30.1 C
Jakarta

Tempat dan Media Baru Tumbuhnya Literasi

Artikel Trending

KhazanahLiterasiTempat dan Media Baru Tumbuhnya Literasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kita sering mendengar bahwa tingkat literasi Indonesia itu menyedihkan. Minat baca orang-orang Indonesia sangat rendah. Pada 2016, UNESCO mengadakan penelitian terhadap 61 negara dengan tajuk “The World’s Most Literate Nation”. Hasilnya, Indonesia berada di peringkat ke-60 dalam soal minat baca, hanya unggul dari Botswana—negara yang bahkan sebagian orang tidak tahu namanya.

Namun, Nirwan Ahmad Arsuka, pegiat Pustaka Bergerak, tidak sepenuhnya setuju dengan penelitian itu. Menurutnya, masalah utama kita bukan soal minat baca, tapi akses terhadap bacaan. Selama ini, terutama di daerah-daerah terpencil dan jauh dari pusat kekuasaan, tempat untuk bisa mengakses bacaan itu sulit terjangkau.

Saya tidak menampik kedua hal tersebut. Banyak bukti soal hal pertama. Misalnya saja mahasiswa-mahasiswa kampus ternama yang masih malas pergi ke perpustakaan untuk baca buku, padahal akses bacaan sangat mudah baginya. Sementara soal kedua juga betul adanya. Masalah akses bacaan kerap kali menjadi kendala. Banyak anak-anak yang punya semangat tinggi untuk membaca. Namun, karena letak geografis tempat tinggalnya jauh dari pusat-pusat peradaban (termasuk perpustakaan), baca buku pun menjadi sesulit menemukan air hujan di musim kemarau.

Gerakan Literasi di Tempat-Tempat Tak Lazim

Menyikapi deretan fakta di atas, tentang rendahnya minat baca orang Indonesia dan sulitnya mengakses bacaan bagi banyak orang, membuat saya teringat orang-orang yang bergerak di pinggiran untuk mengembangkan semangat literasi. Orang-orang ini mungkin tak mengaku sebagai pegiat literasi atau berteriak bahwa dia telah berjasa menumbuhkan kecintaan orang-orang terhadap buku. Tetapi berkat inisiatif-inisiatif mereka, secara tidak langsung budaya literasi tumbuh berkembang.

Orang-orang yang saya maksud adalah para pegiat literasi yang biasa mengadakan acara-acara literasi semacam bedah buku, pengadaan perpustakaan jalanan, atau diskusi tentang masalah tertentu di tempat-tempat tak lazim. Tak lazim di sini bermaksud bukan tempat yang secara langsung berhubungan dengan institusi pendidikan atau semacamnya.

Misalnya saja di kafe. Di salah satu kafe kecil di Karawang bernama Das Kopi sering diadakan diskusi buku. Contoh buku yang pernah dibedah di sana adalah Aku Radio Bagi Mamaku karya Abinaya Ghina Jamela. Sementara di Jogja ada sangat banyak kafe sejenis ini. Belakangan yang terkenal dan sering mengundang pembicara-pembicara kesohor adalah Kafe Basabasi yang sudah punya beberapa cabang di Jogja. Di antara yang pernah menjadi pemateri acara diskusi di Kafe Basabasi adalah Goenawan Mohamad, Eka Kurniawan, Joko Pinurbo, hingga Ulil Abshar Abdalla.

BACA JUGA  Sastra Terjemahan: Dari Diplomasi Kultural Hingga Soal Garapan

Tentu masih banyak kafe lain yang mengadakan kegiatan semacam itu dan kita patut mengapresiasinya. Barangkali, jika dulu perpustakaan disebut-sebut sebagai tempat muasal munculnya orang-orang dan karya-karya hebat. Kini, boleh jadi orang-orang dan karya-karya hebat bisa muncul dari kafe.

Media Sosial sebagai Sarana Mengembangkan Literasi

Kita umumnya menganggap media sosial sebagai suatu hal sia-sia belaka dan hanya menghabiskan waktu. Ternyata tidak selamanya begitu. Saya sering mendapati media sosial bisa menjadi media yang bagus juga, salah satunya untuk mengembangkan literasi. Tak jarang terjadi diskusi-diskusi kecil di kolom komentar Facebook. Tak jarang satu twit berupa pertanyaan buku apa yang sedang kamu baca bisa menjadi ajang saling berbagi dan bertukar referensi. Tak jarang pula postingan Instagram (apalagi jika disertai gambar buku yang menggugah) menjadi pelecut orang untuk lebih semangat membeli buku dan membaca.

Saya melihat gejala ini sebagai perluasan medium untuk mengembangkan literasi. Bahwa literasi tidak hanya dapat disebarluaskan dan diajarkan melalui forum-forum resmi saja seperti di sekolah atau kampus. Tapi, melalui media sosial pun bisa dilakukan. Kita mengenal istilah bookstragammer untuk para penyuka buku yang beredar di Instagram dan sering membagikan bacaan-bacaannya. Artinya, semangat untuk mengajak orang lain membaca buku (yang berarti meningkatkan semangat literasi) bisa ditumbuhkan di mana saja, termasuk media sosial.

Pertanda Baik

Banyaknya acara literasi yang terselenggara di tempat non-akademis seperti kafe atau markas komunitas menjadi pertanda baik. Bahwa masih banyak orang peduli terhadap literasi negeri ini. Begitu pun orang-orang yang gemar menebarkan semangat literasi melalui media sosial. Mereka adalah orang-orang yang layak diberi applause. Kadang-kadang kerja mereka malah lebih efektif ketimbang upaya pemerintah atau lembaga-lembaga resmi.

Dengan geliat literasi yang bertumbuh di berbagai tempat dan media, kita boleh optimis jika ada penelitian lagi mengenai tingkat literasi dan minat baca, mungkin kita akan naik beberapa tingkat. Barangkali tidak langsung beranjak masuk sepuluh besar. Tapi yang jelas, kualitas literasi dan minat baca kita harus meningkat. Bahkan, apabila penelitian-penelitian soal itu tidak diadakan lagi. Karena membaca, pada masa ketika disinformasi gampang menyebar dan matinya kepakaran terjadi seperti saat ini, adalah suatu kewajiban yang mungkin setara dengan shalat bagi orang Islam atau latihan menendang bola bagi para pesepakbola. (*)

 

Win Han. Bermukim di Bekasi. Menulis puisi, cerpen, dan esai.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru