28.2 C
Jakarta

Tentang Konsep Keadilan ala ISIS, Tentang Respon Mengadili WNI eks-ISIS

Artikel Trending

Milenial IslamTentang Konsep Keadilan ala ISIS, Tentang Respon Mengadili WNI eks-ISIS
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Didik Novi Rahmanto dari Satuan Penindakan BNPT dalam kolomnya di Tempo, Dunia yang Adil di Mata ISIS, mengatakan, salah satu faktor yang membuat orang-orang, termasuk para WNI, mudah terpengaruh untuk bergabung dengan ISIS, bahkan nekat pergi ke Suriah, adalah keyakinan terhadap konsep dunia yang adil (just world).

Apa yang kita ketahui dengan definisi keadilan, adalah apa yang oleh ISIS dimanipulasi sebagai fungsi eksistensialnya. Artinya, ISIS mengklaim, hanya kelompok merekalah yang bisa menyemai keadilan. Hanya mereka yang bisa memberikan keadilan, dan menjalankan syariat sebaik-baiknya. Janji-janji palsu tersebut dibalut dengan narasi yang mencatut nama Nabi: khilafah ‘ala manhaj an-nubuwwah.

Tesis Rahmanto di atas menemukan validitasnya dengan, marilah kita selisik dari, pengalaman WNI yang terpedaya propaganda ISIS pada 2015 lalu. Dalam bukunya, 300 Hari di Bumi Syam, Febri Ramdani mengisahkan secara detail. Seperti bagaimana ia bersama sekitar 26 orang keluarganya dijanjikan dunia yang adil (just world) tadi, melalui komunikasi mereka di internet.

Mereka dijanjikan sekolah gratis, pekerjaan yang mapan, dan tempat tinggal secara cuma-cuma. Mereka juga, katanya, akan bisa melaksanakan syariat secara sempurna. Mereka juga akan berinteraksi dengan orang-orang saleh di negara makmur yang menegakkan ajaran Nabi Saw. secara sempurna. Syaratnya satu: datanglah, hijrahlah, menuju Suriah.

Jadi, di samping mengkaveling surga untuk pengikutnya, ISIS juga menjanjikan kemakmuran hidup di dunia. Siapa yang tidak tertarik dengan kehidupan makmur di dunia, dan surga ketika kelak wafat? Sungguh idaman semua umat. Pada saat yang bersamaan, di kalangan umat sendiri, ada hasrat memuncak untuk berislam secara kaffah. Kaffah dalam artian yang masih tabu—tak jelas.

Akhirnya, yang terjadi adalah memanfaatkan momen kegersangan jiwa calon pengikutnya. Caranya adalah memanipulasi makna substansial yang berhubungan dengan pemuasan kegersangan jiwa tersebut. Lalu mereka memanipulasi makna khilafah, makan negara Islam, serta makna kaffah. Bagaimana ISIS memaknai kaffah, diadopsi dari penafsiran Salafi-wahabi.

Dari alur kasus tersebut, mari kita pikirkan, betapa buruknya indoktrinasi itu.

Pelajaran tentang Buruknya Indoktrinasi ISIS

Serangkaian propaganda ISIS tadi, adalah mereka tidak hanya mengajak, melainkan merasuk ke dalam jiwa-jiwa orang yang gersang akan pengetahuan agama. Barangkali ada yang akan berpikir betapa bodohnya mereka mudah percaya ISIS. Sebab, seringkali kita tidak memahami duduk perkaranya, tentang kehausan agama tadi. Sedang ISIS betul-betul memahami peluangnya.

Indoktrinasi itu mirip hipnotis atau gendam. Orang yang sadar akan mengatakan, bodoh sekali menyerahkan dirinya, menyerahkan barang-barangnya, untuk tukang hipnotis. Tetapi tukang hipnotislah yang menguasai medan. Mereka paham betul bahwa si calon korban pikirannya sedang kosong, sehingga mereka akan dengan mudah menyerahkan segalanya.

Tetapi ketika sadar apa yang terjadi? Kecewa, menyesal kenapa kekosongan jiwa membuatnya terjerat malapetaka. Seperti itulah korban ISIS. Setelah sampai di Suriah baru mereka akan sadar, bahwa kehausan berlebihan terhadap agama justru menjadi biang malapetaka untuk mereka sendiri. Lihatlah, indoktrinasi itu buruk sekali, bukan?

BACA JUGA  Aplikasi Prinsip Wasatiah dalam Menyikapi Hisab-Rukyat Ramadan

Terhadap kasus-kasus WNI yang menjadi korban indoktrinasi ISIS, selaiknya kita mengambil pelajaran. Kosep keadilan ala ISIS adalah palsu, dan janji paling buruk oleh komplotan perompak yang mengatasnamakan Allah dan Nabi-Nya. Pelajaran yang dapat kita ambil berbanding lurus dengan bagaimana kita seharusnya memperlakukan mereka: WNI eks-ISIS.

Mengadili mereka bisa ditempuh melalui dua cara, yaitu dengan memberikan mereka pelajaran atas kebodohannya sendiri, atau dengan mengajak mereka berbagi kisahnya, sehingga kita bisa mengambil pelajaran untuk tak terjerumus ke dalam kebodohan yang sama. Dalam tataran ini, menjadi jelas kenapa memulangkan atau membiarkan mereka tetap menjadi polemik.

Yang terang, konsep keadilan mereka sudah patah. ISIS pun, setelah Abu Bakar al-Baghdadi tewas, sudah kalah. Tetapi ideologi mereka akan tetap eksis, dan kehati-hatian kita masih tetap harus tertanam. Konsep tentang just world, dan propaganda khilafah akan tetap berjalan, bahkan di NKRI sekalipun. Yang bisa kita lakukan adalah, sepanjang waktu, memerangi narasinya.

Tetapi mengadili WNI eks-ISIS dengan cara memulangkan semuanya, justru memberikan lahan kepada ISIS itu sendiri. Solusi terbaik ialah memetakan (profiling) mereka.

Profiling Sebagai Jalan Tengah

Pemetaan profil perorangan (profiling) adalah alternatif paling pas. Sebab, profiling akan mengadili WNI eks-ISIS secara adil. Mereka yang bergabung secara sukarela akan dibiarkan, sedangkan mereka yang ikut-ikutan, misal remaja yang sekadar ikut orang tuanya, bisa untuk dipulangkan. Namun cara ini jelas akan sulit, karena jumlah yang valid akan WNI itu sendiri, di Suriah, juga belum jelas.

Bahasa “ikut-ikutan” dalam konteks WNI eks-ISIS juga bisa dijadikan sebagai tolok ukur pemulangan, dan dapat dengan mudah kita terka motif kedatangannya ke Suriah. Mereka yang sudah dewasa jelas bukan karena ikut-ikutan, melainkan termakan propaganda khilafah dan just world ala ISIS. Peluang pemulangan, akhirnya, hanya dimiliki oleh anak-anak saja.

Sekadar peluang. Apakah anak-anak tersebut akan benar-benar pulang, berpisah dengan orang tua mereka, atau justru menetap di sana, tetaplah pilihan masing-masing. Tetapi profiling ini, konon, sudah ditempuh oleh Belanda. Mereka memulangkan anak-anak, dan membiarkan orang tuanya. Itu pun masih dalam pengawalan ketat, dan dikarantina dalam rehab deradikalisasi.

Efektivitas profiling, kalau mau jujur, tidak ada yang menjamin. Ini kembali kepada efektivitas deradikalisasi itu sendiri. Konsep keadilan dunia (just world) yang disuntikkan ISIS ke kepalanya harus tuntas dibuang. Mengadili mereka dengan cara ini adalah wujud keadilan kita sebagai negara tempat mereka berasal, serta testimoni perihal just world yang ternyata tak lebih dari janji busuk.

Bagaimana konsep dunia adil itu berjalan, bagaimana cara kita mengadili WNI eks-ISIS itu direspon, merupakan serangkaian dinamika ISIS dan narasi kita mengkonternya. Ke depan, moderasi Islam harus mengemuka dalam cara keberagamaan kita. Di situlah keadilan yang sesungguhnya bermuara. Sementara dunia adil (just world) yang digemborkan ISIS, adalah dusta yang nyata.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru