34.3 C
Jakarta

Televangelisme Islam sebagai Ancaman Baru Lahirnya Radikalisme di Indonesia

Artikel Trending

Milenial IslamTelevangelisme Islam sebagai Ancaman Baru Lahirnya Radikalisme di Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Fenomena televangelisme makin marak, setalah keran media digital terbuka luas di dunia. Julia Day Howell (2008) mencatat, bahwa televangelisme sejak 1970-an lahir dan ditandai dengan munculnya aktivitas ceramah Islam di media digital. Melalui radio, kaset, TV dan digital dijadikan sebagai media penyebaran Islam yang popular di masyarakat muslim seperti Indonesia.

Cukup Modal Busana Syar’i

Dari sana acara-acara keislaman marak dan melahirkan tokoh-tokoh muslim yang kemudian dikenal luas di Indonesia. Figur-figur ini memproduksi narasi-narasi dan konten yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan market pasar. Bagi figur-figur ini, yang terpenting ia bisa mengemas nilai-nilai Islam dengan bermodalkan narasi yang baik, intonasi suara yang lantang, busana syar’i, dan tak harus memiliki kedalaman ilmu yang ketat laiknya masyarakat pesantren.

Selain itu, figur-figur tersebut cukup bermodalkan busana syar’i dan menampakan khas kesyar’iannya dalam kehidupan sehari-hari. Tak cukup di situ, para figur-figur ini juga melakukan monopoli sakralisasi kehidupan di dalam dakwahnya, misalkan jemaahnya diharuskan untuk melakukan sakralisasi di semua kehidupan sehari-harinya dengan keagamaan, seperti harus memiliki rumah eksklusif yang hanya dihuni sesama muslim, membeli barang-barang yang dinilai syar’i, bertransaksi dengan sesama muslim, negara berhukum syariah, dan tidak dibolehkan berjabat tangan selain mahromnya.

Hanan Attaki, Felix Siauw, Adi Hidayat, Abdus Somad, Mamah Dedeh, dan Lutfiah Sungkar salah satu contoh figur di atas. Hari ini ustaz-ustaza di atas cukup laku di kalangan masyarakat urban. Bahkan popularitasnya menggeser kiai-kiai tradisional yang jauh jangkauannya. Kehadiran ustaz ini dielu-elukan dan sebagian masyarakat mengagumi bahkan dijadikan contoh keagamaan dalam sehari-harinya. Ini kemudian yang menurut peneliti, bisa menggerus otoritas lama, seperti kiai dan nyai, yang memiliki otoritas dan spesifikasi kelimuan kegamaan terutama Al-Qur’an, Hadis, fiqh, dan tasawuf yang mapan.

Menurut penulis, tampilnya ustaz-ustas di atas bukan dilatarbelakangi karena kekalahan keilmuan dan pengemasan dakwah daripada kiai pesantren. Namun dilatarbelakangi otoritas lama (kiai-kiai) yang tidak memanfaatkan ketersediaan media yang ada. Kiai pesantren diam di dalam pesantren dan tidak mengambil bagian. Oleh sebab itu, kiai-kiai ini berada di dalam pucuk menara, yang hanya bisa diakses oleh santri-santri atau masyarakat pesantren. Di sini manajemen digitalisasi pesantren dipertaruhkan!

Otoritas Baru Vs Otoritas Lama

Di tengah hantaman dahaga keagamaan, masyarakat (baik tradisional dan urban utamanya generasi Z), mencoba mencari alternatif dalam mendalami keagamaan. Maka demikian mereka mencari melalui apa yang terdekat dengan dirinya, yakni memakai gawai, lalu berselancar di media digital. Ketemulah dengan ustaz-ustaz seperti Hanan Attaki, Felix Siauw, Adi Hidayat, Abdus Somad, Mamah Dedeh, dan Lutfiah Sungkar. Mereka bermain dengan narasi keagamaan baru bahkan memakai praktik dan taktik yang paling baru dalam berdakwah. Berbeda dengan dakwah otoritas lama (kiai), dakwah para ustaz baru ini fokus pada hal-hal kesalehan pribadi. Dilihat bahwa masyarakat hanya butuh itu, maka ustaz-ustaza ini kemudian mengambil ceruk tersebut untuk kemudian dijadikan sebagai lahan dakwah yang bisa membuat mereka senang alang kepalang.

BACA JUGA  Ramadan dan Gerilya Radikalisasi, Bagaimana Menanganinya?

Ustaz-ustaza ini kemudian memakai cara dakwah storytelling dengan mengambil kisah-kisah nabi dan ayat Al-Qur’an dan dikaitkan dengan kehidupan sehar-hari, yang dekat pada jemaahnya. Misalnya poligami, negara Islam, tips menjadi muslim yang baik, bahkan bagaimana melayani istri dan suami di atas ranjang secara Islami.

Sekali lagi, ustaz-ustaza ini mengemas ajaran-ajaran Islam dengan lebih praktis, dan dicoba dibagikan kepada jemaahnya sebagai cara baru untuk melihat Islam yang menurutnya lebih baik. Dari sini kemudian masyarakat mempunyai aspirasi baru di dalam melihat Islam, yaitu Islam yang modern, Islamnya Nabi Muhammad ideal dan Islam yang terhindar dari tradisi syirik dkk.

Memunculkan Keagamaan Baru

Fakta-fakta ini kemudian memunculkan keagamaan baru. Di mana peran keagamaan-keagamaan dan figur tradisional, serta pendidikan tradisonal ditinggalkan karena dianggap kuno dan tidak gaul oleh masyarakat. Perlu digarisbawahi, bahwa kemunculan ustaz ini juga memberikan ancaman kepada otoritas lama (masyarakat pesantren), di mana santri-santri hari ini juga lebih dekat dengan dunia internet.

Televangelisme, harus diingat, ia menjamur karena media digital. Para ustaz baru muncul karena digital, dan hari ini internet memungkinkan siapa saja untuk mengisi konten dan berdakwah di dalamnya. Menurut Denis J. Bekkering (2001), televangelisme muncul bersamaan dengan adanya fasilitas baru yang memungkinkan untuk berdakwah di dalamnya, seperti Youtube, Instagram, Tiktok, Telegram, dan web keislaman. Fenomena ini juga, yang kemudian dimanfaatkan organisasi radikal untuk merekrut dan menyebarkan ajaran radikalismenya.

Televangelisme Melahirkan Radikalisme

Maka tak khayal, jika banyak orang-orang Indonesia dengan tidak sadar berangkat ke Afghanistan dan Suriah untuk bergabung dengan para teroris berkat ajaran agama yang diperoleh di internet. Orang-orang polos ini ingin bergabung dengan ISIS dan Al- Qaeda karena di sana digambarkan adanya negara Islam yang ideal, seperti masa kenabian. Padahal boong!

Berawal dengan televangelisme, di mana semua harus hidup serba syar’i-syar’i, negara syariah, dan menjalankan kesakralan keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian masyarakat rela untuk ikut bergabung dan melakukan banyak hal, seperti mingikuti tour acara ceramahnya, membayar donasi, dan bahkan terjun langsung kepada apa yang disebut negara Islam beraroma syurga. Faktanya beroma negara made in ISIS dan Al Qaeda. Jadi, berhati-hatilah, televangelisme Islam ini sudah mulai diproduksi oleh masyarakat pesantren dan itu ancaman baru pesantren dan ancaman karena melahirkan radikalisme di Indonesia.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru