31 C
Jakarta

Terorisme dan Penyakit Mental: Menghitung Luka dalam WoT

Artikel Trending

KhazanahPerspektifTerorisme dan Penyakit Mental: Menghitung Luka dalam WoT
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan kasus penangkapan anak-anak yang memiliki penyakit mental oleh polisi. Mereka, anak-anak yang berjuang melawan beragam penyakit mental ini ditangkap alhasil dianggap telah melakukan aktivitas terorisme, terafiliasi dengan jaringan teroris, dan/atau berniat untuk melakukan tindakan teror. Kasus ini semakin menyedot perhatian publik dunia, termasuk di sejumlah kanal media massa sejak awal Juli lalu. Penyebarannya pun mayoritas terfokus di negara Barat, seperti Amerika dan United Kingdom.

Diskusi ilmiah, penelitian akademis, maupun sebatas-batasnya silang-pendapat di kalangan masyarakat masih terkesan hingar-bingar. Tidak cukup itu, tim psikologis juga turut memberikan pemikirannya dalam isu yang disangkut-pautkan terhadap kejahatan transnasional ini. Pro dan kontra pun membumbung.

Tim pro menyetujui penangkapan anak-anak ini dengan pretext: menjaga keamanan nasional negara. Sedangkan tim kontra mengusung ide, bahwa kekhawatiran tim pro terhadap isu terorisme global sedang berusaha didominasi oleh kelompok yang dituntut dalam pekerjaannya atau the so-called ’pencipta keamanan’.

Di Barat, kelompok ini  santer disebut CIA dan FBI. Lebih lanjut, kelompok kontra mengambil posisi bahwa kelompok pro telah berusaha dimainkan empatinya atas nama ketakutan akan terorisme (War on Terrorism). Mereka juga dianggap terlalu memasang atribut kepatuhan atas setiap rule yang ditawarkan negaranya.

Jadi, apakah tunduk kepada negara itu salah? Dari horizon penulis, tentu tidak. Namun bagaimanapun, seyogianya kita memegang critical filter terhadap kebijakan yang dilegalisasi pemerintah. Sebab, kerap kali alih-alih menjadi pendukung dan ingin membela negara justru kita lupa, bahwa tirani selalu punya kesempatan untuk menyusupi singgasana. How come? Ada baiknya kita mengupas sisi penyakit mental ini dahulu, hingga bagaimana ia direlasikan dengan tindakan terorisme.

Menggandeng ulasan dari American Psychiatric Association di psychiatry.org, bahwa satu dari lima orang Amerika mengalami gangguan kesehatan mental di tiap tahunnya. Beberapa di antaranya akan mendapat treatment hingga sembuh. Namun sebaliknya, ada juga yang ’belum berdamai’ dan hidup dengan kondisi mental yang buruk.

Sayangnya, headlines di media massa gemar menjelma menjadi dua mata pedang hingga membuat kasus semakin sensasional. Secara tidak segan mampu menjerumuskan para pengemban mental disorder ini ke tindak kekerasan, bahkan kematian.

Oleh sebab itu, bagaimana suatu tulisan memberitakan isu ini (menghubungkan dua kondisi, yaitu terorisme dan penyakit mental sebagai hubungan kausalitas) dapat memberi pengaruh besar terhadap kesadaran kita, baik sebagai individu maupun komunitas sosial dalam mereduksi atau melambungkan stigma: people with mental health disorders are kind of terrorist.

Berikut adalah istilah penyakit mental yang perlu kita ketahui, termasuk dalam hal ini yang paling banyak terjadi atau dimiliki dalam kasus anak-anak yang dihubungkan dengan dakwaan terorisme tersebut, yaitu:

  1. Kecanduan (addiction): penyakit otak kronis yang disebabkan dari penyalahgunaan zat kompulsif dengan konsekuensi berbahaya.
  2. Alkohol dan/atau penyalahgunaan zat: mengacu pada obat-obatan berlebihan, sehingga menyebabkan efek yang dapat merugikan kesehatan fisik, mental individu, termasuk kesejahteraan orang di sekitar.
  3. Syndrom Asperger: salah satu di antara berbagai gangguan neurologis yang termasuk dalam spektrum autisme.
  4. Gangguan spektrum autisme: ragam gangguan perkembangan kompleks yang dapat menyebabkan masalah dalam hal olah pikir, kerja perasaan, bahasa, serta kemampuan dalam berhubungan dengan orang lain.
  5. Gangguan bipolar: dikenal juga sebagai depresi manik, yaitu gangguan pada otak yang dapat menyebabkan perubahan pada suasana hati, energi, serta kemampuan seseorang dalam berfungsi.
  6. Depresi: penyakit medis yang umum namun serius, hingga dapat menimbulkan perasaan sedih, dan/atau menyebabkan hilangnya minat pada aktivitas yang sebelumnya digemari, termasuk dapat menyebabkan masalah emosional, dan fisik.
  7. Gangguan makan: terjadinya gangguan parah dalam perilaku makan, termasuk pikiran, dan emosi. Tiga jenis utamanya seperti: anoreksia nervosa, bulimia nervosa, dan gangguan makan berlebihan.
  8. Gangguan obsesif kompulsif (OCD): adalah gangguan kecemasan dimana seseorang memiliki pikiran, ide, atau sensasi yang tidak diinginkan (obsesi) berulang yang membuat mereka merasa terdorong untuk melakukan sesuatu secara berulang (kompulsif).
  9. Post-traumatic Stress Disorder (PTSD): gangguan kejiwaan yang terjadi pada orang yang pernah mengalami atau menyaksikan peristiwa traumatis seperti bencana alam, kecelakaan serius, aksi teroris, perang/pertempuran, pemerkosaan, dan kekerasan atau serangan pribadi lainnya.
  10. Schizophrenia: gangguan otak kronis dengan gejala yang mencakup delusi, halusinasi, adanya masalah dalam berpikir dan berkonsentrasi, serta kurangnya motivasi.

Berkenaan dengan hal di atas, mari kita berlari ke beberapa kurun waktu lampau. Kasus pertama. Seorang remaja Michael Piggin pernah ditangkap kepolisian UK di Loughborough, Leicester, pada Februari 2013.

Piggin diyakini telah menargetkan sekelompok remaja di Loughborough dengan sebilah pisau. Di sebuah flat di mana ia dan ibunya tinggal juga ditemukan bendera Nazi di dinding kamar, 10 botol kosong dengan sumpelan kain sebagai penutupnya yang diduga akan menjadi bahan peledak molotov, meski tanpa gasolin.

Beberapa potongan koran tentang berita pembantaian juga terpajang di kamarnya, plus sebuah notebook yang berisi list individu, organisasi, termasuk guru dan teman-teman sekolah Piggin yang akan menjadi target.

Tidak ketinggalan Rell Cinema, dimana terdapat staf di sana yang disebutkan pernah mengkasarinya. Menurut Piggin, staff tersebut juga harus menjadi korban. Bahkan, Piggin bersama dua temannya menyebutkan mereka adalah anggota URA (United Rebel Army).

Dr Alexandra Lewis, seorang dokter jiwa (psikiater dari tim kejaksaan) mengungkapkan ke pengadilan, bahwa kondisi mental Piggin juga menjadi latar belakang bagaimana dia berpikir dan bertindak. Pengadilan pun meyakini, bahwa Piggin ’berjuang’ dengan asperger syndrome. Piggin juga mengakui bahwa ia sering dibuli masyarakat sekitar, dan sering berpindah sekolah. Namun, sekolahnya gagal mengetahui bahwa ia memiliki asperger syndrome, sekalipun dari sisi kedisiplinan dan masalah perilaku sudah ia tampakkan di kelas.

Pengadilan pun mengartikan bahwa kasus ini terdorong salah satunya akibat kegagalan dari sistem sekolah. Atau dengan kata lain, bahwa anak-anak dengan penyakit mental asperger syndrome seharusnya sudah mampu dikenali sejak mereka berumur tiga tahun, sehingga mereka tidak dibiarkan bebas mengakses internet hingga menciptakan kerusuhan.

Direktur Lembaga Nasional Austisme Carol Povey juga menyebutkan, bahwa orang dengan asperger syndrome acapkali diisolasi dalam ruang pergaulan, termasuk dibuli di sekolah, hingga pada titik kulminasinya dapat mendorong mereka mengembangkan dunia fantasi, namun itu tidak berarti mereka benar-benar ingin merealisasikan tindakan kekerasan tersebut.

Kasus kedua. Mahin Khan (18), pemuda yang tinggal di Arizona, Amerika, ditangkap pada 1 Juli 2016 oleh FBI karena dianggap telah mendukung Taliban dan ISIS, bahkan telah merencanakan plot teror di area komunitas lokal. Oleh Gugus Tugas Penanggulangan Terorisme disebutkan bahwa pemerintah Amerika telah menyediakan Khan sebuah telepon genggam dengan alasan agar Khan dapat berkomunikasi dengan informan pemerintah.

Namun, saat itu justru diketahui bahwa Khan terindikasi memiliki keinginan untuk membunuh ratusan orang, menyerang kantor registrasi kendaraan motor lokal, serta pusat komunitas Yahudi.

Bagaimanapun, seperti yang telah dikatakan ayah Khan, bahwa putranya ini autis. Ini dapat ditunjukkan dengan beragam dokumen dari kantor kesehatan setempat yang dirilis jauh sebelum penangkapannya, menyatakan secara sah bahwa Khan bertingkah seperti anak remaja lebih muda dibandingkan usia aslinya, oleh karena itu juga Khan diminta untuk selalu berada dalam pengawasan dan dukungan orangtuanya agar dapat melengkapi dan meningkatan kebutuhan (daily life skills-nya).

BACA JUGA  Pilpres 2024 dan Ketaatan Doktrinal yang Berbahaya, Lawan!

Untuk memiliki kartu lisensi mengemudi saja Khan tidak bisa, karena ia tidak pernah lulus tes uji, termasuk dalam basic stuff. Hal ini tentu berseberangan dan sangat disesalkan oleh keluarga Khan, bahwa FBI justru memberikannya telepon genggam. Keluarga Khan menganggap apa yang menimpa Khan justru sebuah jebakan.

Ya. FBI sendiri telah mengetahui keadaan (mental) Khan sejak ia berusia 15 tahun. FBI rutin menemui Khan di kediamannya. Sayangnya, keluarga Khan tidak mendatangkan pengacara atau ahli hukum saat itu. Mereka yakin, bahwa FBI bertujuan baik: membantu kesembuhan putranya yang berjuang dengan autisme.

The Intercept, sebuah media independen mengemukakan bahwa informan FBI dengan sengaja telah mendiskusikan sebuah plot penyerangan teror terhadap pusat komunitas Yahudi bersama Khan, dengan tujuan memburu sensasi berita, sekaligus turut merusak hubungan antar kepercayaan yang dibangun antara Islam dan Yahudi di sana.

Tidak cukup itu, hal yang sangat kontras dibandingkan kasus teror lainnya di Amerika, bahwa kasus Khan ini justru langsung dibawa ke level negara, setelah mengacuhkan sejumlah evaluasi psikiater mengenai kondisi mental Khan. Khan pun dimasukkan ke ruang tahanan, digabungkan bersama tahanan lain. Akibatnya, penyerangan fisik terhadap Khan oleh tahanan lain tidak dapat dielakkan.

Kasus ketiga. Peyton Pruitt (19) dari Wattsville, Alabama, ditahan di penjara St. Clair County, Amerika Serikat. Peyton memiliki IQ 51, tidak dapat mengikat tali sepatunya, selalu mengotori pakaian, bahkan hanya memiliki kemampuan verbal yang sedikit, termasuk ketidakmampuan dalam membedakan mana yang nyata dan fantasi.

Peyton dikurung selama 11 bulan setelah tim investigasi St. Clair County meyakini ia telah berkomunikasi dengan perwakilan ISIS dan Taliban, serta berencana menyasar beberapa target terorismenya. Namun, pengurungan Peyton dihentikan setelah pengacaranya Gibson Holladay mencerca Kepala Investigator Tommy Dixon dengan rentetan pertanyaan logis. Hingga karena itu juga pengadilan federal AS melepas kasus ini ke tingkat pengadilan lokal.

“Semua (informasi) yang Anda dapati dari pernyataan Peyton, bukan? Anda bahkan tidak dapat meyakinkan saya kalau Peyton telah menghubungi Santa Claus atau seorang teroris! Bisakah Anda? Dan apakah itu benar-benar bom atau sebuah resep membuat puding pisang? Anda bahkan tidak tahu pasti.” ucap Holladay.

Dixon pun mengakui bahwa kepercayaannya akan Peyton ingin melakukan tindakan teror tersebut didasarkan semata-mata dari transkrip FBI, bukan dari tangan pertama.

Berkenaan dengan ketiga kasus di atas, menurut pembaca budiman apakah ketiga pelaku dapat digolongkan sebagai teroris? Lalu, dapatkah ditarik benang merah bahwa terorisme dan penyakit mental adalah sebuah kausalitas? Atau justru ketiga kasus ini hanya sesederhananya tindakan homicide dalam rentang isu sosial dan kesehatan? Baik. Baik. Dibawa tenang. Kita simpan dulu otot amarahnya.

LaFree dan Gruenewald dalam The Intersection of Homicide, Terrorism, and Violent Extremism, menyebutkan bahwa pelaku kriminal yang melakukan tindak pembunuhan cenderung didasari dari dorongan atau kepentingan pribadi (personal gain), serta keegoisan diri sendiri.

Pelaku kriminal jenis ini cenderung menghindari penyidikan yang dilakukan aparat keamanan. Sedangkan untuk pelaku aksi teror, mereka bertindak didasari prinsip kepentingan bersama (altruisme), dan akan mengakui tanpa rasa malu jika telah melancarkan aksi teror. Hal ini tidak lain mereka lakukan demi menciptakan chaos dan menyebarkan ketakutan.

Meneliti ketiga kasus di atas, dapat kita ketahui bahwa pada kasus pertama, Piggin yang memiliki asperger syndrome berencana melakukan penyerangan, alhasil kehidupannya yang sering dibuli oleh masyarakat, kegagalan ia di sekolah, serta dirinya di tempat umum yaitu di Rell Cinema yang pernah dikasari oleh seorang staff di sana.

Hal ini dapat menunjukkan bahwa tindakan Piggin seyogyanya dapat dilihat dari horizon seorang pelaku kriminal, mengingat kondisi mentalnya yang terguncang, serta target sasarannya yang didasarkan dari kebencian dalam dirinya (unsatisfied feelings to particular actors).

Adapun untuk kasus kedua, ini cukup menghenyakkan. Dimana terdapat sikap pemerintah, dalam hal ini adalah pihak keamanan FBI, yang telah memberi telepon genggam kepada Mahin, melakukan penyidikan dalam kurun 3 tahun sebelum penangkapan, namun tetap ditangkap oleh mereka, penyamaan custody room, dan pengabaian atas sejumlah evaluasi dari psikiater terhadap kondisi mental Mahin.

Dalam kasus kedua ini, selain diperlukannya ’kejernihan’ pemerintah Amerika terutama aparat keamanan di sana, juga perlunya menimbang kondisi mental Mahin terhadap lingkungan penahanannya, yang mestinya tidak disama-ratakan dengan tahanan lain. Adapun untuk kasus ketiga, juga sangat dibutuhkannya kejelasan mengapa kasus Peyton di tingkat pengadilan federal bisa dilepas ke tingkat pengadilan lokal.

Secara keseluruhan, kasus ketiga remaja ini tentu baru sampel kecil dari berbagai kasus lainnya. Namun bagaimanapun, dari ketiga sampel ini dapat ditarik sejumlah poin, bahwa dibandingkan hanya menekankan suatu kasus pada perspektif terorisme atau psikologi dari teroris semata, termasuk memakai state centric melulu dalam pemecahan masalahnya.

Seyogianya hal yang juga perlu digali adalah mengapa kita tidak menggubris contoh kasus ini dengan perspektif psikiater, atau turut merangkulnya sebagai bentuk dari isu kesehatan dan perubahan sosial? Sebab, menelisik dari ketiga kasus tadi kita mengetahui bahwa pelaku didorong atas situasi sosial di lingkungannya, seperti bullying dan penolakan masyarakat.

Lebih jauh, kita tampaknya harus kembali mengenyampingkan sikap acuh terhadap penihilan dan kurangnya konsensus akhir atas apa makna dan tindakan terorisme itu sendiri. Hal ini tentu tidak semata-mata ditujukan untuk tidak melukai konsep kontra terorisme, atau dengan dalihnya menjaga keamanan negara (national security), melainkan juga perlunya memahami dependensi isu sosial dan kesehatan global, termasuk unsur social movement lainnya.

Sekali lagi, hal ini tentu akan dilakukan oleh aktor pemerintah dan siapapun yang benar-benar ingin berjibaku menelisik kasus keamanan maupun terorisme hingga ke akarnya (root causes). Bukan mendangkalkan dari apa yang tampak di permukaan saja.

Dan tentu, sudah saatnya penghayatan akan teori moderate terrorism diusung, tidak hanya di level akademisi melainkan juga setiap kalangan. Sebab, jangan lagi sejarah dilupakan, bahwa Barat pernah dan masih ’meretakkan’ konsep WoT (War on Terrorism) itu sendiri di hampir setiap benua, terkhusus di Timur Tengah.

Contohnya? Berkembangnya AFRICOM dari ’kebutuhan’ untuk memproteksi kepentingan vital Amerika menjadi sebuah mekanisme yang didesain untuk membantu post-kolonial Afrika dalam meningkatkan kemampuan aparat keamanannya atas label WoT. Ingat? Mekanisme inipun dilakukan dalam operasi penuh sekitar empat hingga lima tahun, setelah Barat menginvasi Irak dan Haiti, dan sekitar enam setengah tahun setelah Pentagon mengokupasi Afghanistan.

Tunggu. Mungkin sedikit tepat apabila munculnya kasus ini dapat diartikan─selain sebagai kompleksitas isu sosial dan kesehatan─juga merupakan pengejewantahan globalisasi terhadap Barat atas pribahasa: mendulang air, terpecik muka sendiri? Atau, gajah di pelupuk mata tak tampak, sedangkan semut di ujung pulau tampak?

Semoga keselamatan dan kedamaian selalu menyertai setiap hela napas kita. Amiin ya Rabb.

Dyah Purbo Arum Larasati
Dyah Purbo Arum Larasati
Sarjana Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Pendiri @noheroescape, sebuah ruang berbagi di Instagram yang berfokus pada isu terorisme, radikalisme, ekstremisme dan studi demokrasi.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru