26.7 C
Jakarta

Tentang Menulis, Bagaimana Menuangkan Isi Pikiran?

Artikel Trending

KhazanahLiterasiTentang Menulis, Bagaimana Menuangkan Isi Pikiran?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sebelum memutuskan untuk menulis, dari sekian banyak populasi manusia, dari sekian banyak kepala, sebagian di antaranya menyimpan tanda tanya besar dalam benak tentang definisi menulis. Memang benar, secara singkat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjadi wadah beragam arti kata, tapi ada dahaga yang tak bisa diredakan hanya dengan itu. Umpamanya, bagaimana cara menuangkan isi pikiran menjadi tulisan?

Sebagaimana belajar sendiri adalah petualangan seumur hidup, perjalanan eksplorasi tanpa akhir untuk menciptakan pemahaman personal kita sendiri (Accelerated Learning for 21st Century, Cara Belajar Cepat Abad 21, hlm. 14). Sejalan dengan ini, setiap pribadi mencoba mendefinisikan kata sepersonal mungkin, termasuk di antaranya ‘menulis’.

Salah satu definisi menulis dikemukakan oleh Seno Gumira Ajidarma, dalam bukunya Ketika Jurnalisme Dibungkam Satra Harus Bicara, “Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa—suatu cara untuk menyentuh seseorang entah di mana. Cara itulah yang bermacam-macam dan di sanalah harga aktivitas ditimbang-timbang.”

Namun, dari pengamatan pribadi, banyak pula yang mengartikan menulis sebagai upaya menuangkan isi pikiran. Nah, terbesit pertanyaan, apa yang menyebabkan manusia berpikir? Seorang teman dengan S.Sos di belakang namanya dengan baik hati menjawab pertanyaan ini dari hasil bacaannya. Ia mengatakan, “Manusia berpikir karena empat hal, pertama keresahan, kedua keingintahuan, ketiga kesangsian, dan keempat keyakinan.”

Hal ini bisa disebut pula dorongan atau motivasi seseorang untuk berpikir. Maka, jika seseorang menggenggam definisi menulis sebagai menuangkan isi pikiran, secara tidak langsung proses tersebut berakar dari rasa resah, rasa ingin tahu, rasa ragu, dan rasa yakin.

Rasa resah seringkali menghantui seseorang, ada dua hal yang bisa dilakukan. Pertama, membiarkannya menyandera ketenangan. Kedua, membunuhnya dengan cara memvalidasi perasaan tersebut dan menuruti apa yang ia mau. Ikuti ke mana arahnya, bantu ia menyelesaikan kemelut dalam dirinya. Misal, seseorang mersakan keresahan karena tergerus prinsip dan idealismenya oleh issu yang sedang viral di masyarakat, terutama di media sosial.

Biasanya, untuk meredakan keresahan yang dirasakan tersebut, maka dituangkanlah lewat karya, salah satunya karya tulis. Baik dari hal terkecil seperti membuat caption di akun pribadi media sosialnya, hingga membuat project dengan riset mendalam dari apa yang ia kuasai. Tentu selain dilakukan untuk menetralkan perasaan dalam dirinya, tapi juga ada harapan karyanya bisa menyentuh hati, pemikiran, dan tindakan pembaca.

BACA JUGA  Dinamika Penulisan Puisi di Media Siber

Berpikir karena ada rasa ingin tahu, kiranya bisa kita perhatikan dari sikap para filsuf, salah satunya menyinggung tentang dari mana awal pembentukan jagat raya. Pada konteks kepenulisan, ada sebuah pernyataan yang cukup menarik, dikatakan bahwa, “Tulislah apa yang kamu suka, tulislah apa yang kamu ketahui, atau tulislah apa yang kamu ingin tahu”.

Rasa ragu, rasa ragu kadang kala membuat seseorang berpikir keras. Terutama berpikir analitis. Diusutnya kasus tertentu hingga memperoleh status benar atau salah. Semisal, ada yang mengatakan “satu ditambah satu sama dengan satu”. Tentu bagi sebagian orang ini cukup mengerutkan dahi hingga timbul keragu-raguan atasnya. Lalu, orang tersebut mencari tahu dasar keilmuan apa yang menyebabkan pernyataan itu muncul.

Setelah ditelaah, ternyata ia menemukan benar dan tidak dari sudut pandang berbeda. Dari ilmu matematika, sudah jelas pernyataan tadi salah. Namun, dari ilmu mantiq, peryataan tadi dikatakan benar jika sesuai konteks. Contohnya, satu pegangan spidol ditambah satu tutup spidol sama dengan satu spidol.

Terakhir adalah rasa yakin, rasa yakin yang mendorong seseorang berpikir tak terlepas dari poin sebelumnya, yakni rasa ragu. Katakan saja, seseorang punya keyakinan tertentu, lalu ada yang memperkenalkan keyakinan baru. Ada dua hal yang bisa terjadi. Pertama, ia semakin yakin dengan keyakinannya. Kedua, ia menjadi ragu dan mulai melirik keyakinan yang lain.

Tentu ini sangat dipengaruhi pemahaman mendalam seseorang terhadap apa yang ia yakini. Bukan berarti hanya tentang agama, tapi keyakinan di sini bisa termasuk teori terentu, prinsip tertentu, dan cara-cara tertentu yang dipegangnya selama ini.

Baik, itulah empat hal yang menyebabkan kita berpikir. Apakah pernyataan ini seratus persen benar? Tentu dikembalikan lagi padamu. Yang pasti, teruntuk kamu yang menulis untuk menuangkan isi pikiran, itulah di antaranya sebab-sebab berpikir.

Maria Ulfah
Maria Ulfah
Blogger pembelajar asal Sukabumi, Jawa Barat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru