Begitu pula dengan radikalisme, dirinya telah berlebihan (baca: keluar) dari apa-apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Agama yang seharusnya dijalankan secara damai, malah dilebihkan menjadi keras dan beringas.

Dan lagi, radikalisme adalah sosok mengerikan yang merenggut nyawa manusia berdasarkan nalar politiknya. Lebih kejam dari apapun, dirinya menumbalkan keyakinan untuk menghalalkan darah. Sebuah kejelekan ajaran yang tidak pernah diajarkan Rasulullah selama hidupnya. Maka, ketika perilaku radikalisme dimunculkan dalam bentuk agama, tenggelamlah wajah Islam di ranah global.

Presiden Bush Jr, yang menahkodai Amerika saat runtuhnya menara WTC, langsung mengutuk Islam dan menganggapnya sebagai agama yang berbahaya. Peristiwa tersebut seolah dijadikan sebagai klimaks atas tuduhan-tuduhan teror yang selama ini dilemparkan kepada Islam. Langkah pertama yang diambil oleh Bush Jr adalah war on terror, peperangan pada teror [hlm. 15].

Afganistan menjadi negara pertama yang diperangi. Kala itu, Afganistan mendapat justifikasi karena dianggap tidak mampu memerangi kelompok teror Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden. Namun yang terjadi justru sebaliknya, Amerika mengambil alih kekuasaan Afganistan melalui boneka ciptaannya Khalmai KhaliZad yang sukses menduduki pemerintahan Afganistan [hlm. 25].

Perang atas radikalisme kemudian berlanjut ke negara Irak. Kali ini tuduhan yang dilemparkan adalah perlindungan Irak pada kelompok teror Al-Qaeda. Sangat disayangkan, tuduhan tersebut hanyalah jalur penghalalan semata untuk membenarkan tindakan Amerika menyerang Irak dengan kekuatan militernya [hlm. 26].

BACA JUGA  Membangun Keluarga Pancasilais Penjaga Negeri

Pun di sini dapat diketahui bahwa radikalisme tidak hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang fanatis terhadap agamanya. Bisa juga, radikalisme dilakukan karena unsur politik didalamnya. Bahkan unsur politik itulah yang lebih mendominasi terjadinya tindakan teror. Hal ini disebutkan oleh Kurniawati, 2012 sebagai metode intermestik, yaitu suatu pendekatan metodologis kontemporer yang digunakan di era globalisasi yang ikut mengaburkan domain internasional dan domestik [hlm. 1].

Seperti dalam An-Nisa’ ayat 171 di atas, tindakan berlebihan akan mengarahkan pada kehancuran. Tidak hanya tindakan teror, namun upaya pencegahan yang dilakukan pun menjadi sangat berbahaya. Seperti kepentingan politik yang terjadi di atas, nyawa ikut terkorbankan atas nafsu kekuasaan. Dengan kata lain, upaya pemberantasan terorisme yang dilakukan secara membabi buta juga memunculkan tindakan terorisme lain dengan versi berbeda.

Alangkah baiknya upaya penanganan terorisme dilakukan menggunakan pendekatan lunak. Mengedepankan penyembuhan pemahaman dan psikologis secara dialogis untuk meminimalisir efek kerusakan. Metode seperti ini pernah dilakukan oleh Gus Dur dalam upaya diplomasi ke dalam maupun luar negeri. Gus Dur mampu menyembuhkan virus-virus radikalisme, yaitu virus kebencian, fanatisme, dan rasa tidak percaya kepada negara. Semua itu dilakukan tanpa kekerasan, dan hanya menggunakan modal percakapan.

Terorisme tidak bisa diberantas dengan kekerasan. Cara kekerasan hanya melahirkan terorisme baru karena tumbuhnya rasa sakit hati. Aksi balas dendam susulan akan dimunculkan selang beberapa waktu berikutnya. Pun demikian, akan terjadi siklus kekerasan yang tidak bisa dihentikan bila salah satu pihak tidak menjalin kesepakatan untuk menjalin perdamaian.

Sesungguhnya Gus Dur telah membuktikan kepada dunia bahwa cara diplomatis lebih efektif diterapkan untuk memberantas tindakan teror. Kerusuhan di Papua, pemberontakan oleh sekelompok massa yang tidak percaya pada negara, semua bisa diselesaikan Gus Dur secara dialogis dan sistematis.

Dan di penghujung kekuasaannya, Gus Dur melakukan hal yang sama dengan mengambil inisiatif mengundurkan diri agar tidak terjadi perang saudara antara rakyat dan pihak berwajib. Oleh karenanya, kreativitas dan kemampuan dialogis harus dikuasai setiap negara untuk memberantas isu-isu teror yang ada.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru