30.8 C
Jakarta
spot_img

Terjebak Kepalsuan Daulah, Terbuai Janji Manis Khilafah

Artikel Trending

Milenial IslamTerjebak Kepalsuan Daulah, Terbuai Janji Manis Khilafah
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Daulah dan khilafah adalah tipuan paling sadis yang amat merugikan Islam. Itu kesan saya saat ikut peluncuran buku Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah dan film dokumenter Road to Resilience, yang digelar Kreasi Prasasti Perdamaian, di Auditorium Perpusnas RI, Kamis (27/2) lalu. Buku Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah karya Noor Huda Ismail menceritakan tentang 5R: repatriasi, rehabilitasi, relokasi, reintegrasi, dan resiliensi, terhadap 18 WNI returnee ISIS, 2017 silam.

Noor Huda Ismail

Sementara itu, film dokumenter Road to Resilience mengisahkan perjalanan panjang Febri Ramdani, remaja Indonesia yang sempat terjebak dalam janji-janji manis ISIS—menjadi returnee. Film tersebut mengangkat kisah pribadi Febri, ihwal tantangan besar yang dihadapi para returnee saat kembali ke Indonesia, hingga berhasil meraih cita-cita dan melanjutkan ke pendidikan tinggi. “Hijrah”, begitu istilah yang ia dan keluarganya mengerti, waktu itu. ISIS menjanjikan Daulah dan khilafah.

Febri Ramdani, pria berdarah Madura-Minang itu, tak pernah menyangka bahwa kata sederhana itu akan mengubah hidupnya—dan keluarganya—menjadi fragmen kisah yang tercecer di antara puing-puing perang Suriah. Dalam bukunya, 300 Hari di Bumi Syam, ia menulis, hijrah bukan sekadar pindah tempat. Ia adalah petualangan jiwa yang menguras air mata, menguji iman, dan mengguncang keyakinan.

Febri Ramdani

Febri sendiri bukanlah sosok yang asing dengan kegelisahan. Sejak remaja, ia kerap merasa terasing di tengah hingar-bingar kehidupan modern. Di negara ini, agama ia anggap hanya jadi ritual. “Tak ada substansi,” tulisnya di halaman awal buku. Ia merindukan kehidupan yang ‘islami’, sebuah frasa yang samar namun membara di benaknya. Ketika suara-suara di medsos mulai membisikkan kisah tentang khilafah di Suriah, hatinya berdebar.

Propaganda tentang Raqqah—kota di bawah panji ISIS—digambarkan sebagai surga dunia: syariat ditegakkan, keadilan merata, dan persaudaraan Islam menyatukan semua orang. Tapi yang paling mengusik Febri adalah tafsirannya atas surah al-Nisa’ [4]: 97, “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri…” Baginya, ayat itu adalah ancaman. “Jika khilafah sudah tegak, tapi kita tak hijrah, kita berdosa,” katanya dalam buku itu.

Ia tak sendirian. Keluarganya sudah berangkat duluan, dan ia hendak menyusul sang bunda. Semuanya pada yakin: hijrah ke Suriah adalah jalan menuju keselamatan di bawah Daulah dan sistem khilafah. Saat itu belum ada yang menyadari, bahwa Daulah itu palsu, juga bahwa gembar-gembor khilafah itu janji manis belaka.

Perjalanan dimulai dengan bisikan rahasia. “Om Bow”, seorang kenalan kakak iparnya yang bekerja di perusahaan logistik, menjadi penghubung. “Dia bilang, ini jalan untuk mengabdi pada agama,” tulis Febri. Tanpa banyak tanya, keluarga kecil ini terbang ke Turki—gerbang menuju Suriah.

Di perbatasan, mereka bergabung dengan puluhan keluarga lain: wajah-wajah lelah dari Indonesia, Malaysia, hingga Eropa. Anak-anak kecil tertidur di pangkuan ibu mereka, sementara para lelaki melantunkan doa-doa dengan suara parau. Febri menggambarkan suasana itu. “Seperti orang berziarah, tapi kami tak tahu kuburan siapa yang akan kami datangi.”

BACA JUGA  Khatib dan Khotbah Semi-Radikal; Bagaimana Kita Memahaminya?

Setelah hari-hari di kamp penampungan yang pengap, rombongan mereka disergap oleh Jabhat al-Nusrah (JN), kelompok oposisi Suriah di bawah komando Al-Jaulani, yang hari ini menjadi Presiden Suriah menggantikan Assad. Febri dan keluarga digiring ke Idlib; kota yang ia sebut harapan baru.

Tapi harapan itu segera pudar. Idlib bukanlah kota impian; ia adalah labirin reruntuhan. Suara ledakan dan tembakan menjadi musik sehari-hari. “Di sini, mati adalah hal biasa. Tapi kami sudah tak punya pilihan,” tulisnya.

Ketika akhirnya mereka sampai di Raqqah, Febri menatap kota itu dengan mata berkaca-kaca. “Subhanallah… Ini benar terjadi?,” serunya dalam buku. Tapi kekaguman itu tak bertahan lama. Raqqah, yang diimajinasikannya sebagai kota bermandi cahaya, ternyata adalah kuburan hidup. Pasar sepi, sekolah-sekolah hancur, dan mayat bergelimpangan di jalanan. ISIS, yang ia kira sebagai pembela Islam, justru memaksa anak-anak kecil memegang senjata.

“Aku mulai bertanya. Di mana keadilan yang mereka janjikan? Di mana kemakmuran itu?,” tulisnya.

Tapi hijrah bukanlah perjalanan pulang. Mereka terjebak.

Dalam satu momen paling menggugah di buku, Febri bercerita tentang seorang anak lelaki Suriah yang ia temui di Raqqah. “Dia memegang tangan saya dan berkata: ‘Kalian datang ke sini untuk apa? Kami pun ingin lari dari sini.’” Kalimat itu seperti tamparan. “Aku sadar, kami bukan pahlawan. Kami hanya orang-orang tersesat yang tertipu mimpi Daulah.”

Ia juga mengakui kesalahan tafsirannya. Surah al-Nisa’ [4]: 97, yang ia pahami sebagai perintah mutlak hijrah, sebenarnya turun dalam konteks perlindungan bagi Muslim Makkah yang tertindas, bukan legitimasi untuk bergabung dengan militan-teroris. “Kami membaca ayat itu seperti robot. Tak ada tanya, tak ada diskusi,” akuinya.

Ketika akhirnya Febri dan keluarga berhasil kembali ke Indonesia—melalui proses repatriasi yang difasilitasi Noor Huda Ismail pada 2017—mereka bukan lagi orang yang sama. Buku 300 Hari di Bumi Syam bukan sekadar memoar; ia adalah pengakuan dosa, ratapan, dan secercah harapan yang kelak dikenal sebagai resiliensi.

Dalam film dokumenter Road to Resilience, kamera menyorot wajah Febri yang kini berhasil lulus kuliah. “Saya ingin menjadi psikolog. Agar bisa membantu orang-orang seperti saya dulu,” katanya dengan senyum getir. Tapi jalan itu tak mudah. Stigma ‘mantan ISIS’ membayanginya seperti hantu. Tetangga menjauhi, teman-teman lama menghilang, dan ia kerap merasa diawasi aparat.

“Pulang bukan berarti selesai. Justru di sinilah perjuangan baru dimulai,” tulisnya di halaman terakhir buku.

Kisah Febri Ramdani merupakan cermin besar agar orang lain tak terjebak kepalsuan Daulah dan terbuai janji manis khilafah. Hijrah sejati bukan pelarian, tapi kedamaian yang tumbuh dari pengakuan menuju ketahanan diri. Toh, saat Al-Jaulani berkuasa pun seperti sekarang, Suriah tidak juga berubah menjadi Daulah. Justru, kenyataannya, Al-Jaulani sendirilah, yang dari segi penampilan dan pemikiran, berubah. Ia dan rombongannya tak lagi ngotot ingin tegakkan khilafah.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru