34.3 C
Jakarta

Terorisme Ala “Jihad” Agama di Era Millenial (1/2)

Artikel Trending

KhazanahPerspektifTerorisme Ala “Jihad” Agama di Era Millenial (1/2)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Era milenial dewasa ini genjarnya isu terorisme dan sejenisnya telah menjadi perbincangan serius di kalangan masyarakat bukan hanya negeri ini juga seluruh negara di dunia. Hal ini dikarenakan eksistensinya yang dapat menyerang siapa saja dan dimana saja tanpa mengenal waktu. Saat ini hampir seluruh kasus berbau radikalisme dan terorisme yang terjadi di berbagai belahan dunia selalu mengatas namakan jihad. Di antara kalangan yang gencar dialamatkan label radikalisme dan sejenisnya adalah umat Islam.

Bahkan dikabarkan banyak umat Islam yang direkrut dan bergabung ke kelompok teroris dengan “iming-iming” jihad, namun jihad yang mereka lakukan lebih menjurus ke arah terorisme. Fenomena ini tentunya  masih adanya umat Islam yang berpikir bahwa dengan melakukan tindakan yang menurut mereka adalah jihad akan mengantar mereka kepada kehidupan yang lebih baik di surga. Padahal pada kenyataannya, jihad yang mereka lakukan adalah membunuh saudaranya sendiri, membunuh orang lain, dan melakukan bom bunuh diri untuk kepentingan mereka sendiri.

Tidak dapat dipungkiri, realita selama ini terorisme sering diidentikkan dan dilekatkan pada penganut fundamentalisme, utamanya fundamentalisme agama yang kemudian disebut-sebut sebagai anak kandungnnya agama Islam, artinya agama Islam diposisikan sebagai terdakwa yang ajaran-ajarannya membenarkan dan menghalalkan kekerasan sebagai tajuk atau wujud perjuangan.  Sebagai fenomena teks keagamaan, kata “jihad” seringkali dipahami oleh kelompok eksklusif sebagai suatu tindakan yang lekat dengan kekerasan.

Dalam kaitannya dengan hal ini maka asumsi komunitas keagamaan eksklusif menyebut tidak sepenuhnya salah bila terorisme diidentikkan dengan Islam.  Hal demikian ini didukung dalil yang menyebutkan bahwa sesungguhnya setiap agama sangat potensial memunculkan fundamenlisme yang kemudian berkembang menjadi terorisme bila agama dianut secara eksklusif-tekstualistik dan intoleran dalam menyikapi realitas yang timpang dan anomi.

Secara etimologis, ‘terorisme’ berasal dari kata terrere (Latin), yang berarti ‘menyebabkan (orang) gemetar’. Dengan demikian, terorisme dimaksudkan untuk membuat orang ketakutan. Sedangkan berdasarkan istilah, definisi ‘terorisme’ masih diperdebatkan oleh para ahli yang berkecimpung dalam masalah ini. Sebagai akibatnya, “tidak ada satu definisi yang diterima secara umum.”  John Horgan menegaskan bahwa “kita masih jauh dari pengertian (huruf miring dari Horgan) teror yang disetujui (secara umum).”

Membahas terorisme tentunya berkaitan dengan Orang memunyai pengertian yang berbeda-beda tentang istilah terorisme dan cakupan dari artinya. Orang-orang yang terlibat di dalam perdebatan tersebut sering mencoba membuat definisi yang sesuai dengan keperluan dan kepentingan mereka. Dengan demikian, definisi teroris yang diberikan pada umumnya merupakan refleksi dari kepentingan-kepentingan politik dan penilaian moral dari orang-orang yang memberikan definisi.

Dengan kata lain, keputusan untuk menyebut atau melabel orang atau organisasi tertentu sebagai ‘teroris’ itu bersifat subyektif, tergantung terutama pada apakah orang tersebut bersimpati atau menentang orang atau kelompok atau tujuan dari yang bersangkutan. Oleh karena itu, penulis tidak akan memberikan satu definisi mengenai teroris. (Abdul Muis Naharong, 2013)

Lebih lanjut, untuk mengenal terorisme,  terlebih dahulu di jelaskan ciri-ciri terorisme berdasarkan definisi yang diberikan oleh beberapa pakar. Adapun ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, kekerasan dilakukan dengan tujuan-tujuan dan motif- motif politik, keagamaan, dan ideologi lainnya. Di antara motif-motif tersebut, motif politiklah yang paling banyak disebut oleh para ilmuwan yang meneliti terorisme. Motif-motif ini merupakan faktor pemisah dari bentuk-bentuk kekerasan lainnya.

BACA JUGA  Darurat Solidaritas: Lawan Polarisasi Politik dan Perpecahan Bangsa!

Kekerasan yang dilakukan untuk memeroleh keuntungan finansial semata bukanlah terorisme meskipun perbuatan-perbuatan tersebut menimbulkan ketakutan. Kedua, satu perbuatan bisa dikatakan terorisme kalau melibatkan kekerasan atau ancaman kekerasan. Di samping itu, kekerasan bisa dikategorikan sebagai tindakan terorisme kalau perbuatan kekerasan tersebut direncanakan. Dengan kata lain, terorisme bukanlah suatu perbuatan yang terjadi secara kebetulan, atau perbuatan criminal yang tiba-tiba saja terjadi.

Ketiga, untuk bisa disebut sebagai sebuah perbuatan terorisme, kekerasan harus memengaruhi sasaran atau audience di luar target langsung (korban). Dengan demikian, sasaran langsung atau korban dari suatu perbuatan kekerasan bukanlah sasaran utama. Keempat, terorisme melibatkan aktor atau aktor-aktor bukan negara yang melakukan kekerasan terhadap orang-orang yang tidak terlibat dalam pertempuran (noncombatant), yaitu warga sipil dan tentara yang tidak berada dalam peperangan.

Kelima, terorisme dilakukan oleh orang-orang yang sangat rasional, bukan yang tidak rasional atau bahkan gila. Juga, perbuatan terorisme tidak dilakukan secara sembarangan dan sporadis, tetapi sasaran yang hendak diserang dipilih oleh para teroris. (Abdul Muis Naharong, “Pejuang Kemerdekaan adalah Teroris? Menjelaskan Pengertian Terorisme”,  2012)

Berkembangnya faham terorisme dalam masyarakat, harus ada upaya untuk menyebarnya faham tersebut. Dalam perspektif agama mencegah lahirnya terorisme memerlukan satu upaya terus menerus dan tidak kenal lelah dalam mengembangkan corak keberagamaan yang moderat, inklusif, toleran. Moderasi agama diperlukan untuk memahami ajaran agama sesuai dengan realitas-sosial-politik dimana para pemeluk agama hidup dan tinggal. Ajaran agama yang termaktub dalam teks kitab suci idealnya dipahami dengan pendekatan kontekstual agar mampu menjawab berbagai problem dan tantangan zaman yang terus dinamis dan berubah-ubah.

Pandangan keagamaan bercorak moderat akan membentuk relasi keberagaman yang inklusif dan toleran. Segala perbedaan agama dan budaya akan dimaknai secara positif sebagai karunia Tuhan dan keniscayaan sejarah yang potensial dijadikan sebagai modal sosial untuk membangun bangsa. Para pemeluk agama tidak terjebak pada klaim kebenaran atas ajaran agamanya sendiri dan akan lebih terbuka pada keberadaan kelompok agama lain. Dengan moderasi keberagamaan inilah diharapkan praktik kekerasan dan terorisme atas nama agama dapat dicegah sedini mungkin.

Dalam mewujudkan agenda moderasi keberagamaan tentu bukan perkara mudah, meski juga bukan mustahil. Disinilah diperlukan peran aktif para tokoh agama dan masyarakat serta organisasi kemasyarakatan-keagamaan untuk terus menerus mempromosikan pentingnya beragama secara moderat, toleran dan inklusif. Para tokoh agama diharapkan mampu menyampaikan ajaran agama secara santun dan tidak mengumbar ujaran kebencian pada kelompok agama lain. Para tokoh agama yang memiliki otoritas untuk menafsirkan teks-teks keagamaan idealnya mampu mengejawantahkan ajaran agama ke dalam bingkai kerukunan dan perdamaian.

Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi
Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi
Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga dan Dosen IAI Al-Aziziyah Samalanga, Bireuen dan Ketua PC Ansor Pidie Jaya, Aceh.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru