32.7 C
Jakarta

Tentang Dakwah yang Santun

Artikel Trending

KhazanahOpiniTentang Dakwah yang Santun
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Belum lama ini, suhu ruang publik kembali meninggi setelah muncul kasus seorang ustaz kondang yang dilaporkan atas dugaan penistaan agama karena memberi penjelasan tentang salib yang dianggap melukai umat agama tertentu. Banyak pihak memberi komentar atas kembali beredarnya video yang sebenarnya sudah lama diambil tersebut.

Menurut MY. Arafat, pertanyaan seorang jamaah tentang salib sebenarnya cukup wajar dilontarkan. Namun, sebagai pertanyaan serius—karena berkaitan dengan doktrin agama umat lain—itu menjadi kurang tepat dijawab secara instan di dalam sebuah mejelis dengan keterbatasan waktu, rujukan, dan penalaran (Detik.com, 29/8/2019). Banyak ulama dan tokoh agama berupaya agar kasus ini tidak menjalar dan merusak persaudaraan umat beragama di antara kita. Kita berharap agar kasus ini bisa segera mereda dan bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita semua.

Dakwah itu mengajak. Di dalamnya, ada unsur “merayu”. Tentu, dalam merayu, cara-cara yang digunakan mesti cara-cara yang baik, empatik, sehingga memikat dan mengetuk hati seseorang agar mengerti, tersadar, dan mengikuti apa yang disampaikan. Selain dengan cara yang santun, dakwah juga mesti bijak. Yakni, bagaimana memahami situasi, latar belakang, dan keadaan orang-orang yang mendengarkan dakwah kita. Ini agar dakwah bisa efektif dan tidak menyinggung perasaan orang atau umat lain.

Kita punya banyak contoh tentang bagaimana dakwah santun. Kalangan ulama Nusantara zaman dulu sering berdakwah dengan mengedepankan kebijaksanaan dan kearifan. Semua itu karena melihat realitas masyarakat. Para ulama Wali Songo yang berdakwah di tanah Jawa misalnya, mengedepankan prinsip-prinsip penghormatan dalam berdakwah. Bahkan, demi menghargai tradisi dan kepercayaan yang sudah ada di masyarakat, para wali menggunakan strategi atau pendekatan kultural. Misalnya, lewat media wayang, lagu tradisional, dan berbagai bentuk kesenian lainnya.

Dakwah Santun

Di masa kini, kita juga punya ingatan mengenai spirit dakwah santun dari almarhum KH. Hasyim Muzadi. Kiai yang pernah menjadi Ketua Umum PBNU pada 1999-2009 ini dikenal memiliki gaya khas, yakni bahasa yang ringan, dan tak jarang disertai humor dan cerita-cerita menyentil, sehingga memikat hati banyak kalangan masyarakat. Dari cara beliau, terpancar spirit berdakwah yang dilandasi ketulusan dan kasih sayang, yang kemudian membuat sosoknya begitu lekat di hati masyarakat hingga sekarang, bahkan ketika beliau telah meninggalkan kita semua.

Di dalam buku Islam Sejati, Islam dari Hati (2019) yang berisi ceramah-ceramah KH. Hasyim Muzadi, kita akan merasakan bagaimana spirit dakwah yang dilandasi kasih sayang. Di sebuah ceramah berjudul “Meneladani Rasulullah Saw sebagai Insan Kamil”, KH. Hasyim mengajak kita meneladani integritas dan karakter Rasulullah Saw. sebagai insan kamil dalam membangun karakter bangsa.

Ketika membahas tentang peristiwa hijrah Nabi, KH. Hasyim Muzadi memaknainya di samping dalam meningkatkan keimanan, juga untuk membangun hubungan yang harmonis dengan sesama. Beliau melihat, kelemahan umat Islam dewasa ini karena ibadah dan tauhid kita yang menjadi kesalehan pribadi tidak menembus sampai pada kesalehan sosial. Adanya pertengkaran di antara umat Islam itu, jelasnya, pasti karena iman dan tauhid tidak tembus sampai pada muamalah atau tata sosialnya.

BACA JUGA  Rekonsiliasi Pasca-Pemilu: Jalan Menjaga Solidaritas Kebangsaan

Merasakan sentuhan agama

Dakwah santun yang dilandasi kasih sayang mengajak orang merasakan sentuhan agama dengan prinsip-prinsip keramahan, empati, dan penghormatan. Model dakwah ini mengedepankan sikap toleran dan berupaya memahami betul persoalan yang dialami oleh umat atau masyarakat, untuk kemudian memberi tuntunan agama secara bijak. Dakwah santun berbeda dengan model dakwah yang sekadar dipenuhi dengan klaim, kecaman, bahkan ancaman kepada sesama.

Terkait pendekatan dakwah ini, menarik menyimak pandangan KH. Hasyim Muzadi tentang pentingnya tasawuf dalam kehidupan. Masih dikutip dari ceramah dalam buku Islam Sejati, Islam dari Hati (2019), beliau menjelaskan bahwa orang alim zaman dahulu memiliki daya tarik tinggi karena kesufiannya. Mereka menyampaikan ilmunya, menerangkan bahwa sesuatu itu halal atau haram, betul-betul lillah (karena Allah Swt).

Jalan sufi menjadi cara menjernihkan hati di kalangan orang-orang alim, sehingga dalam menentukan hukum bisa benar-benar karena Allah Swt. Menurut KH Hayim Muzadi, ini berbeda dengan apa yang terjadi di zaman sekarang. Sekarang, tak semua ahli hukum membela hukum. Sama halnya dalam hal agama. Tak semua ahli agama bisa “merasakan” sentuhan agama.

Proses dari “mengerti” ke “menyentuh” itu, jelas KH. Hasyim Muzadi, diperlukan ibadah dan taqarrub. Dari menyentuh, menjadi malaka, menjadi milik—sehingga Al Qur’an dan syariat menjadi miliknya—perlu istiqamah. Di sinilah perlunya tarekat atau jalan sufi.

KH Hasyim Muzadi berpendapat, dakwah dan fiqih itu pendekatannya berbeda. Fiqih menentukan sesuatu itu benar atau salah, halal atau haram. Dan hukumnya tak boleh diubah-ubah. Sedangkan dalam dakwah, lebih kepada bagaimana menarik atau mengajak orang yang berada di tempat haram agar berpindah ke tempat halal. Bukan memusuhi orangnya, namun perbuatannya. Maka, di sinilah, dakwah butuh kesantunan, kearifan, dan kebijaksanaan.

Dakwah santun cenderung lahir dari seseorang yang memilki landasan fiqih yang kuat dan kedalaman tasawuf. Kata KH. Hasyim Muzadi, “Setelah ada keseimbangan antara fiqih dan tasawuf, selanjutnya ada dakwah”. Karena itu, ulama-ulama sufi yang juga ahli fiqih tidak suka mengkafirkan orang. Yang lebih dikedepankan dalam berdakwah bukan memvonis, namun bagaimana mengarahkan yang musyrik itu menjadi muwahhid (bertauhid) dan yang belum beriman agar beriman.

Jika kita resapi, pandangan tersebut sangat relevan diresapi saat ini. Di era sekarang, kita tak jarang mendengar dakwah-dakwah yang cenderung bernada ancaman, bahkan memojokkan, menyerang, dan melukai sesama. Pada gilirannya, model dakwah ini tak jarang menimbulkan keresahan dan pertikaian sosial. Belajar dari pandangan almarhum KH. Hasyim Muzadi, kita semakin tersadar betapa pentingnya dakwah yang selalu didasari kasih sayang, kesantunan, dan kebijaksanaan. Wallahu a’lam..

Al Mahfud
Al Mahfud
Penikmat buku, penulis lepas, Aktif menulis topik-topik radikalisme-terorisme, Alumni IAIN Kudus.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru