30.1 C
Jakarta

Terorisme dan Bom Bunuh Diri Bukanlah Jihad

Artikel Trending

KhazanahPerspektifTerorisme dan Bom Bunuh Diri Bukanlah Jihad
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Ayat-ayat jihad dalam Al-Qur’an harus dipahami sesuai konteks pewahyuannya. Jika tidak demikian, maka makna jihad dalam Al-Qur’an mungkin akan disalahartikan atau disalahpahami. Akibatnya, bisa saja terjadi tindakan-tindakan ekstrem seperti bom bunuh diri, terutama apabila ada oknum tertentu yang mengorganisir. Tindakan semacam bom bunuh diri pada hakikatnya sangat bertentangan dengan nilai-nilai Al-Qur’an.

Masalah di atas penting untuk penulis tegaskan, sebab di antara faktor terjadinya terorisme dan ekstremisme – selain faktor sosial, ekonomi, dan politik – ada peran oknum tertentu yang membuat seseorang menyalahartikan makna jihad dalam Al-Qur’an. Sebagai bukti, kita telah menemukan banyak teroris yang mengaku berjihad, tanpa menyadari bahwa makna jihad yang sebenarnya bukanlah bom bunuh diri.

Dalam Al-Qur’an, term jihad merupakan salah satu tema sentral. Kata ini dan derivasinya setidaknya disebutkan sebanyak 41 kali oleh Al-Qur’an dengan rincian; kata jāhada dua kali, jāhadāka dua kali, jāhadū sebelas kali, tujāhidūna satu kali, yujāhidu satu kali, yujāhidū dua kali, yujāhidūna satu kali, jāhid dua kali, jāhidhum satu kali, jāhidū empat kali, jahda lima kali, jahdahum satu kali, jihādin satu kali, jihad dua kali, jihādihi satu kali, al-mujāhidūna satu kali dan al-mujāhidina tiga kali (al-Mu’jam al-Mufaḥras li Alfaz al-Qur’ān al-Karīm).

Secara etimologi, jihad terambil dari kata jahd yang berarti “letih/sukar”. Jihad  memang  sulit  dan menyebabkan keletihan. Ada juga yang berpendapat bahwa jihad berasal dari  akar  kata “juhd” yang berarti  “kemampuan”. Ini karena jihad menuntut kemampuan, dan harus  dilakukan  sebesar  kemampuan.  Dari  kata  yang   sama tersusun  ucapan  “jahida  bir-rajul”  yang artinya “seseorang sedang mengalami ujian” (a-Munjid fi al-Lughah wa a;-A’lam).

Dalam KBBI, ada beberapa makna jihad yang dapat ditemukan, yakni 1) usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai kebaikan; 2) usaha sungguh-sungguh membela agama Islam dengan mengorbankan harta benda, jiwa, dan raga; 3) perang suci melawan orang kafir untuk mempertahankan agama Islam. Dalam konteks ini, berjihad berari berjuang di jalan Allah.

Menurut Muhammad Sa’id al-Asymawi – ketika menyoroti ayat-ayat jihad dalam kajian sejarah – ayat-ayat jihad jelas memiliki keterkaitan dengan kondisi masyarakat saat itu. Pada periode Mekkah, ayat-ayat yang turun tentang jihad lebih memiliki makna spiritual daripada makna fisik. Jihad yang secara prinsip lebih bermakna bersungguh-sungguh dan berjuang, berarti tetap menjaga iman, bersabar, dan menahan diri dari cercaan dan hinaan kaum musyrikin Mekkah.

Sebagai contoh, Ia berkata bahwa surah an-Nahl ayat 126 memberikan makna sabar sebagai pilihan solusi yang lebih baik daripada membalas serangan kaum musyrikin. Dari sini kita dapat memahami bahwa makna jihad pada awalnya merupakan usaha sungguh-sungguh dalam melakukan perbuatan dan pekerjaan, serta diiringi dengan sikap kesabaran dan ketabahan, tidak terbatas pada peperangan (Against Islamic extremism).

Makna Jihad Pada Periode Mekah

Penggunaan istilah jihad sudah dimulai pada periode Mekah. Hal ini dapat diketahui dari identifikasi ayat yang disusun sesuai urutan turunnya (tartib nuzuli). Penggunaan istilah jihad dan derivasinya pada periode Mekah lebih ditekankan pada jihad dalam berdakwah, yaitu berdialog dengan kaum Quraisy Mekah dengan dialog yang baik sehingga ajaran Islam dapat diterima dengan baik dan benar.

Meskipun ayat-ayat jihad dan derivasinya telah turun sejak periode Mekah, namun tidak ada satu pun ayat tersebut yang menyinggung masalah peperangan — bom bunuh diri belum ada. Diskursus yang banyak disinggung dalam ayat-ayat jihad pada periode ini adalah jihad dengan berdakwah kepada kaum Quraisy yang belum menerima ajaran Islam. Firman Allah swt dalam surah al-Furqan [25] ayat 52 yang berbunyi:

BACA JUGA  Radikalisme Digital dan Peran AI: Waspada Propaganda Daring!

فَلَا تُطِعِ الْكٰفِرِيْنَ وَجَاهِدْهُمْ بِهٖ جِهَادًا كَبِيْرًا ٥٢

Maka janganlah engkau taati orang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap mereka dengannya (Al-Qur’an) dengan (semangat) perjuangan yang besar.” (QS. Al-Furqan [25] ayat 52).

Menurut Ibnu Katsir dalam kitabnya, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, dlamir pada ayat di atas kembali kepada Al-Qur’an, karena nabi Muhammad saw diutus untuk berdakwah dan menyampaikan Al-Qur’an kepada umat manusia. Pandangan serupa disampaikan oleh al-Sa’adi dalam Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan. Dalam konteks ini, jihad berarti kesungguhan dalam menyampaikan ajaran Allah swt melalui Al-Qur’an dan bukan berperang.

Penafsiran ini dikuatkan dengan bukti sejarah yang menunjukkan bahwa pada periode Mekah tidak ada perintah untuk berperang dari Al-Qur’an maupun nabi Muhammad saw. Selain tidak ada perintah berperang, pada periode ini juga turun ayat toleransi, yakni surah al-Baqarah [2]: 256 yang berisi informasi tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam (la ikraha fi a-din).

Selain surah al-Furqan [25]: 52, pada periode Mekah juga turun ayat-ayat jihad lainnya yang berbicara mengenai kesungguhan dalam beragama seperti surah an-Nahl [16]: 110 yang berbicara mengenai kesungguhan dalam mempertahankan iman dan tidak tergiur terhadap rayuan untuk berpaling dari Islam. Kemudian, surah Fatir [35]: 42 yang menyebut makna jihad dalam konteks kesungguhan orang kafir dalam berjanji.

Makna Jihad Pada Periode Madinah

Ketika awal-awal nabi Muhammad saw hijrah ke Madinah, makna hijrah masih merujuk pada arti kesungguhan, yakni kesungguhan dalam mempertahankan diri agar tetap berada di jalan Allah. Hal ini dapat dilihat dari surah al-Ankabut [29] ayat 6 yang merupakan ayat-ayat jihad pertama di periode Madinah. Pada ayat tersebut makna jihad mengandung arti kesungguhan melawan hawa nafsu.

وَمَنْ جَاهَدَ فَاِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهٖ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ ٦

Dan barangsiapa berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu untuk dirinya sendiri. Sungguh, Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” (QR. surah Al-Ankabut [29] ayat 6).

Makna jihad dalam Al-Qur’an yang merujuk pada perang atau qital baru muncul pada surah al-Baqarah ayat 18. Ayat ini berisi tentang perintah untuk berperang melawan orang kafir dengan tujuan menolak kezaliman dan menjunjung tinggi kebenaran. Meskipun perintah tersebut bersifat mutlak, namun perang hanya dilakukan dalam rangka mempertahankan diri (kondisi darurat) (al-Tafsir al-Munir: 632).

Perintah jihad dengan berperang, dimulai pada abad kedua Hijriyah, tepatnya ketika perang badar di mana Rasulullah saw menyerukan kepada para sahabatnya untuk berjihad dengan berperang melawan orang kafir. Perintah perang tersebut pada dasarnya bukan bertujuan untuk menghilangkan kekafiran, akan tetapi perang untuk mempertahankan negara baru dan melindunginya, serta melindungi kebebasan dakwah (Jihad Melawan Teror).

Berdasarkan penjelasan di atas, makna jihad dalam Al-Qur’an merujuk pada usaha yang sungguh-sungguh dan sabar dalam beragama, baik beribadah maupun menjauhi larangan. Sedangkan jihad dalam makna peperangan hanya disebutkan pada segelintir ayat dari sekian banyak ayat-ayat jihad. Ayat itu pun merujuk pada peperangan yang bertujuan untuk menegakkan keadilan, mempertahankan agama, dan menghapus kezaliman.

Dalam konteks ini, berbagai tindakan ekstrem seperti bom bunuh diri, menyakiti sesama manusia, memerangi non-Muslim yang menginginkan kedamaian tidaklah dianggap sebagai jihad, bahkan bom bunuh diri adalah tindakan yang dilarang oleh Al-Qur’an. “…Barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia.”  (QS. Al-Maidah [5] ayat 32).

Muhammad Rafi
Muhammad Rafi
Mahasiswa Pascasarjana UIN Antasari Banjarmasin, pegiat kajian Tafsir, Tasawuf dan Islam Cinta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru