29 C
Jakarta

Teror-teror Menuju HUT Kemerdekaan NKRI; Upaya Mengantisipasi

Artikel Trending

Milenial IslamTeror-teror Menuju HUT Kemerdekaan NKRI; Upaya Mengantisipasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Pada tahun 1940 sampai 1947, umat Islam mengalami gejolak yang, dalam buku Mahardika Abu Imtiyaz berjudul “Negara Islam Indonesia”, disebut sebagai masa defensif. Kendati secara spesifik di rentang tahun tersebut tidak bisa digeneralisasi, saat-saat itumerupakan periode penting di mana proklamasi kemerdekaan RI dibacakan. Sekarang di detik-detik HUT kemerdekaan RI yang ke-76, apakah teror-teror masih terjadi dan bagaimana langkah mengantisipasinya?

Hari ini yang terdeteksi, MIT di Poso pimpinan Ali Kalora, yang tersisa enam orang: Ali Ahmad alias Ali Kalora, Askar alias Jaid alias pak Guru, Nae alias Galuh alias Muklas, Suhardin alias Hasan Pranata, Ahmad Gazali alias Ahmad Panjang dan Jaka Ramadhan alias Ikrima alias Rama, adalah yang tersisa dari teroris paling militan di Indonesia. Mereka tengah diburu, gambarnya disebar melalui baliho, meski entah kapan bisa tuntas tertangkap dan MIT musnah.

Namun, di luar teroris militeristik seperti mereka di Poso, secara keseluruhan NKRI masih dipenuhi teror-teror dengan jenis lain, yakni propaganda. Menuju momen HUT kemerdekaan, propaganda yang dimainkan adalah perihal ketidakadilan pemerintah hingga bobroknya sistem pemerintahan. Baru saja digelar, misalnya, seminar komunitas pecinta hijrah yang merupakan kamuflase HTI. Apakah teror-teror sejenis itu harus membuat negara getir? Jelas.

Bagaimana tidak, di momentum yang seharusnya penuh euforia HUT kemerdekaan, teror tersebut justru menawarkan spirit sebaliknya: hijrah secara kaffah, yang secara gamblang adalah “pindah pada keseluruhan sistem yang lain”. Secara tidak langsung, mereka para teroris dengan motif yang smooth telah menghina HUT kemerdekaan, hendak menegaskan bahwa NKRI belum merdeka—setidaknya karena mereka tidak akan membiarkan cita tersebut tergapai.

Tradisi demikian sudah menjadi trik sejak dulu. Gerakan teror selalu memanfaatkan momentum penting, lalu melakukan tindakan yang sebaliknya. Jika negara tengah menggencarkan spirit nasionalisme, mereka akan menyebar teror islamisme. Begitu seterusnya. Fakta bahwa nasionalisme sendiri diajarkan oleh Islam tidak jadi penghalang dari teror-teror yang akan mereka lakukan. Islam bagi mereka belum selesai diperjuangkan, selama ideologi mereka belum diterapkannegara.

Residu Sikap Represif

Harus diakui bahwa gebrakan pemerintah dalam menanggulangi terorisme sangat masif dan berkelanjutan. Negara memang lebih steril dari dua dekade lalu, tetapi imbasnya adalah kuatnya narasi kebencian terhadap pemerintah itu sendiri. Tertuduh anti-Islam, umpamanya, yang selalu menggema, dan orang yang kurang cerdas ikut terprovokasi, tanpa memahami kebenaran bahwa Islam yang dimaksud para pejuang khilafah adalah ideologi tahriri.

Teroris memiliki kemampuan beradaptasi yang tinggi. Ketika pemerintah tidak menyadari keberadaan mereka, gerakan teror terjadi secara terang-terangan. Tetapi ketika pemerintah bergerak menumpas secara represif, mereka mengubah strategi menjadi lebih smooth, lebih lembut, yang susah terdeteksi dan terlacak. Jika kelompok teror beramaliah menggunakan kajian-kajian, teror propaganda ternyata dilakukan juga oleh organisasi yang berbeda—meski sama-sama teroris.

Semakin samarnya teror yang demikian merupakan buntut panjang dari represi pemerintah. Para pelaku teror memang tidak mungkin menghentikan aksi, tetapi bisa mengubah motifnya. Bom bukan lagi tren, kecuali dalm aksi-aksi sporadis, indoktrinasi takfirilah penggantinya. Ke depan, mungkin enam teroris MIT di Poso akan habis oleh Satgas Madago Raya, tetapi tidak ada jaminan bahwa setelah itu Poso steril. Boleh jadi, kelompok lain akan muncul dengan nama yang berbeda.

BACA JUGA  Indonesia Tidak Butuh (Generasi) Khilafah

Begitu pula dengan kawanan HTI yang semakin hari, alih-alih surut gerakannya justru semakin gencar dengan motif baru yang ciamik. Jadi teror-teror menuju HUT kemerdekaan tidak sama dengan yang dilakukan NII, misalnya, tahun 1940-an. Teror hari ini adalah manifesto politik yang berupaya mengolok-olok statuq quo. Propaganda semacam itu jelas laik dikategorikan teror karena dampak yang terjadi, yaitu kerapuhan negara dan antipati terhadap pemerintahannya.

Semua yang sedang diinginkan para penebar teror adalah tentang ketakutan. Propaganda yang disebarkan dengan tujuan menciptakan ketakutan, kendati tidak pakai bom, adalah jelas masuk kategori teror. Jika di momentum HUT kemerdekaan NKRI ada narasi yang membuat masyarakat enggan bereuforia, maka kelengahan tersebut menjadi peluang besar untuk melanjutkan agenda berikutnya. Jadi ini soal adu komitmen dan konsistensi. Siapa yang akan menang?

Menunggu Kelengahan

Represi pemerintah dalam menanggulangi teror harus dipertahankan, terlepas apakah akan dijadikan kerja prioritas kabinet seperti sekarang atau tidak. Yang perlu diwaspadai adalah ketidakputusasaan radikalis-teroris, baik yang militan seperti JI dkk atau yang abal-abal seperti HTI dan laskar FPI. Teror di momen-momen terbaik, seperti Bom Natal misalnya, bisa juga terjadi di perayaan HUT kemerdekaan. Apa pun motifnya, kuncinya adalah ketidaklengahan.

Sementara musuh berusaha mengganyang ideologi Pancasila, kita harus mengganyang ideologi mereka yang anti-Pancasila. Mau itu dari kalangan teroris militan atau abal-abal, sama saja. Selama narasinya adalah untuk memecah belah, motif apa pun mesti dilawan. Intrik politik yang berbalut agama adalah bentuk ekspolitasi atas agama itu sendiri. Maka jika teror-teror tersebut dilakukan di detik-detik menuju HUT kemerdekaan, sempurnalah penghinaan mereka atas negara.

Teror akan terus digencarkan sampai orang melihat bahwa itu bukan teror, ibarat kesalahan yang terus dicekokkan sampai ia tampak sebagai kebenaran. Kelengahan adalah target, dan perpecahan adalah cita-cita. Bagi pelaku teror, baik teror fisik seperti bom dan sejenisnya, atau teror psikis seperti doktrin hijrah dan sejenisnya, tujuan utama—menegakkan khilafah—tetap terpatri dalam hati mereka. Lengah bagi mereka mustahil, tetapi melengahkan kita adalah agendanya.

HUT kemerdekaan harus disambut dengan euforia, bahwa bangsa ini berhasil mengusir penjajah. Penjajah baru saat ini adalah rongrongan ideologi dan penyelewengan ajaran Islam ke arah islamisme dan puritanisme. Kendati teror dalam berbagai motif akan terus ada, kecintaan terhadap NKRI harus selalu menggema. Ketika seseorang dalam hatinya sudah hilang spirit kemerdekaan dan berbalik menjadi antipati, berarti ada masalah dengannya. Boleh jadi, efek teror-teror sudah menggerogoti hatinya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru